Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*
Momen Ibadah
Bulan Ramadhan merupakan bulan ibadah bagi setiap muslim, dikatakan dengan bulan ibadah karena pada bulan ini semua amal ibadah akan dilipatgandakan pahalanya, ibadah sunat dinilai sama dengan nilai ibadah wajib di luar bulan Ramadhan kemudian ibadah wajib akan dilipat gandakan nilai pahalanya.
Semua umat Islam berupaya semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai-nilai tersebut.
Para petani berupaya menyelesaikan pekerjaannya sebelum masuknya bulan Ramadhan, sehingga ketika masuknya bulan Ramadhan mereka tidak perlu kerja keras dan kalaupun mereka harus bekerja maka mereka akan mengurangi volume kerja, mereka lebih cepat pulan dari tempat kerja.
Demikian juga dengan buruh-buruh kasar, mereka berupaya pada bulan Ramadhan untuk tidak bekerja dan kalaupun harus bekerja sama dengan petani akan mengurangi beban dan jam kerja mereka.
Sebagai pegawai negeri sipil (PNS) sekarang disebut dengan aparatur sipil negara (ASN), dibuat aturan oleh pemerintah khusus untuk bulan Ramadhan, juga bermaksud untuk mengurangi volume dan jam kerja.
Tujuan dari semuanya adalah untuk menjaga stamina dalam melaksanakan ibadah, karena pada siang hari harus berpuasa dengan tidak makan dan minum dan pada malam hari dianjutkan untuk melaksanakan shalat-shalat sunat dan bertadarus.
Lembaga-lembaga pendidikan mulai dari lembaga paling rendah (SD/MIN) sampai kepada lembaga paling tinggi (PT) juga lembaga pendidikan swasta diliburkan selama bulan Ramadhan, sehingga kampung menjadi pusat kegiatan generasi muda.
Apakah generasi muda tersebut memanfaatkan hari libur Ramadhan ini untuk kegiatan-kegiatan yang baik-baik dalam rangka menunjang pendidikan mereka atau berdiam tidak melakukan apapun (betul-betul libur).
Santri dan Mahasiswa Dahulu
Sebagai orang yang tinggal di Aceh mungkin belum lupa bagaimana hebatnya Madrasah Ulumul Qur’an (MUQ) Langsa pada tahun 1990-an, dimana para santri dan anak-anak yang belajar dan bersekolah di pesantren tersebut pada libur bulan Ramadhan diwajibkan mengisi ceramah Ramadhan di masjid-mesjid di daerah mereka masing-masing.
Hal yang serupa juga dilakukan oleh lembaga pendidikan pesantren modern yang lain, sehingga gema atau gaung pesanren modern dikenal diseluruh pelosok negeri.
Semua kita, apakah sebagai orang tua atau orang yang berpendidikan pada saat itu mengetahui, kalau ceramah yang disampaikan di masjid-mesjid dan di mushalla-mushalla oleh anak-anak pada saat itu mereka hafal, baik yang berbahasa Arab ataupun yang berbahasa Inggris.
Tetapi bagi bagi orang tua dan masyarakat yang lain tidak mempermasalahkan karena bagi mereka bukan materi atau isi ceramahnya yang penting tetapi yang lebih penting adalah keberanian mereka tampil di depan orang banyak (jamaah).
Itulah motivasi awal para orang tua memasukkan anak-anak mereka menuntut ilmu di pesantren-pesantren modern, karena anak-anak mereka mampu menunjukkan kepandaian/keteram[ilan untuk tampil di depan halayak ramai yang membuat orang tua mereka berbangga hati.
Demikian juga dengan para mahasiswa yang duduk di bangku kuliah walaupun mereka baru duduk di tahun atau semester pertama, ketika mereka libur pada bulan ramadhan mereka mengisi ceramah di mushalla-mushalla dan masjid-mesjid minimal disekitar kampung-kampung terdekat.
Masyarakat tidak membedakan tempat kuliah, apakah seorang mahasiswa itu kuliahnya dilembaga pendidikan agama atau juga mereka kuliah di perguruan tingg umum, bahkan juga tidak membedakan jurusan yang penting bagi masyarakat anaknya bisa tampil di depan umum.
Sehingga mahasiswa pada saat itu harus mempersiapkan materi ceramah mereka sebelum datangnya bulan Ramadhan atau sebelum mereka pulang ke kampung.
Santri dan Mahasiswa Sekarang
Akhir-akhir ini semakin banyaknya pesantren-psantren modern di berbagai daerah, sampai dengan jumlah tidak terhitung di sebuah Kabupaten, dan banyaknya perguruan tinggi (PT) sampai disetiap Kabupaten ada dan bahkan lebih dari satu.
Tradisi ceramah dan tampil di depan umum bagi para santri serta mahasiswa sudah hilang, kita tidak tau apa alasannya, pada hal itu sangat baik untuk membentuk prilaku dan moral generasi muga.
Sehingga pada saat sekarang ini apabila kita mewajibkan ceramah kepada mahasiswa mereka sangat merasa keberatan. Pernah pada tahun 2020 saya menganut 5 unit mata kuliah dengan jumlah mahasiswa lebih kurang 200 orang, saya wajibkan mengisi ceramah namun yang mengirim vedio ke group WA hanya satu orang.
Tahun ini (2022) karena juga bertepatan dengan libur Ramadhan, saya mewajibkan kembali bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh untuk mengisi ceramah Ramadhan minimal satu kali di mushalla di kampung masing-masing, dan akan semakin labih baik bila mengisinya melebihi dari jumlah tersebut.
Hal tersebut tidak mungkin bisa terwujud bila dukungan dari masing-masing orang tua mahasiswa tidak ada, atau juga dukungan dari Imam Kampung dan Imam Meunasah, serta pengurus masjid dalam menjadwalkannya.
Hal ini sangat penting, karena ada fenomena yang terjadi dalam keluarga dan masyarakat dimana anak-anak dianggap tidak mempunyai kemampuan secara keilmuan dan juga dianggap belum mampu menjadi orang terdepan dari sisi moral.
Demikian juga dengan Tengku, Ulama dan Tokoh masyarakat yang meganggap mereka yang duduk di perguruan tingga belum mampu memahami agama secara benar mendalam sehingga tidak layak untuk tampil dihadapan jama’ah untuk memberi pengetauan agama.
Orientasi pemahaman orang tua bahwa anak selalu dianggap lebih rendah dari orang tua karena dia adalah anak dalam segala sisi, menyebabkan anak tidak pernah tampil berkreasi dan berinovasi sehingga anak tidak mampu memberi tau kepada orang banyak apa yang sebenarnya yang sudah mereka ketahui.
Orang tua tidak pernah tau apa yang telah dipelajari anaknya di perguruan tinggi, sampai-sampai orang tua tidak pernah tau apa nilai ujian yang didapatkan oleh anaknya, hal terseut terjadi karena orientasi orang tua terhadap pendidikan anak adalah bekerja sebagai pegawai negeri.
Hendaknya
Solusi untuk mengetahui seberapa banyak sudah ilmu yang didapatkan mereka yang telah menuntut ilmu di pesantren dan di perguruan tinggi tidak ada lain caranya kecuali dengan memberi mereka panggung (mimbar) untuk berceramah di depan para jamaah ketika selesai shalat Isya/Tarawih atau juga selesai salat subuh.
Selain itu juga kita mesti berani mengatakan bahwa moral generasi muda akan terjaga dan akan menjadi lebih baik apabila mereka tampil di depan orang banyak.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Dosen Mata Kulah Agama dan Aqidah Akhlaq pada Prodi Gizi Poltikes Aceh