Opini dari Seminar Takengon Kota Pusaka

oleh

Oleh : Muchlis Gayo. SH. M.Si*

Tatkala penulis menerima undangan “SEMINAR NASIONAL”, di Hotel mewah, ukuran Aceh Tengah, dengan pemateri bergelar Doktor, 2 diantaranya memiliki nama besar dibidang sejarah, Prof. DR. Taufik Abdullah, MA, dan DR. Anhar Gogong, MA, putera daerah Prof. DR. M. Dien Madjid ( Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan pemateri lokal Ir. Tagore Abu Bakar (S1. pertanian USU), Drs, Ibnu Hajar Laut Tawar, (S1. Ilmu Pemerintahan).

Ketiga pemateri nasional, menjadi daya tarik yang kuat untuk meghadiri seminar tersebut, maka setelah selesai acara pembukaan Musabaqah Tunas Ramadhan ke 21 Kwarda Aceh di Bireun, pada pukul 01.15 WIB, penulis langsung kembali ke Takengon, selesai sahur, membaca buku-buku terkait materi seminar.

Setelah Bupati Sabela Abu Bakar membuka acara seminar, pemateri pertama Prof.DR. Taufik Abdullah, MA, lanjut Prof.DR. Anhar Gogong. MA melalui zoom meeting, dan ketiga Prof.DR. M.Dien Madjid.

Kesimpulan moderator dari ketiga Doktor sejarah tersebut, kedudukan Mr. Syafruddin Prawiranegara saat diberi mandat oleh Presiden Soekarno, untuk membentuk pemerintahan darurat RI (PDRI) berada di Bukit Tinggi.

PDRI berhasil dibentuk pada 22 Desember 1948, akan tetapi semua personal PDRI di incar Belanda, sehingga kedudukan Syafruddin Prawiranegara tidak jelas dimana lokasinya.

Pemateri hanya menyampaikan Syafruddin Prawiranegara, diketahui berada di Aceh saat Wapres Moh. Hatta ke Kutaradja Aceh, menjemput Mr. Syafruddin Prawiranegara.

Ketiga doktor sejarah menyarankan, perlu dilakukan penelitian, apakah benar Mr. Syafruddin Prawiranegara pernah ke Takengon.
Seminar mulai menjadi tontonan dagelan, tatkala pemateri ke 4, Ir. Tagore Abubakar, mantan Kadis Perkebunan, Ketua DPRD, Bupati Bener Meriah, anggota DPR.RI, dan tokoh pejuang Provinsi ALA, menyampaikan materinya dengan cara diluar kebiasaan seminar nasional.

Wajah Pemateri hanya tertuju kepada Prof. DR. Taufik Abdullah, MA, disertai kata “pak”, diawal dan diakhir kalimat, terkesan seperti calon sarjana mempertahankan hasil penelitian, tentang Mr. Syafruddin Prawiranegara berada di Burni Bius, dan Jamur Barat selama 6 bulan.

Lebih lanjut Ir. Tagore Abubakar dengan tegas, dan lugas menjelaskan kebenaran hypothesa kesejarahan, dan system ketatanegaraan RI ; jika Presiden memberikan mandat kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk memimpin pemerintahanan darurat, dan menetap selama 6 bulan disatu lokasi, maka lokasi itu disebut Ibu Kota Negara.

Pemateri mengusulkan, dibangun ibu kota negara ke 3, antara Burni Bius, dan Jamur Barat. Apakah kota ini yang ingin dijadikan Kota Pusaka?.

Keyakinan pemateri tentang lokasi kediaman Mr. Syafruddin Prawiranegara, dari hasil wawancara dengan saksi hidup, bapak H. Legimin, dan “ penuturan bapak pemateri saat ia masih kecil”, ( bapak pemateri adalah bapak penulis, Abu Bakar Bintang yang wafat disaat usia kami 5 tahun ).

Menurut pemateri; H. Legiman berusia 13 tahun, bersama Saiman, sering membantu Mr. Syafruddin Prawiranegara, dan menjadi kurir surat dari Burni Bius ke Jamur Barat, (tidak disebut, apakah diserahkan kepada Menteri Kabinet, atau mata-mata Belanda).

Bukti lainnya rumah tua, bekas kediaman sang pemimpin darurat, dan bunker. ( sayangnya tidak disebut apakah ada bangkai peralatan Radio di yang dibawa Mr. Syafruddin saat tiba di Burni Bius, untuk mendukung prolog statmen Bupati dalam undangan, bahwa Mr. Syafruddin Prawiranegara membawa radio”.

Seminar menjadi pasar lelang, setelah peserta mulai menyeletuk, dan bertepuk setiap kata penekanan diakhir kalimat ucapan pemateri, tepukan yang menurut pengalaman penulis selama menjadi Dosen, petanda mahasiswa sudah pingin istirahat atau pulang.

Penulis memaklumi, pemateri tokoh politik, tepukan dianggap pemberi semangat, maka penyampaian materi seperti berkampanye, dengan kata “ itu pasti, saya katakan pasti ”, dan “saudara-saudara setuju”.

Moderator terpaksa menghentikannya, pamateri ke 5 Drs. Ibnu Hajar laut tawar, kita tahu kebiasaan beliau, intinya beliau menyatakan Mr. Syafruddin Prawairanegara, berada di Takengon 207 hari.

