Oleh : L K. Ara*
Baru-baru ini, pemerintah kabupaten Aceh Tengah melalui dinas Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan sebuah acara bertajuk Festival Kebudayaan Gayo.
Dalam acara ini, panitia menampilkan beberapa jenis kesenian, untuk dipertontonkan kepada publik. Ada lomba teater, kekeberen, busana, dan seni didong.
Berbagai jenis kesenian itu tentu menarik perhatian publik, memfoto, merekam lalu mempublikasikannya di pelbagai platform media sosial.
Saya adalah salah satu dari publik yang menikmati acara itu, merekam dan menyiarkannya di channel YouTube L K Ara Official milik saya, karena saya memang rajin menyiarkan berbagai kegiatan di Gayo melalui channel milik saya tersebut.
Terkait festival kesenian ini, saya menyiarkan potongan penampilan dari juara pertama lomba didong, yaitu kelompok Linge Asli, juara 2 Kebayakan serta juara 3 Kebinet.
Tentu saja, saya menyiarkan ini sepenuhnya didasari niat baik untuk supaya kegiatan kesenian ini beserta hasilnya diketahui oleh masyaratkat luas.
Maksud saya tentu saja agar kebudayaan Gayo lebih dikenal luas. Istilah kerennya agar mendunia.
Saya berani menyiarkan ini, karena sepengetahuan saya yang awam hukum ini, memang tidak ada larangan untuk merekam dan menyiarkan sebuah acara kesenian yang ditampilkan di depan umum secara terbuka.
Tapi apa yang tidak pernah saya sangka, aksi saya merekam dan mempublikasikan kegiatan kesenian yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten Aceh Tengah untuk publik dan ditampilkan di ruang publik ini ternyata dipermasalahkan oleh salah satu penampil, yakni Sanggar Dewantara Gayo.
Tidak sekedar menyatakan keberatan secara personal, pihak Sanggar Dewantara Gayo bahkan menulis surat keberatan secara resmi, yang ditujukan kepada Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tengah, pimpinan lembaga pemerintah yang menjadi penyelenggara kegiatan yang aktivitasnya saya siarkan.
Surat keberatan ini membuat saya jadi bertanya-tanya, apakah memang apa yang saya lakukan, menyiarkan acara kesenian yang ditujukan buat publik dan berlangsung di ruang publik ini memang dilarang oleh undang-undang negara.
Kalau ini memang melanggar, sebenarnya sebatas apa kebebasan seorang kreator konten seperti saya untuk merekam dan menyiarkan aktivitas yang berlangsung di ruang publik?
Ketika saya mendiskusikan ini dengan seorang praktisi hukum bernama Nourman Hidayat, menurutnya apa yang saya lakukan tidak masalah karena mereka (yang saya rekam) tampil tempat publik.
Menurut Nourman, perlindungan hukum yang diberikan undang-undang bukan hanya kepada objek, tapi juga pada pemilik konten.
Tapi begitupun, saya masih berharap para praktisi hukum yang lain bisa memberikan pandangan terhadap persoalan ini. Supaya ini bisa menjadi pengetahuan dan pemahaman bagi kami para kreator konten.
Dengan adanya pemahaman seperti ini, saya dan para kreator konten lain di Gayo bisa paham rambu-rambu dan batasan yang harus kami jaga dan tak boleh kami lewati.
Karena tanpa ada kejelasan tentang hal ini, peristiwa seperti ini bisa menghambat saya dan mungkin kreator konten lain untuk berkreativitas. []