Teruslah Menyemai Kebaikan

oleh

Oleh : Agung Pangeran Bungsu S.Sos*

Setiap orang memiliki hak untuk berpikir dan bertindak dengan cara dan gayanya sendiri, menentukan arah pilihan seperti apa yang dia inginkan. Memaknai kehidupan dengan nilai yang diyakini tanpa harus merasa tertekan dengan cara orang lain dalam memberikan arti akan kehidupan.

Tidak hanya itu bahkan setiap orang memiliki kesempatan untuk dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan cara yang mungkin saja tidak dilakukan oleh orang-orang pada umumnya.

Lewat kacamata yang berbeda sebagai seorang insan pula kita tidak memiliki kendali untuk mengontrol cara orang lain dalam berpikir, mempersepsikan sesuatu hal yang sama seperti apa yang kita persepsikan.

Memaksakan kehendak untuk sesuatu hal yang serupa dengan apa yang kita inginkan sama saja dengan menghabiskan waktu dan energi dengan sia-sia. Lantas bagaimanakah sikap proporsional kita sebagai seorang mukmin?

Berusaha menjadi orang baik sudah pasti, berhusnudzan kepada orang lain adalah sebuah keharusan akan tetapi sayangnya hal ini tidak mampu dipahami dan diterjemahkan oleh kebanyakan orang sehingga sering kali terjadi kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat, salah dalam mempersepsikan atau salah dalam menafsiran sesuatu.

Hal ini pula yang terjadi dalam kehidupan ummat saat ini yaitu keinginan untuk dipahami akan tetapi sarat akan memahami orang lain.

Berbicara soal memahami tentu saja tidak dapat dilepaskan dari bahasan bagaimana cara memahami diri sendiri maupun cara memahami orang lain.

Akan tetapi terkadang seseorang lebih hebat memahami orang lain ketimbang memahami dirinya sendiri. Padahal anjuran untuk memelihara dan memahami diri sendiri adalah anjuran yang jauh lebih utama sebelum anjuran untuk memahami orang lain.

Hal ini sejalan dengan perkataan Amirul Mukminin Umar Bin Khattab yang masyhur “Hisablah dirimu sendiri sebelum engkau dihisab oleh Allah ta’ala kelak”. Dengan demikian seseorang sudah seharusnya menjadi korektor ulung bagi dirinya sebelum mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh orang lain.

Menjadi baik tanpa menjatuhkan dan menistakan kedudukan orang lain.
Lantas bagaimana cara yang tepat dalam memahami orang lain? Karena sejatinya pengalaman hidup, budaya maupun nilai yang diyakini akan mempengaruhi cara seseorang dalam memahami orang lain (Schramm 1954).

Cara terbaik adalah memperlakukan seseorang dari apa yang tampak di hadapan kita tanpa melampaui kemampuan Rabb yaitu Allah ta’ala untuk ikut serta mengetahui dan mengawasi isi hati orang lain.

Meskipun respon yang kita terima dari orang lain tidaklah selalu berkesinambungan dengan feedback yang diberikan namun syariat Islam memberikan tuntunan sempurna akan hal ini sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Isra (7)
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لأنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا

“Jika kalian berbuat baik, (berarti) kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri; dan jika kalian berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi diri kalian sendiri.”

Hal ini mengisyaratkan bahwa meskipun seseorang memiliki hak untuk bersikap dengan kemauan dan caranya sendiri tetaplah tuntunan syariat Allah ta’ala menjadi pedoman yang paling ideal.

Teruslah menyemai kebaikan dengan cara yang baik, membangun prasangka yang baik sehingga akan lahir nilai-nilai yang baik dalam kehidupan. Adapun batasan kewajaran seseorang bertindak yang telah ditetapkan merupakan cara Allah ta’ala agar manusia tidak mempertuhankan akal pikirannya yang sejatinya hanyalah bagian kecil dari ahmat Allah ta’ala. Wallahu a’lam bish shawab. (*)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.