Oleh : Fauzan Azima*
“Sejarah manusia yang gemilang,” tulis Mo Yan dalam novel Red Sorghum, “selalu dipenuhi dengan legenda dan kenangan anjing; anjing hina, anjing terhormat, anjing menyeramkan dan anjing menyedihkan.”
Mo Yan kelahiran tahun 1955 adalah penulis Tiongkok ternama. Novel Red Sorghum sudah dua kali diadaptasi menjadi film; yaitu pada tahun 1988 dan 2014.
Di beberapa belahan bumi, kita bisa melihat bahwa eksistensi anjing sangat agung. Beberapa kepercayaan-pernah maupun masih ada-menempatkan anjing dalam posisi suci, yakni sebagai manifestasi sosok dewa.
Sebaliknya di belahan bumi yang lainnya, anjing justru dianggap sebagai simbol kehinaan dan secara tidak adil dijadikan sebagai kata makian.
Tentu saja selama “Ekspedisi Merah Jahansyah, Sultan Pertama Kerajaan Aceh Darussalam (1205-1235 M)” ceritanya tidak terlepas dari peran dan cerita anjing.
Ketika kami turun di tempat pemberhentian terakhir mobil, sebelum menaiki puncak gunung Lamsuseng, Aceh Besar, dengan jalan kaki, saya sempat berkhayal, adakah anjing di sana? Model anjing yang bagaimanakah dia?
Setelah melewati medan yang berat dengan seorang pemandu pemilik kebun, tempat di mana Merah Johansyah dimakamkan, akhirnya kami sampai juga di lokasi perkebunan durian yang diperkirakan sudah berumur seratus tahun lebih. Di tengah-tengah kebun durian itu ada gubuk kecil. Dari gubuk itulah anjing berbulu putih dan baru saja dewasa itu menggonggong.
Kami membiarkan anjing itu sesukanya menggonggong. Setelah bosan dengan gonggongannya, lalu saya memanggilnya dengan panggilan “Qatmir” berulang-ulang.
Qatmir adalah seekor anjing yang ikut serta bersama aulia tujuh; Makslimina, Yamlikha, Martunus, Kastunus, Bairunus, Yathbunus dan Thamlika. Sedangkan nama anjingnya yakni Qithmir. Pendapat lain ada yang mengatakan anjing itu bernama “Hamran.” Perjalanan mereka diabadikan sebagai cerita Ashabul Kahfi.
Ashabul Kahfi adalah kisah tujuh pemuda yang tertidur di dalam gua selama 309 tahun. Mereka bersembunyi di dalam gua untuk melarikan diri dari kekejaman Raja Decyanus untuk mempertahankan keimanannya.
Anjing itu belum juga diam. Dia semakin menyalak dan cenderung ingin mengejar kami. Barangkali dia bukan bukan turunan “Qatmir”, lalu saya memanggilnya, “Pase” berulang kali dengan lembut.
Anjing itu mulai bersikap ramah. Barangkali nenek moyang anjing itu satu keluarga dengan anjing Merah Ishaq yang menyelamatkan Merah Mege ketika saudara-saudaranya meninggalkannya di Loyang Datu, Kawasan Isaq. Sikapnya yang tiba-tiba baik itu, lalu saya menyebutnya; anjing putih yang ramah.
Saya memandanginya dari segala sisi. Anjing itu tidak termasuk dalam kategori sebagai anjing pemburu yang memiliki ciri-ciri “anjing yang masuk ke dalam turunan, yang pernah ditendang rusa dalam satu rapat di Bukit Zinabun (barangkali Atu Perukumen di Serule) dengan Raja Sulaiman untuk menentukan “Hak Adam” dan “Hak Allah.”
Turunan anjing pemburu rusa dengan nama dan ciri-ciri tertentu adalah Si Jengi, Si Beruang, Si Berkas, Si Mancang dan Si Mendoloh. Saya tidak melihat anjing putih yang berada di makam Merah Johansyah itu sebagai anjing pemburu.
Kebetulan seniman dan budayawan, Salman Yoga ikut berziarah dan memberikan materi tentang Merah Johansyah dari kajian sejarah.
Ingatan saya tertuju pada pembacaan puisi pada acara pengukuhan kepengurusan Keluarga Alumni Yogyakarta (Kagayo) yang berjudul “Lime Asu Tue i Tugu Simpang Lime Kute Takengen”. Puisi berbahasa Gayo yang merupakan kritik sosial dan tafsir katarsis ini dibacakan oleh Purnama K Ruslan dengan nada kocak.
Dalam bincang-bincang kami dengan Salman Yoga usai berziarah, beliau punya rencana akan menulis puisi “Tujuh anjing tua” yang akan dibacakan di Tugu Simpang Lima Kota Banda Aceh.
“Kalau judulnya-tujuh anjing tua-seharusnya dibacakan di Simpang Tujuh Ule Kareng agar setiap simpang ada satu ekor anjing tua” jawab kawan lainnya disambut gelak tawa.
Ekspedisi Merah Johan yang diinisiasi Kagayo (Keluarga Alumni Yogyakarta) yang dipimpin Azmi, sekarang sedang hangat diperbincangkan. Bermacam tanggapan; ada yang apatis, ada yang membully, ada pula yang berharap agar dilanjutkan dengan penelitian yang lebih serius dengan melibatkan para arkeolog.
Semua tanggapan itu adalah dinamika yang tumbuh di dalam masyarakat dan tentu saja harus dijawab dengan kepala dingin serta menjadi spirit bagi Azmi dan kawan-kawan lainnya untuk terus mewujudkan kebenaran sejarah Merah Johansyah dan tidak larut dalam”kekeberen” saja.
Percayalah, begitulah masyarakat membangun persepsinya, seperti melihat awan di langit, seperti itu pula masyarakat membangun hayalannya masing-masing kemana ujung dari ekspedisi ini. Semua itu jangan ditanggapi dengan istilah “Anjing menggonggong kafilah berlalu” tetapi sekali lagi, percayalah, tanpa keterlibatan anjing, seperti yang dikatakan Mo Yan, sejarah kita tidak akan gemilang.
(Gle Weng, 18 Juli 2022)