Oleh : Fauzan Azima*
Beberapa waktu lalu, saya bertamu ke rumah Abuya Syarkawi di Pondok Pesantren daerah Bale Atu, Kec. Bukit, Bener meriah. Saya terharu dan bangga dengan semangat beliau. Dalam keadaan kondisi fisik yang belum sempurna pulih, tetapi masih berfikir jernih untuk menyelesaikan tugas sebagai Bupati Bener Meriah yang diamanahkan kepadanya dalam periode tertentu.
Keputusan Abuya sangat tepat, walaupun beberapa pihak merasa terganggu dengan dengan sikap itu. Apapun resikonya Abuya harus tetap bertahan dengan prinsipnya, sebagaimana nenek moyang kita dahulu, jangankan yang sudah diikrarkan, terbersit di dalam hati pun harus dilaksanakan. Itulah yang membuat pendahulu kita menjadi mulia di sisi Allah dan manusia.
Setiap manusia dilahirkan ke dunia dengan tugas masing-masing. Kewajiban menuntaskan “PR” itu termasuk yang sudah diperjanjikan di alam pewayangan (lauhul mahfudz). Selama hidup dari umur nol sampai dengan kematian, kewajiban itu harus dilaksanakan. Tidak boleh melalaikan setiap amanah yang dibebankan kepada diri.
Satu babak terlewatkan adalah kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan di kemudian hari, yakni pada hari kita dibangkitkan kembali. Setiap tugas itu, semua tercatat dengan rapi. Tidak ada yang terlupa dan tertinggal. Sejarah kita sudah lengkap, hanya kita saja yang berusaha nakal dan membelokkan biografi hidup menjadi kacau.
Sehingga jalan yang dilalui berliku dan semakin jauh dari kebenaran.
Teken kontrak tugas kita dengan Maha Pencipta itu bisa berupa profesi atau pekerjaan lainnya, maka laksanakan tugas yang diperjanjikan itu dengan benar dan berpedoman kepada rambu-rambu yang tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an, Hadits, Ijma, Qias, adat, kode etik dan hukum positif.
Profesi sebagai ASN atau sebut saja kepala dinas (kadis) dalam sebuah kantor, di samping berlaku pada dirinya hukum menurut agamanya, juga harus menjalankan aturan pemerintahan. Aturan spesifik tentang tidak terlibat narkoba, tidak berlaku amoral dan tidak korupsi menjadi aturan standar yang harus dipatuhi.
Dirinya yang ASN itu, yang lahir sejak nol tahun sampai ia sekolah, kemudian menjadi pegawai biasa sampai kemudian menjadi kadis, maka baginya berlaku hukum tanggung jawab menurut profesinya. Dalam pada itu, jika selama menjadi ASN menyimpang dari aturan yang ada, maka hal itu tetap dipertanggungjawabkan pada hari kebangkitan kelak.
Dalam kasus mantan pejuang GAM-pun demikian. Benar bahwa RI-GAM sudah damai sejak 15 Agustus 2005 di Helsinki, tetapi saling permusuhan di tingkat “akar rumput” masyarakat belum sepenuhnya benar-benar damai.
Seperti api dalam sekam. Sewaktu-waktu bisa menjadi api besar kalau ada tangan-tangan kotor yang berusaha menyulutnya.
Setidaknya setelah damai di Dataran Tinggi Gayo sudah tiga kali peristiwa yang hampir mengoyak perdamaian yang kita raih dengan susah payah.
Tragedi pertama terjadi pada hari Sabtu, 1 Maret 2008, sekelompok orang menyerang anggota KPA yang menyebabkan lima orang meninggal dengan sangat mengenaskan di daerah Atu Lintang, Kampung Meurah Pupok, Kecamatan Linge, Aceh Tengah.
Tragedi kedua terjadi saat Pilkada, tepatnya pada Selasa, 18 Maret 2014, organisasi Pembela Tanah Air (PETA) menyerang dan membakar Kantor DPW Partai Aceh (PA) di Kota Takengon. Mobil-mobil yang berstiker dan berlambang PA dihadang dan dirusak.
Kemudian esoknya, terjadi pada Rabu, 19 Maret 2014 terjadi tragedi ketiga, yaitu serangan balasan dari anggota PA menyerang rumah Ketua Umum PETA, Ir. Tagore dengan membakar rumah dan tempat usahanya di PUSKUD, Kampung Jamur Ujung, Kecamatan Wih Pesam, Bener Meriah.
Betapa rapuhnya perdamaian di kalangan masyarakat bawah karena setelah damai tiga tahun kita larut dalam euforia. Masing-masing pihak sibuk mengejar 3H (harta, tahta dan hawa), sehingga lupa menyelesaikan perdamaian sampai ke pelosok-pelosok, terutama di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Kita sebagai pribadi yang terlibat dalam perang RI-GAM masih punya tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas perdamaian sampai pada kalangan masyarakat bawah yang menjadi ekses dari konflik.
Kita berharap terjadi maaf memaafkan dari hati yang paling dalam, sehingga tragedi yang menyebabkan korban jiwa, fisik, harta dan harga diri, yang sudah berulang-ulang terjadi, tidak terulang kembali di masa depan.
(Mendale, 28 April 2022)