Pemimpin Gayo dan Poster “Tanah Ini Dijual”

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Kalau Saudara pergi ke arah Kampung Bintang lewat cikal bakal jalur dua Jalan Paya Tumpi-Kampung Bintang, di sisi kiri kanan jalan banyak poster bertuliskan “tanah ini dijual”.

Fenomena “jual tanah” di Gayo biasa terjadi pada saat anak-anak mulai masuk kuliah atau sedang mengikuti tes masuk TNI/Polri dan tes sebagai pegawai. Tidak jarang juga karena kredit macet bagi yang berurusan dengan bank.

Beberapa bidang tanah dijual karena pembagian tanah warisan. Dimanfaatkan sebagai sawah atau kebun terlalu sempit. Sedangkan untuk membangun usaha berupa bangunan yang disewakan, baik ruko maupun homestay tidak punya modal. Lalu daripada terlantar lebih baik diuangkan.

Jual tanah juga marak pada musim Pemilu dan Pilkada sebagai modal kampanye. Aksi nekat calon pejabat itu lebih kepada “gambling”. Kalau berhasil menjadi pejabat tentu lebih luas tanah bisa terbeli, tetapi kalau gagal juga harus siap-siap terdaftar sebagai Orang Miskin Baru (OMB).

Masalahnya yang menjadi bupati hanya satu orang atau wakil bupati juga hanya satu orang. Begitupun dari ratusan anggota legislatif yang mendaftar hanya 30 kursi yang tersedia. Sudah barang tentu peserta yang lainnya menjadi “korban politik.” Cita-cita kandas dan harta amblas.

Di Kecamatan Bintang, Aceh Tengah, terutama di sekitar Pante Menye harga tanah memang menggiurkan. Sehingga pemilik tergoda menjual tanahnya.

Di sisi lain juga menjadi peluang bagi pengusaha untuk berinvestasi dengan menguasai daerah wisata tersebut. Bahkan Haji Subar, pengusaha perkebunan sawit dari Bireuen juga telah membeli tanah di dekat dermaga, berdekatan dengan homestay dan cafe Bintang Resort milik mantan Kapolres.

Setelah aksi “jual tanah” bagaimana cara masyarakat mengelola uangnya? Banyak cerita kita dengar setelah menjual tanah menjadi Orang Kaya Baru (OKB) hanya setahun bahkan kurang, kemudian mereka menjadi miskin.

Setiap melintas di jalur itu, berbagai pertanyaan muncul dalam fikiran saya. Ada rasa khawatir, pada masa depan orang Gayo menjadi gelandangan di kampung sendiri.

“Apakah para pemimpin di Gayo punya rasa sense of belonging terhadap fenomena jual tanah ini?” andai ada yang bertanya.

“Setahu saya, tidak ada!” jawab saya.

Kita berharap ada diskusi-diskusi lintas kalangan tentang kenyataan “tanah ini dijual” untuk mendapatkan jalan keluar bagi masyarakat yang kemudian menjadi kebijakan bagi pemimpin di Gayo.

Sebagai permulaan bagi aktivis apapun organisasinya agar mengumpulkan semua informasi dari pemilik yang akan menjual tanahnya; mengapa mereka menjualnya? Berapa harganya? Untuk apa uangnya digunakan? Rencana bisnis apa yang akan dikembangkan? Kalau tidak dijual, kerja sama apa yang diharapkan dari para pemodal? Dan seterusnya, sederet daftar pertanyaan lainnya.

Kalangan pemerintah di Gayo juga harus segera berinisiatif dengan membentuk tim lintas dinas bersama legislatif untuk mempelajari dengan “belanja masalah” agar dijadikan sebagai peluang untuk membantu masyarakat yang kesulitan keuangan sehingga terpaksa harus menjual tanahnya.

Selanjutnya, apakah ada peluang dalam peraturan perundangan tentang penggunaan dana APBK untuk bekerja sama dengan masyarakat pemilik tanah untuk mengembangkan usaha? Hasilnya bisa menjadi PAD dan masyarakat pemilik tanah mendapat share dari keuntungan “bisnis pemerintah” lewat BUMD misalnya.

Setiap langkah mempertahankan dan menyelamatkan Sumber Daya Alam sebagai aset bangsa ini merupakan upaya “agar tidak punah maka harus kuat” sesuai dengan prinsip, “Uten betene, blang bepancang, nama tarraku.”

Pemimpin di Gayo harus mewujudkan itu sebagai sifat “Pangeran Waringin Sari” atau kuat dan melindungi.

(Mendale, 24 Juli 2022)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.