Oleh : Fauzan Azima*
Dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, dilanjutkan dengan ikrar nikah bathin yang bermahar dan bersaksi, lalu suami memberi salam dan istri menjawabnya. Puncaknya, tidak saja membuat kedua insan senang, tetapi juga beroleh kenikmatan yang sempurna.
Prosesi ritual “cetak dede” itu bukan sekedar kemampuan berlayar di lautan, mengedari kebun dan ladang, menaiki gunung, menuruni lembah, melemparnya ke semak-semak dan memandikannya di kolam-kolam, akan tetapi lebih dari itu, mengantarkannya pada kawasan “batu nurjiman” yang diyakini sebagai keberadaan pintu surga.
Zi, wazi, makni, maknikem merah dan maknikem putih sebagai cikal bakal manusia dari ibu yang jujur yang disimbolkan sebagai bumi dan bapak yang benar dianggap sebagai keterwakilan langit dan atas nama cinta melahirkan ratu yang bersifat pe”ratu”ran dan raja sebagai kebijaksanaan.
Aku mengurai dirimu dari wujud dirimu yang nyata. Kulit, rambut, daging, darah, tulang, sumsum dan otak sebagai mana benda kenyataan, partikel, atom, quantum dan energi agar cinta kasihmu kembali kepada aku sebagai mana cinta kasih-Nya kepada Muhammad.
Kuuuur…semangat dan rohmu yang bersandar kepadaku dan aku yang bersandar kepada-Nya yang dianggap sebagai jampe atau jalan atau petunjuk yang berpaedah untuk menundukkan dirimu dalam cinta dan tetek bengeknya.
Alam semesta sebagai saksi bagi yang menanam cinta lalu berbuah sayang. Kemudian cinta yang sudah diijabqabulkan harus dipertahankan sebagai satu keyakinan terhadap yang diperjuangkan, walaupun “salah” karena keterbatasan pengetahuan dan informasi, tetap harus pada pendiriannya.
Orang yang yakin dan lalu benar dalam keyakinannya, maka ia telah beroleh dua pahala; yaitu pahala kebenaran dan pahala keyakinan. Apabila salah dalam keyakinan, maka ia hanya mendapatkan pahala keyakinan. Begitu penting keyakinan sebagai satu prinsif hidup dan kehidupan.
Aku sendiri yakin dan siap bersaksi dengan dua mata yang normal, sepuluh jari tangan dan sebelas dengan otak kepala serta modal bisa berkata-kata, aku bisa tahu melalui sorot bola matamu dibalik “soft lensa” itu, juga menyimpan rasa cinta yang sama dengan daun-daun rindu dan ranting-ranting cemburu.
Sebelum ikrar pernyataan rindu, tentu segala resiko sudah difikirkan benar. Kalau sudah diucapkan harus dilaksanakan dalam situasi apapun. Bahkan orang-orang bijak terdahulu, jangankan sesuatu yang telah diucapkan, kalimat yang terlintas di dalam hatinya pun harus ditunaikan.
Saling bersaksi tentang rindu sebagai paduan zat dengan sifat yang tidak terpisahkan, sehingga menjadi “sah adat” yang kemudian bermetamorfosa menjadi “syahadat”; yang tidak diragukan lagi wujud alamnya.
Selanjutnya, aku tidak kuasa menipu diriku sendiri bahwa aku selalu rindu kepadanya. Rasa selalu ingin bertemu serta tidak akan pernah jemu membayangkan dia yang telah mengarahkan fikiran dan hatiku agar hidup lebih bermakna. Karenanya, percayalah, aku tidak akan mencari dia yang lainnya karena dia adalah representasi dari alam semesta beserta seluruh isinya.
Aku tidak akan mematikan hasrat rindu. Juga tidak akan membayangkannya. Konon para Sahabat Nabi pernah berencana akan mengebiri diri agar terhindar dari nafsu rindu. Tapi niat itu urung mereka laksanakan karena bertentangan dengan larangan menyakiti diri sendiri. Bukankah rindu itu alamiah, jadi kita tidak diperintahkan membunuhnya tetapi mengendalikannya.
Kelakuan harus mencerminkan sifat kemanusiaan. Itulah sebab manusia diberi akal fikiran yang harus terus selalu diupgrade sampai sempurna agar tidak jatuh kepada sifat hewani.
Setelah ngalor ngidul berteori yang dicatat dalam ingatan, akhirnya malam Jum’at yang diartikan sebagai “Jumpa sesaat” yang ditunggu-tunggu datang juga, tetapi ketika jangkar sudah diangkat dan kapal siap berlayar, tiba-tiba datang peringatan bendera merah dikibarkan, sebagai tanda harus menunda rindu sampai keadaan ombak di lautan tenang. Demikianlah aku harus rela malam tadi menjadi malam jumat kelabu.
(Mendale, 29 Juli 2022)