Menjelang azan zuhur moderator memutuskan break, 3 orang peserta meminta waktu untuk menanggapi. Tiba-tiba muncul di layar zoom meeting, saudara Ikmal Gopi, lulusan IKJ Jakarta, penulis dan sutradara film documenter Radio Rimba Raya, memperlihatkan buku-buku tentang Radio Rimba Raya, sangat disesalkan pemateri ke 4, ternyata tidak terbiasa mendengar pendapat orang lain, langsung mengcounter, dengan kata-kata berbau sara.

Penulis sudah dapat memprediksi apa yang terjadi, lalu memasukan makalah kedalam tas, sebelum bangun, melirik ke arah layar zoom meeting, terlihat wajah bengong DR. Anhar Gogong, MA, menyaksikan keadaan Seminar Nasional di Hotel Mewah itu.

Penulis datang ke seminar membawa catatan tentang Radio Rimba Raya, dan usia PDRI, “Dalam cacatan sejarah, Soekarno Hatta dibebaskan Belanda tanggal 13 Juli 1949, atas perintah PBB kepada Belanda, dan Belanda diminta mematahui perjanjian Renvile, setelah Soekarno Hatta dibebaskan, pemerintahan Indonesia mulai normal, dengan demikian usia PDRI terhitung 22 Desember 1948, sampai 13 Juli 1949, ( 6 bulan 21 hari).

Jika Mr. Syafrudin Prawiranegara berada di Burni Bius selama 6 bulan, atau 207 hari, maka beliau menerima mandat di Burni Bius, bukan di Bukit Tinggi, dan tidak pernah berpindah tempat, maka aneh jika Belanda tidak mampu menangkapnya.

Catatan lainnya, kedatangan Mr. Sayfruddin Prawiranegara bersama menteri agama K.H. Mansyur ke lokasi Radio Rimba Raya, untuk menyampaikan pernyataan eksistensi pemerintahan Indonesia, yang sinyalnya ditangkap Radio Birma di Rangoon.

Dalam catatan tersebut menyatakan, demi mengamankan lokasi pemancar Radio dari pengamatan Belanda, semua pemancar radio di Aceh, di sebut Radio Rimba Raya.

Peralatan Radio Rimba Raya di Aceh Tengah, dibeli dari Malaysia, pertama dipasang di Kreung Simpur Aceh Utara, kemudian dipindahkan ke Cot Gue Seulawah, dirasa mulai tidak aman, atas perintah Gubernur Militer Tgk.

Daud Bereueh, dipindahkan ke Burni Bius Takengon, saat parangkat masih berada di ronga-ronga, diberi tahu oleh kurir, lokasi Burni Bius sangat terbuka, lalu diputuskan perangkat di pasang di hutan dekat kampung Ronga-ronga, dikemudian hari lokasi ini disebut kampung Rimba Raya.

Hal lain yang ingin penulis pertanyakan, jika dilihat dari persfektif politik ekonomi diera globalisasi, manfaat apa yang diperoleh dari “Takengon Kota Pusaka ?”.

Kota Takengon diera Bupati Sabela Abu Bakar, dikenal dengan “kota wisata”, dan pada tanggal 08 Desember 2021 Bappeda Aceh dari hasil kajian Focus Group Discussion III, memutuskan Masterplan KSPPN DTGA, kawasan Danau Lut Tawar menjadi kawasan utama dari 3 kawasan lain ( A. Tenggara, BM, Gayo Lues), suatu Kawasan yang dibiayai oleh Pemerintah Pusat, walau menunggu 3 tahun kedepan.

Pendukung lainnya Hari Jadi Kota Takengon, yang dapat dijadikan media; “Pameran Potensi SDA, dan Hasil Pembangunan”, “Pekan Kebudayaan Gayo”, “Pacuan kuda Pordasi nasional”, Pacuan Kuda Tradisional pada HUT RI, untuk memelihara kuda asli Gayo, jika dapat direalisasikan Aceh Tengah diincar para investor, dan akan menyerap tenaga kerja terdidik, lulusan SMK dan Perguruan Tinggi.

Kita berkaca dari Kota Bireuen, yang kini disebut “Kota Santri”, wujudnya dapat terlihat, prilaku warga kota seperti santri-santri di pesantren, saat waktu shalat semua kegiatan dihentikan, waktu dan music penghibur pesta pernikahan, sunatan, kelahiran dapat diatur, bada magrib anak-anak berada di dayah mengaji, dsb.

Pertanyaannya, bagaimana wujud “Kota Pusaka” yang ingin dicapai?, karena pusaka menurut Kamus Bahasa Indonesia, terkait dengan benda, seperti, Keris, Cincin, rumah, tanah.

Momentum yang tepat untuk Aceh Tengah saat ini, memekarkan “Kota Takengon”, yang sudah disosialisasikan DPRK dan Pemda Aceh Tengah tahun 2010, dengan anggaran tersendiri, kota Takengon dapat berbenah diri menjadi Kota Pariwisata dengan arsitektur budaya Gayo, anggaran Aceh Tengah dipergunakan memacu ibu kota Kecamatan menjadi pusat ekonomi rakyat dipinggiran, dengan demikian urbanisasi ke Kota Takengon dapat ditekan.

Jangan sampai rertinggal oleh kota-kota Kecamatan di Pesisir Aceh yang terus berbenah, berpacu minta dimekarkan.

*Pemerhati Sosial Budaya Tinggal di Takengon

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.