Oleh : Zamzam Mubarak*
Takengon Kota Pusaka mendapatkan momen bergengsi dalam seminar Nasional dalam rangkaian acara pestival tilawatil Qur’an Radio Republik Indonesian, event nasional ini berakhir tragis dengan munculnya ujaran kebencian berbau Sara kepada sosok sutradara radio Rimba Raya Ikmal Gopi.
Padahal, sebagai sutradara film dokumenter, mahakarya yang telah dilahirkan Ikmal Gopi Film Dokumenter Radio Rimba Raya, telah mendapatkan pengakuan nasional dalam ajang festival.
Padahal karya tersebut lahir dari keterbatasan namun dengan modal semangat besar nan membara film dokumenter tersebut mampu diselesaikan dalam kamar penginapan Asrama Laut Tawar Jakarta yang beratapkan terpal (sebelum rehab.)
Karena itulah saat muncul hinaan kepada beliau, rasa super kecewa hampir tidak terbendung kepada Tagore yang mendapatkan mandat dari sang adek, Shabela Abubakar yang nota bene adalah Bupati Aceh Tengah sebagai narasumber seminar Nasional, narasi yang dibangun Syarifuddin prawiranegara sebagai presiden darurat pernah memimpin dari Jamur Barat (Silihnara) ini menjadi isu utama yang disampaikan Bupati Aceh Tengah kebeberapa media dan hal ini kembali disampaikan sang abang di hadapan para peserta dari perwakilan beberapa daerah.
Para narasumber selain Tagore, adalah sejarawan berkelas par excelence yang tidak diragukan lagi keilmuannya, membantah pernyataan mantan anggota DPR RI ini.
Dan para sejarawan ini bersepakat bahwa tidak ditemukan referensi valid bahwa Syafruddin Prawiranegara pernah memimpin negara republik Indonesia dari Aceh Tengah.
Hal ini telah mengugurkan narasi Kota Pusaka yang disampaikan Tagore dan Shabela Bupati Aceh Tengah.
Ini membuktikan bahwa Aceh Tengah yang dipimpin Shabela Abubakar miskin gagasan padahal situasi hari ini, Aceh Tengah berada dalam kondisi darurat ekonomi.
Idealnya Ada beberapa narasi yang bisa diangkat dalam masa pemulihan ekonomi hari ini misalnya Kota kopi, Kota Wisata atau Kota Alpukat.
Ada begitu banyak pilihan narasi pembangunan yang bisa didorong untuk percepatan pembangunan, kenapa Bupati membuat tontonan memalukan dengan memberikan pangung kepada sang Abang yang telah mencoreng Gayo dimata nasional dengan ujaran kebencian berbau SARA yang telah mengorbankan Ikmal Gopi?
Seharusnya seminar tersebut sebagai ajang adu fakta, ajang adu pikiran apalagi terkait menggali sejarah perjuangan Radio Rimba Raya.
Tagore, bupati dan panitia sampai hari ini, sama sekali belum menunjukkan upaya meminta maaf kepada Ikmal Gopi.
Untuk ini, menurut saya harus ada upaya serius dari korban Ikmal Gopi untuk membawa persoalan ini ke jalur hukum karena ujaran kebencian seperti ini tidak bisa dibiarkan, karena akan menjadi teladan buruk bagi generasi muda di masa yang akan datang.
Apalagi ini terkait sejarah bangsa dan negara.
Untuk itu, saya sampaikan kepada bupati pemerintah daerah ini harus dikelola secara profesional berbasis riset bukan berbasis “Mungkur.”
Daerah ini tidak miskin namun daerah ini belum terkelola karena lemahnya pemerintah daerah.
Sampai hari ini, daerah ini berkembang karena warganya mau bekerja dan kreatif walaupun minus sentuhan bupati.
*Pemerhati Politik Tinggal di Takengon