Kota Madya Takengon

oleh

Oleh : Muchlis Gayo, SH. M.Si*

UU No. 24 tahun 1956 Tentang Pembentukan Propinsi Aceh, dengan 7 Kabupaten; Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Kutaraja.

Kutaraja ibu kota Propinsi Aceh, dan Kabupaten Aceh Besar, kemudian menjadi Kodya Banda Aceh, ibu kota Aceh Besar pindah ke Jantho, Pada tahun 1966 kewedanaan Sabang menjadi kota madya Sabang. 30 tahun berikutnya, Lhokseumawe ibu kota Aceh Utara dan Langsa ibu kota Aceh Timur dimekarkan.

Maraknya pemekaran daerah otonomi baru di propinsi Aceh dipengaruhi isi pasal 179 sampai 200 dari UU No. 11/2006, yang mengisyaratkan pelimpahan wewenang penggunaan dana perimbangan dan hak pengelolaan pendapatan daerah serta Dana Otonomi kusus 15 % dari plafond Dana Alokasi Umum Nasional selama 15 tahun, 5 % selama 5 tahun.

Dana bantuan yang tak terhingga itu dipergunanakan untuk mengejar ketertinggalan Aceh secara merata akibat konflik.

Tentang dana otonomi khusus diatur dalam pasal 183 ayat (1); penggunaan dana otonomi khusus, untuk membiayai pembangunan, dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.

Ayat (4), program pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam program pembangunan propinsi, dan kabupatem/kota di Aceh, yang pengelolaannya diadministrasikan oleh pemerintah Provinsi Aceh.

Bantuan pemerintah Pusat yang luar biasa tersebut, menjadi insfirasi bagi tokoh-tokoh masyarakat, dan pimpinan daerah di semua kabupaten, baik yang telah dimekarkan maupun belum pernah dimekarkan, atau memekarkan kembali daerahnya, seperti : Kabupaten Pidie memekarkan; kab. Pidie Jaya, Kabupaten Aceh Utara memekarkan; kab. Bireun, Kabupaten Aceh Timur memekarkan; Kab. Aceh Tamiang. Kabupaten Aceh Barat memekarkan ; 1. Kab. Nagan Raya, 2 Kab. Simeulu, 3. Kab. Aceh Jaya, 4. Kabupaten Aceh Selatan memekarkan; 1. Kab. Singkil, 2. Kab. Aceh Barat Daya, Kabupaten Singkil yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Selatan memekarkan; Kota Subulusalam, Kabupaten Aceh Aceh Tenggara memekarkan Kabupaten Gayo Lues.

Berbeda dengan wilayah pedalaman, disaat dana besar tersebut mulai digulirkan, tokoh-tokoh masyarakat dan pemimpin daerahnya justeru meminta “Pemekaran Propinsi”, yang secara politis mempengaruhi kebijakan Pemerintah Propinsi Aceh, membagi dana otsus untuk kabupaten pendukung ALA.

Dampaknya berlanjut sampai batas waktu 20 tahun dana otsus itu berlalu, dan ALA tetap jadi mimpi indah yang ditabur elite politik menjelang Pilkada.

Pemerintah Aceh maupun Pusat bukan tidak faham, bahwa dampak terburuk gejolak Aceh, baik korban nyawa, maupun harta benda ada di Kabupaten Aceh Tengah. Adil tidak adil pembagian kueh Otsus selama 20 tahun harus diterima, walaupun Gubernurnya berdarah Gayo, yang tetap dianggap “koro Jamu” oleh elite politik di Aceh.

Maka, tidak dapat dipersalahkan, apabila sampai hari ini penataan pembangunan infrastruktur pendukung Kota Wisata, dan kota Kecamatan di lingkar luar Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara tertinggal jauh dari Kabupaten di pesisir pantai Pidie, Utara, dan Timur Aceh.

Pada tahun 2010, penulis pindah tugas dari Sekretariat Negara, dipercaya menjabat Staf Ahli Bupati, bersama ketua DPRK, Ir. Syukur Coubat, bapak Mustafa Ali, dan anggota DPRK lainnya, mengajukan usul pemekaran Daerah Otonomi Baru Kota Takengon.

5 kecamatan yang dijadikan daerah otonomi baru; 1. Kota Bintang dan 20 % dari luas kecamatan Bintang dijadikan Kecamatan Takengon Timur, agar Danau Lut Tawar menjadi urusan kota Madya,

2. Pegasing ibu kota Kecamatan dan 20 % luas Kecamatan Pegasing dijadikan Kecamatan Takengon Barat, 3. Bebesen ibu Kota Kecamatan Takengon Pusat, 4. Lut Tawar ibu kota kecamatan Takengon Selatan, Kebayakan ibu Kota Kecamatan Takengon Utara.

