Cicimpala Sang Penyambut Fajar yang di Ambang Punah

oleh
Burung Kacer Cincimpala. (Int)

Oleh : Atrah*

Cicodi ko Cicimpala… sanade iyemahko keber…Frasa ini kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia kira-kira artinya seperti ini ”Riuhnya kicaumu Cincimpala, apa gerangan kabar yang kau bawa”.

Demikianlah sepenggal kalimat dari salah satu bait lirik lagu Gayo ”Kalang Siki Grup” yang menyentuh hati menggugah naluri dan masih terngiang ditelinga saya hingga kini. Menceritakan tentang kerinduan seorang ibu terhadap anaknya yang di perantauan, namun tak kunjung mendapat kabar.

Si ibu seolah hanya dapat merasakan kehadiran buah hati si jantung rasa manakala meresapi senandung Cicimpala yang melantunkan ritme menyanjung semesta dengan syair-syair kesyahduan di sekitar tempat tinggalnya.

Adapun Kalang Siki Grup adalah satu dari beberapa grup musik pada era 1990-an sempat populer di masyarakat Gayo, yang lagu-lagunya berkisah tentang alam dan romantisme kehidupan.

Dalam dunia burung, Cicimpala termasuk kedalam hewan pemakan ulat dan serangga dengan nama ilmiah Copsychus saularis dari family Muscicapidae. Bahasa umumnya dikalangan penghobi burung se-Indonesia lebih dikenal dengan nama Kacer. Dalam istilah bahasa Aceh burung disebut ”Cicem”, sedangkan bahasa Gayonya adalah ”Manuk”.

Burung ini sangat mudah diketahui keberadaannya, terutama menjelang pagi ataupun senja. Kicaunya akan terdengar dari radius 100 meter terlebih bila sedang berkicau di atas dahan pohon nan tinggi yang merupakan tempat favoritnya.

Memiliki ukuran panjang tubuh sekitar 12 – 15 cm, dengan corak berwarna hitam mulai dari kepala, dada dan separuh bagian atas punggung. Bagian bawah perut hingga menembus ujung ekor didominasi oleh warna putih, tampilan warna yang sangat selaras dengan tambahan perpaduan hitam putih dibeberapa lembar bulu sayap dan ekornya.

Selain sifatnya sebagai burung petarung dengan karakter yang sangat agresif dalam menjaga teritorial kekuasaannya, kemerduan kicauan dalam melantunkan dendang, hingga membawa suasana hati yang mendengarnya merasa tenang, tenteram dan damai itulah kiranya penyebab utama yang mengakibatkan burung Cicimpala ini banyak dipelihara oleh warga.

Keunikkan lain yang dimiliki oleh Kacer atau Cicimpala terdapat pada sifatnya sebagai peniru suara (mimicry). Kemampuannya dalam merekam suara yang rutin ia dengar, lalu memutar dan mengkombinasikannya kembali dengan bermacam variasi lagu sudah tak perlu diragukan lagi.

Mulai dari suara hewan seperti kucing, gonggongan anjing, kelikan elang, hingga perkakas dapur seperti suara piring pecah, benturan gelas, dan lain-lain. Sehingga tak jarang orang-orang tua dahulu menganggap burung ini sebagai pembawa pesan, lantas menafsirkan pesan yang berbentuk variasi kicauan tersebut di waktu-waktu tertentu dengan suatu firasat, mereka-reka lalu mengaitkannya pada hal-hal di luar kemampuan nalar dan logika orang awam.

Sebagai contoh bila situasi Cicimpala yang telah lama dipelihara tiba-tiba riuh berkicau tak beraturan, cenderung lengkingan tajam dengan nada tinggi spontan akan terdengar naik turun, lalu sambil mengembangkan dan menutup bulu ekornya burung tersebut seolah terlihat panik dan kerap melompat ke atas ke bawah dari tenggerannya ke lantai sangkar, begitu seterusnya berulang-ulang untuk beberapa saat.

