Oleh : Win Wan Nur*
Kamis 21 April 2002, masyarakat dari lima kampung terdampak pembangunan PLTA Peusangan, mulai dari kampung Wih Sagi Indah, Wih ni Bakong, Wih Pesam, Sanihen dan Lenga, mendatangi DPRK Aceh Tengah untuk mencari solusi atas masalah menahun yang mereka hadapi.
Pertemuan masyarakat lima kampung terdampak pembangunan PLTA Peusangan di ruang rapat DPRK Aceh Tengah ini, terkait berlarut-larutnya pembayaran ganti untung lahan milik mereka yang digunakan untuk proyek PLTA itu berlangsung panas.
Pihak masyarakat yang merasa tidak ada kejelasan soal ganti rugi lahan milik mereka terbawa emosi ketika menyampaikan pendapat, bahkan kaca meja di gedung dewan pecah karena dipukul dengan keras oleh seorang anggota masyarakat saat terbawa emosi ketika menyampaikan pandangan. Untungnya, Edi Kurniawan, wakil ketua I DPRK Aceh Tengah yang memimpin pertemuan, tampil sangat tenang dan mampu mendinginkan suasana.
Pasal dari sengkarut pembayaran ganti untung ini terjadi karena adanya perbedaan persepsi antara masyarakat dan PLN soal luasan tanah yang mereka bayar dan yang diklaim masyarakat.
Pokok utama munculnya sengkarut ini adalah ketiadaan bukti data dokumen kepemilikan tanah, baik di masyarakat sebagai penjual maupun PLN sebagai pembeli yang telah membayar ganti rugi pada tahun 1998 – 2000 silam.
Akibatnya, baik PLN maupun masyarakat tidak dapat membuktikan klaimnya.
Belakangan, karena sengketa ini seolah tak berujung, pemerintah Aceh Tengah membentuk tim verifikasi dan validasi untuk mengukur ulang tanah yang bermasalah.
Pengukuran sudah dilakukan dan tim verifikasi dan validasi pun sudah mengeluarkan rekomendasi, tapi rekomendasi itu baru sebatas menyatakan bahwa ada perbedaan luas, bukan perintah eksekusi.
Untuk bisa melakukan eksekusi masih perlu dibentuk tim lagi buat tim untuk memastikan perbedaan atau selisih luas itu.
Kemudian di tengah proses ini, dokumen kepemilikan tanah yang hilang di tahun 1998 – 2000, tiba-tiba ditemukan, di rumah seorang oknum pegawai BPN yang dulu mengurusi soal ganti rugi (dulu belum ganti untung) tanah warga oleh PLTA, yang saat ini sudah berpulang.
Dokumen yang ditemukan di rumah almarhum ini, menunjukkan dengan jelas, tanah mana yang sudah dibayar dan mana yang belum.
Nah di sini persoalan baru muncul lagi, karena ternyata pengukuran tanah yang dilakukan pada periode 1998-2000 silam, menurut warga tidak dilakukan dengan cara normal.
Karena masa itu konflik sedang marak dan besar, masyarakat menyaksikan tanahnya diukur di bawah tekanan aparat bersenjata, sehingga pengukuran dilakukan petugas tanpa didampingi oleh pemilik lahan.
Akibatnya beberapa warga mengaku, bahkan lahan rumahnya yang jelas diketahui semua orangpun jadi masuk milik tetangga.
Kearifan lokal di kampung, hukum adat yang mana tanah diukur dari batas terendah air saat surut tidak dipedulikan petugas pengukur lahan tahun 1998-2000, waktu itu posisi dalam keadaan air sedang naik (lemo), sehingga banyak lahan terendam. Lahan terendam ini tak diakui oleh petugas pengukuran, sehingga beberapa warga kehilangan tanah seluas 35 meter kali panjang.
Masalah ini, sekarang kembali dipermasalahkan warga.
Alhasil, semakin kusutlah persoalan ini.
PLN sebagai pemilik PLTA jadi korban karena tidak bisa melanjutkan pekerjaan yang sebenarnya tinggal 11% lagi.
Warga tentu lebih parah lagi, mereka tak bisa berusaha di lahan milik sendiri, bahkan ada yang mengaku sudah 20 tahun tak mendapat manfaat dari lahan milik sendiri.
Akibatnya, pertemuan di DPRK yang dihadiri oleh lebih seratus warga inipun memanas. Warga yang merasa sudah terlalu lama hanya diberi janji-janji yang tak ada skala waktu penyelesaian yang pasti, terpancing emosi.
Kaca meja ruang rapat DPRK sempat pecah karena dipukul seorang warga.
Tak ingin kembali mendapat angin surga janji-janji, warga menuntut tanggal pasti pembayaran lahan, sementara PLN yang hanya bisa membayar ketika sudah dipastikan tak ada hukum yang dilanggar mengaku tak bisa memberikan tanggal pasti.
Alhasil pertemuan hampir saja menuju jalan buntu.
Untungnya, para anggota DPRK yang menemui warga, mulai dari pukul 10 pagi sampai akhir ashar, dengan dipimpin oleh ketua I DPRK Aceh Tengah, Edi Kurniawan, benar-benar bernyali dan bekerja secara profesional.
Mereka bisa menawarkan solusi yang diterima semua pihak, mereka akan membuat pansus untuk menyelesaikan persoalan ini.
Pansus ini akan dibentuk setelah lebaran nanti. []