Perubahan nama Kecamatan untuk menghilangkan kesan primordial ciptaan kolonialis Belanda.

Tujuan pemekaran jelas, untuk mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur, dan memacu pemerataan pembangunan ekonomi rakyat yang dibiayai dari dana Otsus, untuk daerah otonomi baru membiayai penataan wajah kota Takengon layaknya Kota Wisata, tidak kumuh, bersih, rapi, lancar dengan hiasan budaya Gayo tempo doeloe.

Dana otsus untuk Kabupaten Aceh Tengah dipergunakan membiayai pembangunan perkotaan ibu kota Kecamatan tersisa, sebagai pusat kegiatan ekonomi rakyat. Dengan pemerataan pembangunan disemua kecamatan yang selama ini tertinggal, akan mencegah terjadinya urbanisasi ke Kota Takengon.

Pada sidang istimewa peringatan Hut Kota Takengon di tahun pertama priode kedua Bupati Ir. H. Nasaruddin, MM, wacana pemekaran kembali diangkat, sayangnya 5 kecamatan yang dicalonkan berbeda dengan issu tahun 2010, kecamatan Bintang hilang di ganti Kecamatan Bius yang baru 2 tahun dimekarkan dari Kecamatan Pegasing, sayangnya kedua wacana menjadi isu bisu.

Prediksi penulis tentang Kota Takengon pada tahun 2010 terbukti, Setelah dibukanya jalan KKA untuk umum, serta merta Danau lut Tawar menjadi daya tarik wisata domistik Propinsi Aceh, dan Sumatera Utara.

Tanpa diprogramkan oleh pemerintah daerah, kota Takengon, dan seputar Danau Lut Tawar, akan dipadati bangunan berbentuk Home stay, villa, dan Hotel Mewah.

Setiap tahun pertumbuhan perkotaan Takengon semakin meluas, samrawut dan kumuh, dan semakin sulit untuk ditata menjadi “kota Wisata”, banjir perkotaan akibat ditutupnya parit adat persawahan tidak terhindari, ruas jalan tidak seimbang dengan pertumbuhan kenderaan, area tanah untuk perumahan semakin sempit, dampaknya jalan-jalan lingkungan semakin mengecil.

Menata kembali kota Takengon layaknya kota wisata, dan Budaya memerlukan dana yang cukup besar. Jika dipergunakan APBK Kabupaten Aceh Tengah khusus untuk menata kota Takengon, 9 kecamatan lainnya tetap termarjinalkan. Suka tidak suka Kota Takengon segera dijadikan Daerah otonom baru disebut “ Kota Madya Takengon”.

Pada tanggal 3 April 2021 pada acara bincang Kopi Musara Gayo Jakarta, Arwin Mega Ketua DPRK selaku nara sumber Raqan Adat Gayo, disaat yang tepat penulis kembali melempar isu Kota Madya, yang mendapat support Bupati Aceh Tengah Drs. Sabela Abu Bakar.

Penulis baru yakin Bupati serius pemekaran kota Takengon, setelah dua kali beliau meminta penulis menyusun proposal pemekaran Kota Madya Takengon. Selama 3 bulan penulis persiapkan, saat konsep diserahkan, disambut dengan kalimat: “ jika didahulukan pembentukan Kota Madya, maka Propinsi ALA akan tertunda 2 tahun lagi”.

Awal nya punulis kaget, namun memakluminya, setelah beliau menyebut sumber informasi ALA segera terwujud, bukan dari Mendagri. Nyatanya RUU disetujui Badan Legislasi DPR RI, untuk 3 propinsi baru di Papua, dan 7 RUU dijadikan UU untuk pulau Sulawesi 4 propinsi, Kalimantan 3 propinsi.

Propinsi ALA tetap masuk katagori strategi nasional bertitel Insyaallah, kembali isue Kota Madya Takengon kehilangan momentum.

Setelah pemeritah pusat menyetujui perpanjangan dana Otsus Aceh, beberapa kecamatan di pesisir Utara dan Timur Aceh berbenah diri, masuk ke antrian pembentukan daerah otonomi baru, akan kah kita kembali kebagian kueh yang lebih kecil?.

Pilihan ada pada generasi muda Aceh Tengah, kita satukan visi,: “ Segera dimekarkan Kota Takengon”. Kita upayakan sebelum masa kampanye pilkada 2024, proposal sudah bergabung dengan + 225 calon daerah otonomi baru di Mendagri, agar Presiden Jokowi merekomendasikan kepada Presiden berikutnya.

*Pemerhati sosial politik tinggal di Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.