Oleh : Fahmi Rezeki*
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki penduduk yang beragama Islam terbanyak di dunia, oleh sebab itu tidak heran jika peranan umat Islam di nusantara masih dan terus akan ada karena memang pada dasarnya pada ajaran Islam itu sendiri agama mengajarkan jika cinta kepada tahan air atau hubbun wathoni merupakan salah satu implementasi dari imannya seseorang itu terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kilas balik bagaimana pendidikan Islam itu sendiri dibentuk dan di bangun bukannya berlandaskan teori, tetapi para ulama yang mengabdikan dirinya disuatu lembaga sekolah keislaman atau di daerah Indonesia di sebut dengan dayah maupun pesantren, sangat sangatlah ketat dan disiplin dalam mempelajari dan memplementasikan ajaran ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Ketika penjajahan mulai meraba di nusantara misalnya, umat Islam khususnya kaum santri banyak sekali yang dibekali oleh tengku atau kiai mereka ilmu bela diri dan ilmu taktik perang, karena pada dalam diri santri yang di asuh itu telah ditanamkan yang namanya cinta tanah air merupakan dari iman, ditambah lagi dengan adanya kata kata kaum musyrikin Belanda yang berusaha menyebar luaskan ajarannya secara paksa.
Dampaknya banyak ulama-santri yang tidak pernah padam melakukan perlawanan terhadap kolonial sehingga meledakkan perang besar sepanjang sejarah, yaitu Perang Jawa Diponegoro. Pasukan Pengaran Diponegoro selain terdapat para bangsawan juga dipenuhi para ulama-santri dari berbagai penjuru Jawa.
Para ulama-santri itulah yang dikemudian hari meneruskan perjuangannya ketika Pangeran Diponegoro ditangkap. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 Kyai, 31 Haji 15 Syekh, 12 Penghulu Yogyakarta dan 4 Kyai guru yang turut berperang bersama Diponegro, setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, mereka menyebar dan mendirikan basis-basis perlawanan dengan mendirikan masjid-masjid dan pesantren pesantren jauh dari pusat-pusat tangsi Belanda.
Beberapa pondok pesantren tua di Jawa, terutama Jawa Timur yang menyimpan kronik-kronik sejarah ini.
Kiprah santri dalam membela negara tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada tahun 1943-1945 hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar, dan yang paling populer adalah laskar hisbullah dan sabilillah.
Pada kurun waktu tersebut kegiatan pondok pesantren adalah berlatih perang danolah fisik. Bahkan peristiwa-peristiwa pelawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, pada umumnya dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji. Pada 21 oktober 1945, berkumpul para kiai se-jawa dan madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatur Oelama).
Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 oktober 1945 dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”.
Yang menariknya dari paparan waktu masa penjajahan itu adalah masyarakat pada saat itu lebih mendahului perintah para ulama ketimbang para pejabat, hal ini dinilai wajar dikarenakan pada saat itu pengaruh agama dalam jiwa masyarakat sangatlah dalam dan menenanngkan sehingga banyak sekali dari para ulama ikut berperan dalam merumuskan suatu masalah dan persoalan di negeri ini.
Hal itu dapat kita lihat pada saat peristiwa resolusi jihad mengisyaratkan dua kategori dalam berjihad. Pertama, fardlu ‘ain bagi setiap orang yang berada dalam radius 94 KM dari episentrum pendudukan penjajah.
Dalam Islam, fatwa “fardlu ‘ain” mengimpikasikan kewajiban yang harus dijalankan pagi setiap orang yang sudah mukallaf (aqil baligh). Kedua, fardlu kifayah bagi warga yang berada di luar radius tersebut. Namun dalam kondisi tertentu dan darurat, maka bisa dinaikkan statusnya menjadi fardlu ‘ain.
Fardlu kifayah merupakan sebuah kewajiban yang menjadi gugur apabila sudah dilakukan oleh salah satu orang dalam sebuah daerah/komunitas.
Resolusi jihad mempunyai dampak yang besar bagi gerakan perlawanan terhadap Inggris di Surabaya. Puncaknya adalah tanggal 10 November 1945, yakni terjadi pertempuran super dasyat antara santri dan arek Surabaya melawan militer Inggris.
Momentum besar tersebut sampai saat ini kemudian diabadikan sebagai hari pahlawan. Resolusi Jihad ini sebenarnya merupakan konsistensi keputusan politik terhadap konsepsi dar al-Islam, di mana keberadaan negara Indonesia sebagai negara “Islam” yang wajib dibela dan dipertahankan.
Namun dewasa ini hal yang terjadi di negeri ini adalah prgerakan umat Islam banyak yang dicekal, sebut saja seperti pergrakan FPI (From Pembela Islam) yang jika kita lihat subtansinya tidakah bertentangan dengan nilai nilai Pancasila, kaum santri saat ini dianggap kolot dan tak mampu mrmbawa prubahan yang segnipikan terhadap bangsa, partai partai Islam mendapatkan prilaku tidak mengenakan dan masih banyak lagi lainya yang seolah olah bangsa ini tidak pernah membaca sejarah yang didalamnya Islam memiliki pera penting dan menjadi garda terdepan.
Tulisan ini menggunakan metode sejarah: Heuristik, Kritik, interpretsi dan Historiografi. [SY]
Referensi:
– ADDIN, Vol. 9, No. 2, Agustus 2015 Politik Kebangsaan Kaum Santri: Studi Atas Kiprah Politik Nahdlatul Ulama
– Jurnal Islam Nusantara, 2018
– Www. Republika. Com