TAKENGON-LintasGAYO.co : Selasa 19 April 2022, bertempat di Cafee Keni Gayo Pujasera jalan jalur dua Kebet. Keluarga Alumni Yogyakarta (Kagayo) menyelenggarakan acara bedah buku “Sejarah Awal Islam Di Gayo” karya Prof. Dr. M. Dien Madjid, seorang putra Gayo asal kampung Lelabu yang saat ini berstatus guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Acara yang dihadiri oleh lebih dari 100 peserta berbagai unsur masyarakat ini menghadirkan dua orang akademisi sebagai pembanding, yaitu Dr. Salman Yoga dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh dan Dr. Evanirosa dari Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Takengon.
Dalam acara bedah buku ini, Prof. Dien Madjid memaparkan berbagai informasi sejarah Gayo yang meskipun sudah pernah ditulis di buku lain sebelumnya, tapi dipaparkan secara lebih sistematis dan terarah di buku ini.
Prof. Dien Madjid menjelaskan kalau sejarah masuknya Islam di Gayo itu berawal dari Perlak, kemudian naik melalui aliran sungai ke Linge.
Menurut Prof. Dien Madjid, pada masa itu Islam yang datang ke Aceh ada yang Syiah dan ada yang Ahlussunah Wal Jamaah. Tapi tidak pernah terjadi gesekan antara penganut dua aliran itu.
“Yang Syiah umumnya berkembang di perkotaan (pesisir) yang Ahlusunnah wal jama’ah berkembang di pedalaman,” urainya.
Dr. Evanirosa sebagai pembanding, mengaitkan informasi sejarah ini dengan fakta ceruk Mendale dan membuat hipotesa kalau sebenarnya peradaban Linge, tiba di Gayo belakangan. Bukan peradaban awal.
Dr. Salman Yoga yang menjadi pembanding kedua mengungkap adanya pembelokan sejarah Gayo yang dilakukan secara sistematis oleh sekelompok oknum.
Setelah, pemaparan dari semua pemateri, panitia membuka sesi tanya jawab.
Pada sesi tanya jawab ini muncul pertayaan dari peserta bernama Satria Darmawan, yang menanyakan, bagaimana sebenarnya sejarah kebesaran kerajaan Linge.
Menjawab pertanyaan itu, Prof. Dien Madjid mengatakan, kalau Kerajaan Linge bukanlah sebagai kerajaan besar yang punya struktur rapi, hirarkis dan otoritatif sebagaimana banyak dibayangkan orang.
“Jaman dulu, seperti kampung kita sekarang. Satu kampung dan kampung lain itu berjauhan, tidak berkumpul. Kadang cuma ada 5 keluarga, lalu satu orang disebut reje, seperti kampung sekarang. Jadi jangan bayangkan kerajaan Linge itu seperti kerajaan besar seperti cerita sinetron di TV,” ungkap Prof. Dien Madjid.
[Win Wan Nur]