Oleh : Hammaddin Aman Fatih*
Kabupaten Aceh Tengah yang dikukuhkan melalui UU No.7 Tahun 1956 dengan ibu kota Afdeeling Takengon yang sebelumnya merupakan bagian wilayah Aceh Utara dengan ibu kotanya Sigli.
Tujuan pembentukannya adalah untuk mempercepat proses pembangunan sehingga dalam waktu yang cakup singkat dapat berdiri sejajar dengan kabupaten lainnya yang berada dilingkungan Pemerintahan Aceh.
Sebagai daerah otonom dan ditetapkan menjadi kabupaten baru dulunya merupakan langkah awal untuk memulai percepatan pembangunan menuju masyarakat yang lebih sejahtera.
Tapi sejak dikukuhkan sebagai ibu kota kabupaten Aceh Tengah dan telah mengalami 21 kali pergantian kepemimpinan sejak tahun 1945 sampai sekarang, belum juga menujukkan jatidirinya sebagai kota apa sebenarnya.
Apakah akan menjadi atau menuju kota sejarah, kota perjuangan, kota pusaka, kota industri, kota pelajar, kota santri, kota kopi dan lain sebagainya atau hanya sekedar menjadi kota-kota-an biasa-biasa saja?
Kota Takengon yang merupakan pusat pemerintahann kabupaten Aceh Tengah yang berdasarkan letak geografis dan kondisi alamnya, memang bukan hal baru lagi bahwa wilayah yang seluruhnya berada di kawasan penggunungan.
Berada di dataraan tinggi wilayah tengah Aceh, di pengunungan Bukit Barisan berpenduduk ± 215.468 jiwa yang tersebar di 14 kecamatan ( Data tahun 2020 ) dan konon katanya telah berumur 445 tahun yang telah melahirkan 3 buah daerah otonomi baru di dalam lingkungan pemerintahan Aceh (Aceh Tenggara, Bener Meriah dan Gayo Lues).
Melihat prospek ke depan dan potensi yang mengelilinginya, kota Takengon lebih berpeluang untuk menjadi atau menuju kota wisata. Tinggal ada kemau politik sedikit untuk menganggarkan atau mengalokasikan sekian persen APBD setiap tahunnya untuk pengembangan dan perawatan tempat wisata.
Maka imbas dari itu dapat dirasakan dahsyatnya perputaran ekonomi ditempat-tempat wisata tersebut nantinya.
Kota Takengon memang memiliki potensi wisata yang begitu berlimpah.
Beberapa diantaranya seperti wisata berbasis alam, berbasis manusia, hingga budaya. Potensi ini harus secepatnya digerak karena kita ingin potensi-potensi yang ada segera bisa termanfaatkan dan dirasakan masyarakat.
Hal ini tentu tidak mudah mengingat potensi alam kota Takengon yang begitu berlimpah, sehingga proses pembangunan harus juga memperhatikan kelestarian lingkungan. Maka dari itu, kota Takengon untuk perlu mengembangkan pariwisata berbasis eco tourism yaitu perjalanan ke tempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau tercemari dan bisa berkelanjutan.
Untuk mengujutkan hal ini pemerintah daerah harus secepatnya menyusun blueprint dengan dilanjutkan dengan merancang masterplan sebagai acuan resmi pengelola areal wisata yang berada di seputaran atau dalam kota Takengon.
Pengembangan pariwisata di kota Takengon direncanakan dan dikembangkan secara ramah lingkungan dengan tidak menghabiskan atau merusak sumber daya alam dan sosial, tetapi dipertahankan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan.
Beberapa indikator telah membuat kota ini sangat berpotensi menjadi kota wisata, Potensi yang ada antara lain : Pertama : letak kota Takengon yang starategis berada dipinggiran sebelah timur danau Laut Tawar.
Kedua : letaknya di kelilingi pengunungan dengan pemandangan yang menakjubkan. Ketiga : berhawa dingin. Cocok sebagai tempat menghabiskan masa liburan atau kegiatan-kegiatan sosial, budaya, ekonomi lainnya. Keempat : dan lain sebagainya.
Potensi ini harus menjadi prioritas yang potensial untuk dikelola, dikembangkan dan dipublikasikan sehingga menarik investasi luar untuk berinvestasi di negeri yang dijuluki miniature eropa pedalaman dengan latar hutan pinusnya ini untuk menggeliat bangkit, ditunjung dengan masyarakatnya yang sangat welcome terhadap pendatang.
