Oleh : Fauzan Azima*
PERANG itu seperti mimpi panjang yang tak berakhir. Tak peduli seberapa kuat kita berusaha bangun, mimpi buruk itu terus menyeret kita ke tempat dan situasi yang tak pernah kita harapkan.
Karena itulah, perdamaian di Aceh, khususnya di Tanah Gayo; Aceh Tengah dan Bener Meriah harus senantiasa dijaga. Perdamaianlah yang membangunkan kita dari situasi buruk itu.
Kita, para pihak yang pernah bertikai pun hendaknya menyadari hal ini. Jangan sampai muncul konflik. Tidak hanya antarelit politik. Seluruh potensi yang bakal memantik kekerasan itu harus segera dituntaskan.
Perdamaian harus tertanam di tengah-tengah masyarakat. Seperti akar yang menguatkan batang pohon. Sehingga tak ada angin kebencian dan dendam yang sanggup merobohkannya.
Memang ini bukan pekerjaan mudah. Jejak peperangan itu terlalu panjang bayangannya. Potensi gangguan yang hingga kini belum padam sepenuhnya adalah perpecahan antarkampung. Jika ingin perdamaian di Aceh langgeng, maka perpecahan dan dendam itu harus dihapuskan.
Dalam sebuah film dokumenter berjudul Where to Invade Next karya Michael Moore, sutradara asal Amerika Serikat, digambarkan tentang usaha Republik Federal Jerman memastikan kekejian ala Nazi tak terulang di masa depan.
Mereka mengedukasi setiap anak tentang bahaya perang dan sikap intoleran yang memaksa Jerman terlibat dalam peperangan panjang di Eropa. Upaya penyadaran lewat jalur pendidikan ini harus ditanamkan agar tak ada lagi orang Jerman yang menganggap diri mereka lebih baik dari bangsa lain di dunia ini sehingga mereka bisa berbuat sesuka hati.
Potensi peristiwa yang berulang-ulang setiap terjadi konflik terjadi di banyak tempat pada kejadian dan waktu yang berbeda. Sering kali itu terjadi karena dianggap tak penting.
Tempat-tempat; Seperti Bur Lintang, Uyem Pepongoten, Cot Panglima, Wih Kanis, Wih Konyel, Totor Tenge Besi, Totor Ilang, Tajuk Enang-Enang yang merupakan “saksi bisu” kekerasan sejak masa penjajahan Belanda, Jepang, Peristiwa DI/TII, peristiwa PKI dan yang terakhir konflik Pemerintah Indonesia dan GAM.
Besar harapan kita dengan “Silaturrahami Kebangsaan dengan tema merawat damai dan memutuskan mata rantai konflik” tempat-tempat tersebut tidak berulang kembali sebagai tempat kekerasan baru pada masa depan.
Setiap konflik yang melahirkan kekerasan di masa lalu, maka konflik itu juga sampai ke Dataran tinggi Gayo, di Bener Meriah dan Aceh Tengah. Sejak 1873, pada saat Belanda menyampaikan maklumat perang terhadap Aceh, maka di Negeri Malem Dewa ini juga terjadi perang.
Selanjutnya pada saat sejumlah tokoh Aceh mendeklarasikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang memantik kekerasan di Tanoh Gayo ini. Demikian pula pada saat terjadi peristiwa PKI di pusat lagi-lagi sampai juga ke negeri di atas awan ini dan lagi tidak sedikit yang menjadi korban kekerasan.
Selanjutnya konflik panjang antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, tidak terhitung jumlah korban kekerasan dari kalangan sipil. Mereka yang tidak ikut terlibat konflik, yang tak tahu menahu tentang situasi, juga menjadi korban.
Kekerasan demi kekerasan akan terus terjadi jika tak ada upaya serius untuk mengantisipasinya. Masyarakat kita senang berkumpul-kumpul. Menurut psikologi massa kecerdasan mereka menjadi rendah. Bukan tak mungkin, hanya dengan provokasi murahan, kejahatan-kejahatan kemanusiaan itu terulang lagi.
Dataran Tinggi Gayo; Aceh Tengah dan Bener Meriah memerlukan metode, baik melalui agama, adat dan budaya, yang bisa mencerdaskan semua lapisan masyarakat.
Mengajarkan mereka dan memberikan pemahaman tentang buruknya perilaku kita di masa lalu. Mereka harus diajarkan agar tak ada lagi tempat berhantu yang terus menerus menggoda untuk mengulangi kekerasan dengan korban yang berbeda.
Oleh karena itu, api kebencian dan sak wasangka, suudzon tidak boleh dinafikan. Rasa saling curiga antaretnis ini menyebabkan pondasi masyarakat lapuk.
Kita harus mau duduk selantai untuk merumuskan kembali sesama kita. Berdiri sama tinggi untuk melihat masa lalu dan menentukan di masa depan damai selalu abadi di tanah Gayo ini.
Akhirnya di akhir sambutan ini saya sampaikan; apabila ada kesalahan pada masa lalu yang kebetulan saya sebagai pimpinan, maka jangan timpakan kesalahan itu kepada pimpinan saya, begitupun jangan pula kesalahan itu ditimpakan kepada pasukan di bawah kendali saya.
Semua kesalahan itu adalah menjadi tanggung jawab saya. Akan tetapi saya percaya, masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah masyarakat yang pemaaf; dan saya pribadi maupun sebagai pimpinan di masa lalu, khususnya kepada keluarga;
1. Bapak Zen Kaharuddin
2. Bapak Marnak
3. Bapak Pirin
4. Abang Edi Suyono
5. Anak Erma Juni Prastika, dan
6. Ibu Amah
Juga kepada seluruh masyarakat Kampung Gresek atau masyarakat Sedie Jadi, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah, umumnya, saya juga mohon di bukakanlah pintu maaf dan mulai hari ini saya berharap terimalah saya sebagai saudara, seperti saudara se-ayah dan se-ibu.
Terima kasih kepada KontraS dan Forkopimda Bener Meriah yang telah menginisiasi acara ini dan kami berharap acara ini tidak berhenti di Kampung Sedie Jadi saja, tetapi mari kita selesaikan konflik ini sampai ke akar-akarnya dengan membuat acara serupa di kampung-kampung yang pernah menjadi korban konflik.
Mari kita akhiri seluruh potensi yang memantik konflik dan hapus jejak panjang dosa masa lalu untuk kehidupan kita dan anak cucu yang lebih baik pada masa yang akan datang.
Birahmatillah,
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
*Disampaikan sebagai sambutan acara “Silaturrahmi Kebangsaan” pasa 29 Maret 2022 di Kampung Sedie Jadi, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah)