Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*
Dalam Masyarakat Tradisional
Kata megang dikenal dalam masyarakat Gayo yang dalam bahasa Aceh disebut dan ditulis dengan meugang, kedua istilah ini mempunyai makna menyambut datangnya bulan ramadhan.
Peringatan megang diperingati satu hari atau dua hari sebelum masuknya bulan ramadhan, tetapi yang lebih banyaknya adalah satu hari sampai datangnya shalat maghrib.
Sama dengan budaya manusia dalam masyarakat tradisional hari-hari yang dianggap istimewa seperti halnya megang dimanfaatkan untuk membuat makanan yang istimewa, seperti makanan khas Gayo yakni lepat.
Makanan ini tidak didapatkan pada hari-hari biasa kecuali pada hari-hari besar keagamaan dan pada hari-hari besar adat. Hari-hari besar agama, seperti : maulid Nabi, dua hari raya (‘idul fitri dan ‘idul adha), menyambut datangnya bulan suci ramadhan, dan lain lain).
Sedangkan hari-hari besar atau acara adat, seperti : kenduri uluni uih, kenduri tulak bele, dan lainnya.
Makanan tradisional dan istimewa ini di dalam masyarakat Gayo disajikan dengan cara yang disebut dengan kenduri, yakni sajian untuk sarana do’a kepada Allah bagi mereka yang sudah meninggal dunia dan juga sarana keselamatan bagi mereka yang masih hidup.
Di samping makanan tradisional seperti lepat juga makanan sehari-hari seperti nasi putih, ayam sayur, air putih dan kopi, ditambah dengan bunga beras, pisang dan telor.
Dalam tradisi masyarakat Gayo dan juga masyarakat lain ketika ia mengucapkan rasa syukur kepada Allah terhadap rizki yang diberikan tidak memadai dengan ucapan “alhamdulillah” tetapi mereka akan menambah dengan do’a-do’a lain, seperti do’a keselamatan dan do’a dijauhkan dari segala musibah.
Tata caranya juga tidak memadai dengan menengadahkan tangan sambil membaca do’a tetapi harus dengan menyiapkan perlengkapan sarana sebagaimana disebutkan.
Tata cara berdo’a seperti yang disebutkan biasanya tidak hanya komunikasi yang berdo’a secara individu dengan Allah (do’a) tetapi juga mengajak alam sebagai makhluk untuk bersama berdo’a kepada Sang Khaliq.
Karena dalam keyakinan masyarakat semua yang ada di alam ini mempunyai nyawa namun tidak semuanya mempunyai dan yang mempunyai nyawa sekaligus ruh adalah manusia.
Karena adanya ruh pada manusia dan tidak adanya ruh pada makhluq lain, maka manusia ingin selalu hidup menjadi lebih baik, labih berkuasa dan lebih unggul dari makhluq lain.
Untuk itu ada dua sistem yang dilakukan manusia, pertama bersahabat dengan alam dan yang kedua berusaha menguasai alam. Dalam masyarakat tradisional lebih banyak masyarakat yang menganut sistem bersahabat dan hidup dengan alam, sedangkan dalam masyarakat modern lebih banyak mereka yang berupaya menguasai alam.
Dalam Masyarakat Modern
Tradisi megang sampai sekarang masih diperingati, untuk sebagian masyarakat masih mempertahan tradisi masyarakat masa lalu sebagaimana telah di jelaskan, tetapi untuk sebagian masyarakat lagi sudah merubah tradisi tersebut, baik dari sisi pola pikir atau juga pola prilaku.
Mereka yang hidup dalam era modern menganggap apa yang dilakukan masyarakat tradisional sarat dengan mistis sehingga berupaya meninggalkannya, namun mereka tidak mempunyai ganti selain dari hanya merubah format yang ada.
Bila kita lihat praktek sarana do’a pada saat ini berbanding dengan masa lalu sebenarnya tidak jauh berbeda. Ucapan syukur dan do’a pada masa lalu disampaikan dengan sarana sebagaimana telah disebutkan, pada masa kini juga mereka yang bersyukur terhadap rahmat yang didapat juga tidak memadai dengan ucapan “alhamdulillah” tetapi juga dibaringi dengan sarana makan-makan, masa sekarang lebih dikenal dengan sebutan “syukuran”.
Artinya tidak sempurna rasa syukur tanpa adanya makan-makan bahkan sebagian mereka menganggap tidak ada syukuran tanpa makan-makan.
Pola ini sebenarnya adalah pola budaya, dimana manusia tidak merasa puas bila hanya kebaikan diucapkan tanpa ada wujud pemberian, dan pemberian yang paling baik adalah berupa makanan dan makanan yang paling baik adalah makanan yang paling istimewa.
Sehingga kita juga bisa melihat dalam pelaksanaan megang, mereka akan mencari atau mengumpulkan uang untuk membeli daging pada hari megang, dan tidak dianggap sempurna kalau yang dibeli selain daging.
Dalam semua masa datangnya hari besar termasuk megang disambut dengan kegembiraan, ekspresi kegembiraan sebagai rasa syukur diadakan makan-makan, karena harinya adalah istimewa maka makanan yang dihidangkan juga tentu makanan yang beda dengan hari-hari biasa.
Bedanya dengan masyarakat tradisional kalau makanan merupakan sarana do’a tidak hanya bagi mereka yang hidup tetapi juga kepada mereka yang sudah meninggal.
*Pengurus pada Majelis Adat Aceh (MAA)