Bagi sebagian penghobi burung, keadaan Kacer yang seperti ini mungkin biasa, pertanda bahwa Si Kacer sedang over birahi atau kesehatan burung sedang tidak fit karena gangguan kutu diruas-ruas bulunya. Tapi bagi pengamat atau peneliti burung (Ornitolog), sifat dan tingkah laku burung yang demikian bisa jadi adalah sinyal atau alarm tanda bahaya.

Tingkah laku burung yang tak lazim itu merupakan isyarat pada si pemilik bahwa ada sesuatu yang tidak biasa, misalnya hewan berbisa telah memasuki ruangan tanpa sepengetahuan empunya rumah. Sebab burung Cicimpala instingnya sangat peka dengan keadaan sekitar.

Kejadian serupa tapi tak sama juga pernah saya alami. Saat itu saya mempunyai 4 ekor burung peliharaan, yakni Cucak Hijau, Kenari, Gelatik, dan tentunya Cicimpala yang sudah dipelihara sejak dari anakkan hingga dewasa berumur empat tahun. Kacer yang telah jinak dan sering saya bawa untuk pemikat ini tidak selalu saya kurung di sangkar, melainkan hanya malam hari atau waktu-waktu tertentu saja.

Singkat cerita, pada suatu hari sekitar pukul 11 malam hingga menjelang pukul 02.00 dini hari, Cicimpala kesayangan saya yang bernama Billy tak henti berkicau dan terus saja menabrak bilah jeruji. Meski sudah saya beri tambahan asupan EF (Ekstra Fooding) berupa jangkrik dan ulat Hongkong hingga kenyang, namun tetap saja tak meredam tingkahnya yang kian gelisah.

Tak rela melihatnya risau, lalu si Billy pun saya lepas. Begitu keluar sangkar, ia terbang kepundak saya dan terus berkicau sambil sesekali mematuk-matuk kerah baju saya.

Selain heran ada perasaan khawatir di benak saya sembari terus mengawasi sekeliling ruangan. Takut bila rumah saya kemungkinan dimasuki ular atau predator lain yang bisa saja menakuti si Billy.

Setiap sudut dan pojok rumah tak lepas dari pantauan, maklumlah ”Jamur Empus” (gubuk kebun) yang saya tinggali bersama keluarga hanya berdinding papan jauh dari kata mapan.

Beberapa keping dinding bagian bawah ada yang sudah lapuk dan keropos. Ternyata istri saya yang malam itu juga lagi nonton tv merasa terusik karena jeritan si Billy teramat berisik.

Mungkin karena jengkel dengan suara bising melengking yang diteriakkan Billy, istri sayapun mengeluarkan surat perintah penagkapan dan mengultimatum saya agar segera mengandangkannya kembali. Karena kalau tidak segera saya laksanakan bisa-bisa pisau dapur akan turun tangan.

Sedikit curhat, saya punya kebiasaan bermain dengan burung-burung kesayangan selain dengan anak dan isteri saya, setiap bersama mereka di malam hari pasti mengajak mereka ngobrol dan bercengkrama seolah dengan teman dekat atau sahabat karib, sekalipun istri saya sering meledek dan mencubit saya dengan gurauan khasnya yang terkadang menjengkelkan hingga membuat perut kelaparan.

Tak jarang isteri juga menyuruh saya untuk tidur sekandang dengan salah satu burung, apa maksudnya? Apa saya sudah dianggap bukan suami? Walau saya sadari memang terkadang perasaan dan kasih sayang saya kelewatan terhadap burung-burung itu. Bayangkan saja, biaya yang saya keluarkan untuk merawat mereka setiap bulannya melampaui biaya dapur…

Bisa jadi hal itulah yang membuat isteri cemburu dan mengatakan kalau saya mulai kurang waras? Karena merasa cintanya sudah terbagi? Atau karena kurangnya bonus jajan yang sebelumnya ada untuk membeli lipstik atau parfum kesukaannya?

