Pelolo Bedame (Sebuah Tatanan Dalam Pesaka Linge)

oleh

Oleh : Dr. Mohd. Din, SH, MH*

Merasa gembira, tersentak dan terbangun kembali setelah mendengar berita-berita tentang perhatian menggali adat budaya Gayo.

Ampun ku Tuhen, maaf ku tuah bahgiente,” karena selama ini kurang perhatian terhadap hal yang maha penting ini, seakan cuek dan pesimis.

Dimana pada tahun-tahun 1982 atau 1980 an, bersama kawan-kawan berkeinginan untuk menulis tentang Gayo, namun tidak ada referensi untuk itu.

Sehingga dilakukan penelusuran melalui dialog dengan beberapa tokoh adat dan dengan mempelajari adagium-adagium atau petatah petitih. Bagi saya yang menekuni hukum, maka yang paling saya cari adalah hukum adat itu dan ketika bicara hukum tentu bicara etika, bagaimana urang Gayo berperilaku.

Bagaimana urang Gayo menyelesaikan persolalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Namun rasa gembira ini dikuti dengan perasaan sedih dan terlalu miris rasanya, karena di tengah pencarian jati diri atau eksistensi urang Gayo tersebut timbul percikan dan itu dipertontonkan, sehingga semestinya orang lain tidak tau menjadi tau.

Apakah yang kita pertontonkan ini juga merupakan jati diri urang Gayo?

Asal Linge awal serule,” yang saya maknai sebagai dua mestika yang menjadi pegangan urang Gayo, yaitu Edet urum Seriet, edet ari Linge seriet ari Serule; di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur termasuk di dalam menyelesaikan persoalan yang penuh dengan kearifan.

Kedua mestika ini dapat kita katakan sebagai “Pesaka Linge”. Ternyata di dalam perkembangan hukum secara nasional pun dewasa ini, bangga sekali rasanya, karena pola yang ada di dalam dua mestika tadi, yang dulunya dipegang teguh di tengah-tengah masyarakat kita, itulah yang dikembangkan secara nasional, yang dikenal dengan Restoratif Justice, mediasi dan diversi -dalam peradilan anak-.

Bahasa umum “tingkis ulak ku Bide, sesat ulak ku dene” menandakan bahwa “cemperlepmerawe silep, cemperle merawe lale” adalah fitrah. Yang penting adalah cepat kembali, dan dalam hal demikian ini di dalam masyarakat Gayo, terkadang ada kekhilapan yang justru berbuah sangat manis.

Kita masih sering mendengar “biak sebut” yang biasanya bermula dari perkelahian sehingga menjadi saudara selayaknya “sara ine sara ama” yang mutlak ikut dalam sinte murip dan sinte mate, bahkan ada yang saling mewarisi.

Dasar-dasar penyelesaian masalah yang dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan yang di Aceh antara lain dikenal dengan Qanun tentang kehidupan Adat, MoU antara Gubernur, Polda dan Majelis Adat adalah suatu hal yang tidak asing di dalam masyarakat Gayo, prinsip penyelesaian “sikul ikucaken si kucak iosopen, kenguk enti mukertek, enti sawah betih itik urum kurik.

Utamakan salah betegah benar bepapah. Meskipun ada “salah besemah, ilit berisi”, itu adalah upaya terakhir untuk memperkuat pemaafan.

Upaya perdamaian ini, secara nasional juga dikembangkan. Aparat penegak hukum, terutama polisi dan jaksa diwajibkan untuk mengutamakan penyelesaian secara adat atau perdamaian.

Jadi Qanun adat dan MoU tadi, secara nasional diperkuat. Pada tingkat Kepolisian baru saja dikeluarkan Perpol No. 8 Tahun 2021 tentang Penghentian Penyidikan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang semula dalam bentuk surat edaran, yaitu SE/8/VII/2018.

Tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Dan pada tingkat kejaksaan ada perja Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Yang sekarang diperkuat dengan dicantumkan ke dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Kenapa ini saya ceritakan?

Bangga sebagai Urang Gayo, secara nasional baru berfikir, kita sudah menerapkannya sejak dulu. Jadi sungguh miris rasanya mendengan hal yang kurang sedap tadi. Hal demikian tentu bukan hal yang baik di dalam perilaku kehidupan kita.

Ada filosofi “rebut sangkan, usuh tunin,” jangan aib malah dibesar-besarkan, mari kita selesaikan secara bersama, dari kita untuk kita.
Mengakhiri tulisan singkat ini, untuk menggali jati diri kita urang gayo, siapa kita sebenarnya, maka kitab yang kita baca adalah kitab yang lebih luas.

Kalau kita mencari buku-buku referensi, sampai dengan sekarang masih sangat kurang. Sekali lagi saya bangga dan memberikan apresiasi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, kitab yang lebih luas itu saya maksudkan adalah, ada petatah petitih, atau juga karya-seni seperti Kerawang.

Pada ukiran Kerawang tentu tersirat makna yang sangat dalam. Satu di antaranya (dari ukiran Kerawang) yang ingin saya kermukakan adalah simbul “Pucuk Rebung”, tidak tau kenapa dikatakan Pucuk Rebung, bukan tuis.

Pucuk Rebung menandakan bahwa urang Gayo berlapis-lapis dalam pengertian bergenerasi. Tuis yang nantinya akan menjadi bambu yang diawal-awal karena belum berilmu pucuknya (ulu) tegak ke atas, namun semakin lama (semakin mersik) semakin runduk sampai terbalik ke bawah melihat generasi muda.

…“Batang si mersik Petungkuk Pucuk Ku tuyuh…Nengon Generasi Mude”

Wallahu’alam

*Penulis adalah Akademisi Fakultas Hukum USK, Berasal dari Kalang, Rawe.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.