Oleh : Win Wan Nur*
Ketika saya mengkritisi pola penelusuran sejarah yang menggunakan cara klenik, ada sangat banyak yang mendukung, tapi tidak sedikit pula yang karena sikap kritis saya itu, menuduh saya tak mengakui keberadaan hal gaib.
Jelas, ini adalah tuduhan yang sangat konyol, setidaknya kekonyolan dari tuduhan ini ada dalam tiga hal.
Pertama, tuduhan ini konyol karena saya adalah orang Islam yang sejak lahir sudah Islam dan dibesarkan dalam kultur Islam khas Gayo. Fakta ini mau dipertanyakan dan diuji kemanapun saya berani jamin tak seorangpun bisa membuktikan sebaliknya.
Sebagai orang Islam, saya jelas sangat percaya pada 6 rukun Iman secara mutlak tanpa sedikitpun ada celah untuk keraguan.
Kedua, saya adalah orang Gayo yang berasal Isak yang sejak kecil sangat familiar dan pernah beberapa kali menyaksikan bahkan mengalami fenomena-fenomena supra natural. Jadi tidak mungkin, saya tidak percaya pada hal yang gaib.
Ketiga, gaib, meskipun tidak bisa dibuktikan dengan menggunakann kaidah sains, tapi keberadaan gaib bisa dipahami secara rasional dengan menggunakan logika.
Bagaimana cara memahami keberadaan gaib dengan logika?
Pertanyaan sederhana ini sejak lama menjadi perdebatan panjang dan menciptakan banyak sekali spekulasi.
Tapi sejauh ini, cara paling mudah dan paling bisa diterima akal dalam menjelaskan fenomena gaib adalah dengan cara hipotesa tentang adanya dimensi yang lebih tinggi.
Bagaimana cara kita memahami gaib dengan menggunakan hipotesa ini?
Jadi begini:
Dunia tempat kita hidup, realitas yang kita alami sehari-hari berada dalam batasan ruang dengan lebar, panjang dan tinggi yang artinya memiliki volume dan dibatasi oleh waktu. Realitas yang kita rasakan selalu berada dalam ruang tertentu dan skala waktu tertentu. Pendeknya realitas berdimensi tiga.
Jadi, cara paling mudah untuk memahami fenomena gaib adalah dengan cara membuat hipotesa tentang adanya dimensi yang lebih tinggi. Sebut saja misalnya dimensi keempat yang tidak dibatasi ruang dimensi tiga dan skala waktu seperti kita.
Karena realitas kita adalah realitas dimensi tiga, nalar kita pun terbentuk sebatas dimensi tiga, kategori akal kita hanya dibatasi oleh realitas berdimensi tiga.
Dengan adanya batasan-batasan ini, kita tak mungkin mampu membayangkan realitas berdimensi empat, yang mana realitas berdimensi tiga yang kita alami ini, ada di dalamnya.
Di realitas berdimensi empat, realitas yang dibatasi ruang, yang dalam realitas berdimensi tiga, kita bahasakan dengan istilah “di sini” “di sana” “ di dalam” di luar” tidak ditemui dalam realitas dimensi empat. Batasan waktu yang kita bahasakan dengan istilah “sekarang,” “besok” atau “kemarin.” Juga tidak berlaku di realitas berdimensi empat.
Sehingga bagaimana situasi dalam realitas berdimensi empat itu, tak mungkin bisa kita bayangkan, tak peduli secerdas apapun kita atau setinggi apapun IQ kita.
Tapi, kalau kita tidak bisa membayangkan realitas dalam dimensi empat, kita dengan mudah bisa membayangkan realitas di dimensi yang lebih rendah dari kita, sebut saja misalnya realitas berdimensi dua.
Apa itu realitas dimensi dua?
Itu adalah dimensi yang hanya memiliki panjang dan lebar tanpa volume seperti kita.
Bagi yang pernah menonton film layar tancap. Kira-kira seperti itulah realitas berdimensi dua. Mereka adalah “makhluk” yang hidup di dalam layar itu adalah makhluk-makhluk yang hidup dan hanya mampu memahami realitas berdimensi dua.
Bayangkan seandainya, orang-orang dan semua yang tampak di layar tancap itu adalah dunia yang sesungguhnya. Semua gerak hidup mereka, minum, makan, realitas yang mereka rasakan terkait cahaya dan lain-lain, semuanya hanya dalam realitas berdimensi dua itu.
Mereka yang ada dalam realitas berdimensi dua itu, jelas tidak bisa merasakan keberadaan kita yang ada dalam realitas dimensi tiga.
