Oleh : Qori Aulia Rizki*
Indonesia sebagai bangsa yang telah memulai peradaban sejak kedatangan bangsa Melanesoid pada tahun 70.000 SM yang kemudian disusul oleh kedatangan bangsa Melayu pada tahun 2.000 SM serta terletak pada posisi silang jalur pelayaran dunia menjadikannya sebagai negara yang kaya akan keberagaman suku, budaya, bahasa, adat istiadat, dan agama (Indonesia, 2014).
Setiap suku yang ada memiliki karakteristik kebudayaan berbeda yang tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakatnya.
Kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia saat ini merupakan warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia yang telah ada sejak ribuan tahun lalu dan terbentuk dari banyak unsur rumit. Warisan budaya yang ada di Indonesia tentunya sangat beragam, baik benda maupun tak benda dan dimiliki oleh setiap suku bangsa, salah satunya adalah Suku Gayo.
Suku Gayo merupakan suku bangsa yang mendiami wilayah dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh, terletak di ujung utara Sumatera tepatnya di bagian tengah Provinsi Aceh dan dikelilingi oleh rangkaian Pegunungan Bukit Barisan (Bowen, 1993). Wilayah tradisional suku Gayo meliputi Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues.
Selain itu, suku Gayo juga mendiami sebagian wilayah di Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur (Ara, 2008). Suku Gayo tergolong kedalam Ras Proto Melayu yang berasal dari China Bagian Selatan (Yunan).
Suku Gayo terdiri dari tiga kelompok, yaitu masyarakat Gayo Lut yang mendiami wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah, masyarakat Gayo Lues atau Gayo Blang yang mendiami wilayah Gayo Lues dan Aceh Tenggara, serta Masyarakat Gayo Serbajadi yang mendiami sebagian wilayah Aceh Timur (Forum LSM Aceh dan Satker BRR dalam Ara, 2008).
Suku yang diperkirakan telah ada sejak 8.800 tahun yang lalu ini telah menghasilkan beragam kebudayaan dan tradisi mulai dari seni tari, musik, upacara penikahan, seni rupa, hingga tradisi lisan (Setiawan dkk, 2017).
Hasil Kebudayaan tersebut telah diwariskan dari generasi ke generasi selama bertahun-tahun dan menjadi ciri khas serta pembeda suku Gayo dari suku Aceh lainnya.
Keragaman warisan budaya yang dimiliki oleh suku Gayo tersebut menarik perhatian untuk diketahui, salah satunya adalah sastra lisan berijo-ijo.
Sastra lisan berijo-ijo merupakan syair yang digunakan sebagai media komunikasi antara pemuda dan pemudi dalam konteks asmara atau pengungkapan perasaan ketika ingin menjalin sebuah hubungan serius serta isinya mengandung metafora atau simbol-simbol yang terkait dengan kehidupan muda-mudi.
Kehidupan muda-mudi tidak pernah terlepas dari perasaan saling suka terhadap satu sama lain dan ketika perasaan tersebut muncul, para muda-mudi akan berusaha untuk menarik perhatian orang yang disukainya dengan cara masing-masing seperti merayu, mengungkapkan perasaan, atau cara-cara lainnya.
Dalam hal ini, muda-mudi Gayo memiliki cara tersendiri untuk menarik perhatian orang yang disukai yaitu dengan menggunakan media berupa sastra lisan yang dikenal sebagai syair berijo-ijo.
Syair berijo-ijo merupakan syair yang digunakan sebagai media pengungkapan perasaan kepada orang yang disukai ketika ingin menjalin sebuah hubungan serius. Kata berijo-ijo sendiri berarti tumbuhan hijau.
Penamaan ini diberikan karena dalam kebudayaan Gayo tumbuhan memiliki makna sebagai sesuatu yang indah, membawa kedamaian, dan merupakan simbol dari keberagaman.
Makna yang terkandung di dalam penamaan berijo-ijo merupakan gambaran dari kehidupan muda-mudi yang sedang jatuh cinta.
Sastra lisan berijo-ijo berbentuk seperti pantun namun disampaikan dengan gaya bersyair Penyampaiannya secara berbalas-balasan dimulai dari pihak pria terlebih dahulu lalu dibalas oleh pihak wanita, dan menggunakan gaya bahasa yang megandung metafora atau simbol-simbol terkait kehidupan muda-mudi.
Penggunaan Perumpamaan atau simbol-simbol tersebut dimaksudkan agar tidak menyinggung perasaan penerima syair dan menjadikan syair berijo-ijo memiliki keindahan tata bahasa. Contoh pengungkapan syair berijo-ijo oleh pihak laki-laki adalah sebagai berikut.
