Khutbah Hari Raya : Antara Hukum Dan Moral

oleh

Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*

Setiap shalat baik itu shalat wajib dan juga shalat sunat mempunyai syarat dan rukun, apabila shalat dilaksanakan tidak memenuhi syarat dan rukun maka shalatnya tidak shah dan shalat tersebut harus diulang.

Untuk shalat wajib syarat dan rukun itu harus ada, artinya wajib adanya demikian juga dengan shalat sunat syarat dan rukunnya wajib walaupun hukum shalatnya sunat.

Ulama semua mazhab sepakat apabila satu perbuatan tidak sempurna atau tidak melaksanakan syarat maka perbuatan tersebut fasad (rusak) dan apabila satu perbuatan tidak sempurna atau tidak melaksanakan rukun maka perbuatan tersebut bathal (tidak dianggap ada), akibat hukum fasad dan bathal dalam ibadah adalah tidak shah dan harus mengulang perbuatan tersebut dari awal.

Rukun khutbah untuk shalat id (idul fitri dan idul adha) sama dengan khutbah shalat jum’at, yaitu : membaca hamdallah, shalawat kepada Nabi, wasiat taqwa, membaca ayat, membaca do’a.

Pada dasarnya rukun khutbah jum’at ini sama dengan rukun khutbah shalat idul fitri dan idul adha. Perbedaannya pada khutbah idul fitri dan idul adha ditambah dengan takbir, sembilan takbir pada khutbah pertama dan tujuh takbir pada khutbah kedua.

Perbedaan selanjutnya pada pelaksanaannya, khutbah jum’at dilaksanakan sebelum shalat jum’at dan untuk khutbah shalat id dilaksanakan setelah shalat.

Bila kita membaca sejarah pada masa Turki Utsmani pernah Pemerintah menyamakan pelaksanaan shalat dua id dengan pelaksanaan shalat jum’at, yaitu melaksanakan khutbah terlebih dahulu baru kemudian pelaksanaan shalat dua rakaat.

Alasan dibuatnya demikian karena ketidak mampuan melarang jamaah untuk pulang setelah pelaksanaan shalat sedangkan khatib sedang berkhutbah di atas mimbar dan rukun rukun khutbah belum habis dibacakan. Artinya shalat bagi jamaah yang pulang sebelum selesainya mendengarkan pembacaan rukun khutbah kedua tidak shah.

Dalam riwayat disebutkan itulah salah satu bentuk kesekuleran Turki Utsmani yakni merubah tata cara pelaksanaan ibadah. Di sisi lain juga mereka membolehkan shalat dengan menggunakan dengan bahasa daerah.

Pastinya kita tidak menginginkan semua ini terjadi di dalam masyarakat kita baik itu karena keadaan yang mengharuskan melaksanakan kesalahan dalam pelaksanaan ibadah atau juga disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat tentang pelaksanaan ibadah yang sebenarnya.

Hal seperti yang pernah terjadi pada masa Turki Utsmani terus terjadi di dalam masyarakat sampai pada masa saat ini, dimana jamaah shalat id banyak yang bergegas pulang setelah selesai pelaksanaan shalat dua rakaat, hal ini tidak hanya dilakukan oleh anak-anak yang dalam pemahaman kita tidak paham tentang aturan shalat tetapi juga dilakukan oleh mereka yang seharusnya sudah tau seperti bapak-bapak dan juga ibu-ibu.

Karena maraknya dikalangan jamaah shalat id terjadi hal yang demikian maka para khatib memberi solusi supaya ibadah jamaah tetap shah kendati sebagiannya cepat meninggalkan tempat shalat.

Solusi yang diambil adalah membacakan dua khutbah di awal (ketika khatib berdiri membacakan khutbah pertama kemudian duduk diantara dua khutbah dan bangun selanjutnya menyelesaikan khutbah yang kedua). Inilah solusi yang diambil dalam rangka menghindari ketidak shahan ibadah para jamaah yang hendak meninggalkan jamaah lebih awal.

Solusi yang diambil ini tidak hanya berlaku pada khutbah dua id tetapi juga pada khutbah shalat jum’at, dimana pada shalat jum’at tidak membacakan rukun khutbah di awal tetapi membacakan rukun atau mengulang rukun diakhir. Diantaranya juga untuk tujuan agar para jamaah sempurna mendengarkan rukun biar shalatnya shah.

Tujuan lain juga agar para jamaah tidak bosan mendengarkan khutbah, karena dianggap bila pesan dimasukkan dalam rukun yang telah ditentukan terlalu monoton.

Solusi lain yang diambil para khatib untuk mengisi solusi pertama utamanya adalah memisahkan antara khutbah dengan tausiah, artinya semua rukun yang dibacakan menjadi khutbah dan materi lain selain rukun sebagai tausiah.

Sehingga memunculkan kebiasaan yang kurang baik dalam berjamaah secara moral kendati shah secara hukum, yakni para khatib mengumumkan kalau rukun khutbah sudah selesai dan jamaah dibolehkan melakukan aktivitas lain, seperti merokok, mengubah posisi, dan lain-lain.

Dan akhirnya para penceramah juga berupaya menarik perhatian jamaah untuk menonton penceramah, dengan membuat lawakan atau lucu-lucuan.

Secara hukum sebagaimana kami sebutkan tidak salah (shah) ibadah yang dilakukan namun secara moral sangat kita sayangkan, karena ada sebagian jamaah setelah selesai rukun khutbah langsung menyalakan rokok dan yang lain juga berbisik dan tertawa karena mendengar lawakan penceramah sambil menonton retorika yang ditunjukkan. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.