Tapi seperti kita yang secara normal tidak bisa merasakan realitas berdimensi empat. Meski mereka yang berada di dalam realitas berdimensi dua tak bisa merasakan keberadaan kita yang ada dalam realitas berdimensi tiga. Kecuali, kita mengintervensi.
Sebut misalnya, kita menggoyangkan layar tancap tempat mereka hidup. Atau kita menyiramkan air ke layar itu. Mereka jelas merasakan intervensi kita, tapi mereka tidak tahu apa yang terjadi.
Karena secara logika mereka, yang terbentuk berdasarkan pengalaman empiris mereka yang berbasis dimensi dua. Intervensi yang kita lakukan sebagai makhluk berdimensi tiga, sama sekali tidak bisa dijelaskan.
Secara ilmu sains yang berbasis dimensi dua, intervensi seperti itu sama sekali tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.
Inilah yang disebut sebagai fenomena super natural (supra natural).
Kembali ke realitas kita yang berdimensi tiga. Seandainya, di luar kita ada realitas berdimensi yang lebih tinggi dan mereka mengintervensi ke dimensi kita inilah yang disebut sebagai fenomena supra natural.
Kita yang beragama Islam meyakininya sebagai fenomena gaib. Meski kaum atheis tidak meyakininya, tapi kita yang hidup di Gayo apalagi kami di Isak, sangat familiar dengan berbagai fenomena supra natural alias gaib seperti ini.
Tapi, karena fenomena gaib ini adalah fenomena yang asalnya dari dimensi di atas kita yang nalar dan kategori akal kita tidak bisa menjelaskan cara kerjanya.
Orang yang bisa berkomunikasi dengan realitas berdimensi yang lebih tinggi itu, dikenal di banyak kebudayaan dan kepercayaan dengan sebutan berbeda.
Secara kepercayaan agama kita, manusia-manusia agung dengan kemampuan seperti itu kita sebut dengan nama Nabi dan Rasul. Kemampuan mereka yang datang dari luar dimensi tiga ini kita sebut mukjizat.
Untuk orang-orang yang percaya sihir, orang dengan kemampuan ini (entah benar memang punya kemampuan atau sebenarnya dukun palsu seperti kisah Nabi Musa) disebut penyihir.
Di kebudayaan lain ada yang menyebutnya dengan nama shaman, pawang, dukun, energytian, cenayang, spiritualis dan lain sebagainya.
Masalahnya, karena kita tidak punya kemampuan membuktikan fenomena supra natural ini secara ilmiah. Beberapa orang kadang bisa memanipulasi kita dengan menciptakan suatu realitas yang sebenarnya adalah realitas berdimensi tiga, tapi dengan menyembunyikan beberapa fakta, seolah-olah itu adalah fenomena yang disebabkan dimensi yang lebih tinggi, dengan kata lain, fenomena super natural.
Contoh paling umum dari kasus ini adalah fenomena pertunjukan sulap, alias magic show yang umum ditemui di kalangan masyarakat berpikiran maju dan rasional.
Sebut misalnya seperti ilusionis David Copperfield yang menembus tembok Cina. Orang yang yang berjalan di atas air, orang yang bisa duduk mengambang dan sejenisnya.
Semua ini, bagi kita yang awam, seolah adalah fenomena super natural, padahal ada beberapa trik yang sangat khas dimensi tiga yang terlibat di dalamnya.
Sementara, di daerah-daerah yang sangat percaya klenik, trik yang seolah-olah fenomena supra natural ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang menggunakan kemampuan sulapnya untuk menjadi dukun palsu dan menarik keuntungan ekonomi maupun kekuasaan dari para awam yang sama sekali tak paham.
Kesimpulannya. Secara logis, dengan mengasumsikan adanya dimensi yang lebih tinggi. Gaib dan fenomena supra natural itu bisa dipahami secara logika.
Tapi, meski secara logika, gaib itu sangat mungkin ada, tapi kita tidak bisa membuktikan cara kerja dan keberadaannya karena kita ada dalam realitas berdimensi tiga.
Akibatnya, meskipun fenomena supra natural itu ada, tapi kita yang ada dalam realitas berdimensi tiga ini secara sekilas saja tidak bisa membedakan mana yang benar-benar fenomena supra natural dan mana yang sebenarnya fenomena biasa dalam realitas berdimensi tiga yang dimanipulasi oleh pesulap maupun dukun palsu.
Inilah sebabnya, kenapa soal kejahatan santet tidak pernah bisa masuk ke dalam KUHP, meski sudah diusulkan sejak Indonesia merdeka. []