Nge betebang ke i uten?
(apakah hutan ini sudah ditebang)
Ike gerilen kati ku mah galang
(Jika belum maka saya akan membawa kapak)
Ike blang nge berpancang
(Jika lahan sudah berpancang)
Keta aku surut ku batang ruang
(Maka saya kembali pulang)
Kalimat nge betebang ke i uten? dapat dimaknai sebagai pertanyaan apakah Anda sudah dilamar?
Pada bait kedua tertulis ike gerilen kati ku mah galang yang bermakna jika belum dilamar maka saya yang akan melamar Anda. Pada bait ketiga dan keempat terdapat kalimat ike blang nge berpancang, keta aku surut ku batang ruang yang merupakan penegasan dari bait pertama dengan makna apabila Anda sudah dilamar maka saya tidak jadi melamar Anda.
Bait pertama pada kutipan syair di atas, bertujuan untuk menanyakan status dari gadis yang disukai oleh si pemuda, apakah gadis tersebut masih lajang, sudah ada yang melamar, atau sudah menikah. Bait kedua berisi tujuan dari si pria yaitu ingin melamar gadis yang disukainya apabila gadis tersebut masih lajang.
Bait ketiga dan keempat merupakan penegasan dari bait pertama yang menyatakan apabila gadis yang disukai oleh si pria sudah dilamar oleh orang lain maka pria tersebut tidak jadi melamar si gadis. Jika gadis penerima syair berijo-ijo masih berstatus lajang dan memiliki perasaan yang sama dengan si pria, maka gadis tersebut akan membalas ungkapan perasaan dari si pria.
Sebagai contoh dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Ini lut sabe sesempak gelumang
(Laut ini terkadang dihempas gelombang)
Tapi sayang gerara kapal si layare kemang
(Tapi sayang tidak ada kapal yang layarnya kembang)
Kata laut pada bait pertama merupakan perumpamaan dari diri gadis itu sendiri. Bait pertama syair tersebut memiliki makna bahwa si gadis terkadang mendapat godaan atau rayauan dari pria lain dan bait kedua bermakna bahwa dari sekian banyak pria yang datang merayu tidak ada satupun pria yang menarik perhatiannya. Balasan yang diberikan tersebut bermakna bahwa si gadis menerima pernyataan cinta dari si pria.
Dalam tradisi masyarakat Gayo, pengungkapan syair berijo-ijo biasa dilakukan pada acara mangulo yaitu kegiatan gotong royong pada saat memanen kopi, menanam padi, dan memanen padi atau pada kegiatan lain yang terdapat kumpulan muda-mudi.
Selain itu, pengungkapan syair berijo-ijo juga dapat dilakukan di lingkungan rumah yang umumnya dilakukan pada malam hari, dalam istilah Gayo dikenal dengan nama murojok. Dalam hal pengungkapan syair berijo-ijo, apabila pihak wanita membalas syair yang dilontarkan oleh pihak pria maka wanita tersebut menerima perasaan si pria dan bersedia untuk menjalin hubungan yang serius hingga berlanjut ke pernikahan.
Namun, apabila pihak wanita tetap diam maka hal itu bermakna bahwa wanita tersebut menolak pernyataan cinta pihak pria. Dalam situasi dimana pihak wanita tidak membalas syair berijo-ijo yang dilontarkan oleh pihak pria, maka komunikasi yang terjadi masih berbentuk komunikasi searah dan belum masuk ke dalam kategori berijo-ijo. Bentuk komunikasi searah tersebut disebut dengan berijo dan dikatakan berijo-ijo apabila terjadi komunikasi dua arah antara pihak pria dan pihak wanita (Joni, 2020).
Referensi:
Ara L.K., Medri. 2008. Ensiklopedi Aceh Adat, Hikayat, dan Sastra. 150-151. Yayasan Mata Air Jenih bekerjasama dengan BRR-Badan Arsip dan Perpustakaan NAD JKMAICCO, Banda Aceh.
Bowen. 1993. A Modernist Muslim Poetic: Irony and Social Critique in Gayo Islamic Verse. The Journal of Asian Studies 52(3): 630-646. DOI: 10.2307/205885.
Indonesia, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Sejarah Indonesia (Edisi Revisi). 34- 37. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
MN, Joni. 2021. Berijo,Sastra Lama Bernuansa Romantis di Gayo. https://lintasgayo.co/2020/06/03/berijo-sastra-lama-bernuansa-romantis-di-gayo/ [1 September 2022]
*penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala asal Panti Asuhan Yayasan Noordeen, Takengen.