Kembali ke cerita, selepas si Billy masuk sangkar dengan pancingan seekor jangkrik, lantas kemudian sayapun memadamkan lampu ruang depan, ruang di mana para jawara kicau lainnya saya tenggerkan berharap agar suasana dapat kembali tenang.

Belum beberapa menit berselang, baru saja merumahkan Billy dan memencet saklar lampu, begitu menapakkan kaki beberapa langkah spontan saya bergidik. Perasaan aneh menyelimuti benak saya karena tiba–tiba mendengar suara deru gemuruh di bawah tanah, disusul gemerutuk dan denyit sendi-sendi kerangka jamur empus saya yang serasa hampir lepas karena digoyang kesana kemari.

Untungnya goyangan itu tak lama, andaikata lebih lama sedikit keadaannya tak bisa dibayangkan, sudah pasti gubuk derita saya tidak akan mampu bertahan.

Sekarang Tahun 2022, sudah Sembilan Tahun berlalu. Namun Bencana Alam yang melanda Desa Serempah di Kecamatan Ketol Kabupaten Aceh Tengah pada 2 Juli 2013 silam masih menyisakan sekeping kenangan saya pada si Billy, Cincimpala yang sangat saya sayangi. Yang tanpa saya sadari ternyata telah bersusah payah mencoba memperingatkan saya akan sesuatu tak terduga yakni kedatangan Gempa berkekuatan 6.2 SR.

Bukan bermaksud mendoktrin pembaca agar senantiasa meyakini tahayul atau mempercayai mitos. Karena apa yang terjadi di alam ini semua adalah kuasa dan kehendak Allah SWT.

Namun disisi lain saya merasa bahwa Allah juga mengingatkan kita agar dalam menjalani tiap lorong kehidupan ini kita sebagai manusia juga harus mengasah ilmu dan mempertajam indera, sehingga dapat memahami dan mengerti maksud dari apa yang telah Allah SWT ciptakan untuk kita pelajari.

Burung Cicimpala di masa sekarang ini sudah mulai sukar untuk kita jumpai, apalagi terciduk sedang berkicau di alam liar mungkin sungguh sangat jarang terjadi. Populasinya sudah mulai berkurang bahkan bisa dikatakan hampir mendekati kelangkaan.

Keberlangsungan hidupnya banyak berakhir dengan kematian sia-sia akibat penembakan liar, atau ulah dari pemburu pintar yang kurang belajar aturan, sehingga habitatnya sekarang tidak lagi di hutan maupun perkebunan melainkan berpindah ke balik jeruji besi sangkar-sangkar di toko burung yang berukir kenestapaan, mendekam merajut lara bersama dengan pengicau-pengicau sendu lainnya.

Mungkin keterbatasan pengetahuan tentang peran penting burung dalam menjaga keseimbangan ekosistem, pengendali hama, penyerbukan dan penyebar biji adalah salah satu penyebabnya.

Tapi Faktor ekonomi cenderung menjadi alasan klasik bagi mereka, karena mendapatkan uang dengan melakukan penangkapan dan penjualan burung liar sangatlah mudah dilakukan, tidak terlalu menguras tenaga atau memeras keringat.

Sebab hutan-hutan di Dataran Tinggi Gayo kaya akan berbagai spesies burung dan tanaman langka yang jarang bisa ditemukan di daerah lain.

Minimnya sosialisasi tentang betapa pentingnya konservasi demi menjaga kelestarian sumber daya alam menyebabkan perburuan kian massif, tak terkendali, dan marak dilakukan. Walau tidak se-langka burung ”Reje Bujang” atau Rangkong Gading (rhinoplax vigil) yang status perlindungannya telah dimasukkan ke dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi, dengan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018, maka dikhawatirkan jumlah populasi burung Cicimpala semakin menurun.