Kita bisa melihat, liburan panjang idul fitri tahun ini, menjadi sebuah gambaran bagi kita, bagaimana besarnya perputaran ekonomi yang terjadi. Belum lagi akhir-akhir ini banyak event-event besar yang dilaksanakan diseputaran kota Takengon yang otomatis bisa menjadi daya tarik orang untuk datang mengunjunginya.
Hal ini harus bisa membuka mata pemda bahwa kota Takengon sangat layak menjadi kota wisata dan perlu pembenahan-pembenahan yang konsisten dan berkelanjutan, bukan hanya bisa sekedar membangun tapi harus bisa untuk merawatnya secara kontinyu.
Acuan 3A harus menjadi perhatian acuan masterplan kota Takengon untuk bisa menjadi kota wisata, yaitu :
A pertama, aksesibilitas merupakan ukuran kemudahan lokasi untuk dijangkau dari lokasi lainnya melalui sistem transportasi. Ukuran keterjangkauan atau meliputi kemudahan waktu, biaya, dan usaha dalam melakukan perpindahan antar tempat-tempat atau kawasan objek wisata lainnya.
A kedua, amenitas adalah fasilitas di luar akomodasi, seperti rumah makan, restoran, toko cinderamata, dan fasilitas umum seperti sarana ibadah, kesehatan, taman, dan lain-lain.
A ketiga, atraksi atau daya tarik adalah segala sesuatu yang terdapat di objek wisata yang menjadi daya tarik sehingga orang berkunjung ke tempat tersebut dengan indikator, panorama, keunikan, keindahan serta kebersihan dan kesenian objek wisata.
Kota Takengon akan bangkit lebih cepat lagi dengan potensi yang cukup pantas kita sebut menggembirakan, menjanjikan bila dikelola oleh mereka–meraka yang betul–betul profesional dalam bidangnya.
Kalau kita mulai belajar mengadopsi pemikiran–pikiran yang kritis yang sifatnya membangun berpikir kedepan berkelanjutan dan berdampak positif besar dikemudian hari yang bermanfaat bagi masyarakat kebanyakan. Bukan hanya menguntungkan kaum kapitalis pemodal saja.
Kebijakan-kebijakan yang diambil bukan hanya ditentukan satu atau beberapa kelompok yang berpotensi maha tahu apa yang terbaik bagi kota ini tapi melibatkan mereka-mereka yang profesional dalam bidangnya.
Hilangkan kepentingan golongan atau kelompok atau keuntungan sesaat yang sempit mengorbankan kepentingan yang lebih besar di masa yang akan datang dengan memiliki nilai ekonomis membangkitkan perputaran ekonomi yang bisa mensejahterakan warganya tanpa melihat latar belakang politiknya.
Membawa kota Takengon menuju wisata yang terrencana dan terukur, harus memilik blueprint yang tertata dengan master plan yang menjadi acuan kedepan dan kebijakan-kebijakan yang akan dibuat harus mengacu kesana.
Pembangunan kota Takengon menuju kota wisata harus yang berkelanjutan adalah pembangunan yang didukung secara ekologis dalam jangka panjang, sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial.
Hal ini harus berkelanjutan berprinsip pada terjaminnya keberlanjutan sumber daya pendukung yang terintegrasi dengan lingkungan alam, budaya, dan manusia.
Untuk itu, pengembangan pariwisata di kota Takengon menuju kota wisata harus memperhatikan daya dukung suatu ekosistem dalam menampung komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung di dalamnya, termasuk memperhitungkan faktor lingkungan dan faktor lain yang berperan nantinya.
Pemanfaatan yang dilakukan dengan prinsip berangkat dari yang asli tapi diberi baju baru dengan menyesuaikan dengan tuntutan global, tanpa harus merusak sosial budaya ekonomi setempat dan bisa lebih mengangkat derajat kehidupan masyarakat sekitarnya lebih sejahtera lagi.
Dalam artian bisa memperdayakan mereka tanpa harus menyingkirkan peran mereka atau jangan jadikan mereka hanya sebagai penonton, tapi bisa juga sebagai bagian dari penentu kebijakan itu sendiri nantinya. Amin………..
*Seorang antropolog, penulis buku Poeple of the Coffee dan kepala SMAN 1 Permata yang berdomisili diseputaran kota Takengon.