Oleh : Fauzan Azima*
Oh ya, sebelum saya lupa! Malam itu belum terlalu larut. Anak-anak tanggung masih memetik gitarnya sambil menyanyikan lagu yang kurang populer di telinga orang yang sudah berumur seperti saya.
Beberapa orang dewasa masih antri untuk mendapat giliran mencukur rambutnya di “Elegant Barber” pada kompleks tempat saya tinggal sekarang, di daerah Lamlagang, Banda Aceh.
Sementara dari mushalla yang terdekat para jama’ah sudah mulai melantunkan “dala’il” dengan penuh semangat sebagai tradisi malam Jum’atan yang juga menjadi kebiasaan orang-orang tua dulu.
Dala’il bukan saja tradisi hiburan, tetapi menjadi sumber kekuatan spiritual untuk memasukan ilmu ke dalam dhahir bathin bagi pelantunnya. Ilmu itu menyatu dalam jiwa dengan keteraturan priodesasi dan rasa.
Bahkan ketika sesuatu yang biasa dirapalkan terus menerus, andai satu waktu tidak tidak dilaksanakan akan terasa kurang. Seperti seseorang yang selalu mendapat pesan WA, lalu tidak menerima hal sama pada satu waktu akan terasa ada sesuatu yang kurang.
“Jadi amalan itu bukanlah berapa banyak kita baca atau jumlah harta yang kita sumbangkan dalam jumlah yang banyak dalam satu waktu, tetapi adalah keteraturan walau hanya sekali membaca ‘Bismillah’ dan rasanya” demikian ceramah ustadz dari mushalla lainnya.
Malam itu seperti pesta cerita kebajikan. Berbeda dengan kumpulan pemuda tanggung yang sedang mencari identitas lebih tertarik dengan cerita hantu. “Santai saja bro! Kuntilanak saja, jam segini masih dandan” selorohnya diiringi tawa lepas.
Saya sendiri ada beberapa persoalan yang perlu saya konfirmasi kepada kawan-kawan. Saya kirim pesan lewat WA kepada seseorang masih centang satu. Saya bersabar menunggu, mungkin sinyal sedang tidak bersahabat.
Saya coba telepon langsung ternyata handphonenya benar-benar mati. Saya beralih kepada kawan-kawan lainnya, sama centangnya masih juga satu. Selanjutnya kepada kawan-kawan lainnya, lagi-lagi masih centang satu.
Sudah dua belas orang kawan sejawat yang saya kirim WA, semua centang satu. Heeem! Saya coba hubungi kawan yang senasib. Jawabannya membuat saya tersenyum.
Ya Allah, sudah lama tidak merasakan nikmatnya beribadah. Konon, kubah mesjid dibuat sedemikian rupa ternyata tujuannya untuk mencapai puncak kenikmatan dalam ibadah ritual:
Masing-masing orang membangun persepsi kenikmatan menurun versinya. Ada yang mengatakan, “membaca buku adalah nikmat yang tiada tandingannya,” ada lagi yang berpendapat, “nikmat berdzikir mengunggulu nikmat lainnya.”
Entahlah, semoga cerita tentang “nikmat” bukan seperti kata kawan “jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17 ribu lebih. Kalau tidak percaya, hitung saja sendiri.”
(Mendale, 1 September 2022)