Sangat disayangkan bilamana kehampaan pengetahuan anak cucu kita mengenai Cicimpala kelak di masa depan hanya tinggal cerita, kenal nama tak kenal rupa. Sedihnya lagi bila generasi kita nanti mencerna informasi dari layar canggih gadget masakini cuma tersaji dengan bentuk film dokumenter atau animasi.

Ini tak bisa kita biarkan terjadi, semua pihak perlu melakukan upaya yang bersifat kontinyu dengan menjaga habitat dan populasi burung sehingga kestabilan ekosistem terus terjaga. Semisal dengan membudidayakannya, membuat penangkaran dengan memanfaatkan keterbatasan lahan yang ada.

Cicimpala sangat mudah beradaptasi sehingga lekas jinak, memungkinkanya untuk dikembangbiakkan sekalipun dengan kandang penangkaran yang hanya berukuran 2 x 4 meter. Tiba musim kawin, indukan burung Kacer bereproduksi rata-rata 3 butir telur.

Bila perawatan indukannya intensif dengan pola makan teratur, waktu pengeraman menjelang penetasan tidak akan terlalu lama, hanya sekitar 26 harian. Nilai jual anakkan juga lumayan, untuk yang sudah bisa makan sendiri kisaran harganya Rp 50.000 – 200.000/ekor, tergantung jenis kelamin dan kualitas produksi yang dihasilkan.

Pasaran harga burung juga bersifat relatif, jadi tergantung kesepakatan dari hasil transaksi antara penjual dan pembeli atas dasar suka sama suka. Sedangkan masa reproduksinya bisa dua sampai tiga kali dalam setahun. Dapat dibayangkan hasilnya andaikata kita punya sepuluh pasang induk yang produktif.

Nilai jual lainnya kalau kita mampu mengasuh, merawat serta mendidik sampai menjadi juara di berbagai even kontes burung kicau, sebut saja ”PIALA RADJA”, salah satu even tingkat Nasional ajang Kicau Mania. Menjadi juara dikelasnya maka akan mempengaruhi harga burung, tawaran akan melonjak nominalnya mencapai puluhan bahkan ratusan juta.

Kita semua harus benar-benar menyadari bahwa apa yang kita perbuat pasti mendapatkan imbas berupa manfaat atau mudarat, tergantung dari ulah kelakuan kita. Jangan sepenuhnya membebani bumi dengan mengambil apa yang tersedia, tapi tak menyediakan apa yang nanti akan kita ambil daripadanya.

Bayangkan betapa indah pagi dengan kicau mereka menyambut hari, sementara kita nyaman melanjutkan perjuangan mengais rezeki dengan ketenangan hati. Renungkan betapa sejuknya kedamaian bila keseimbangan alam terjaga tanpa harus merusaknya dengan mengedepankan ego kerakusan kita selaku insan.

Kita harus memulai peran masing-masing baik secara ofensif maupun defensif demi menjaga kesinambungan kehidupan. Penangkap, Pedagang, Kicau Mania, unsur pemerintah pusat maupun daerah dengan dinas terkaitnya, sampai pada masyarakat dengan berbagai macam dan ragam rumpun etnososialnya harus saling berkoordinasi, berbagi informasi dan saling meng-edukasi tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem alam yang kita tinggali.

Bukan hanya pada burung, konservasi juga berlaku pada elemen-elemen alam lainnya yang ”akan hilang” dari pandangan kita. Haruskah kita berpaling muka andaikata di suatu masa nanti anakcucu kita bertanya ”kenapa mereka tiada?”.

Semua yang kita lakukan selayaknya berjalan pada rel yang benar, agar yang terdengar lantunan syahdu kicau nan merdu, bukan lagi kicau gusar sang penyambut fajar. Semoga …

*Penulis adalah Tenaga Pendidik di SMK Negeri 5 Bener Meriah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.