Kepemilikan Harta Perempuan

oleh

Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*

Membaca sejarah perempuan bila dikaitkan dengan harta, maka ditemukan bahwa pada awalnya sebelum datangnya Islam perempuan tidak hanya tidak memiliki harta tetapi bahkan perempuan itu sendiri disamakan derajatnya dengan harta.

Pada masa jahiliyah perempuan bisa diwarisi dari istri ayah menjadi istri anak (utamanya anak laki-laki yang sulung), diantara tujuannya adalah untuk menjaga atau melindungi perempuan dari ketiadaan nafkah dan menjaga perempuan dari kejahatan-kejahatan lain.

Keadaan pada masa ini belum mengenal adanya batasan wanita yang tidak boleh dinikahi, mereka memiliki budaya kalau perempuan itu dinikahi.

Belum jelas dalam bacaan kita apakah perempuan yang diwariskan itu ibu kandung dari anak yang menerima warisan atau sitri-istri lain dari ayah yang bukan ibu kandung dari anak.

Namun penulis meyakini bahwa yang dimaksudkan dengan pewarisan istri adalah istri-istri dari ayah yang bukan ibu kandung dari anak, karena sebagaimana diketahui juga bahwa pada masa itu tidak ada pembatasan maksimal jumlah istri.

Keadaan lain di balik itu ada juga perempuan-perempuan yang mempunyai kekayaan pada masa jahiliyah, seperti Khadijah yang kemudian menjadi istri Rasulullah. Khadijah memberi kesepatan kepada Muhammad untuk menjual barang dagagannya, selanjutnya karena kajujuran Muhammad, Khadijah rela menjadi istri Muhammad.

Pada akhirnya kekayaan yang dimiliki Khadijah disembangkan semua untuk penyebaran Islam, sampai ada riwayat yang menyatakan kalau kekayaan Khadijah hanya tinggal pakaian yang ada dibadannya.

Dari prilaku orang-orang pada masa jahiliyah juga kita melihat bahawa tidak banyak orang yang bernasib baik seperti halnya Kahdijah, seperti perlakukan pewarisan sebagaimana telah disebutkan juga perbuatan Umar bin Khattab yang membunuh anak perempuannya pada usia masih kecil.

Ini dilakukannya sebagaimana disebutkan dalam riwayat bahwa Umar malu kepada orang lain karena diantara yang menyuruh membunuh perempuan adalah dia sendiri sehingga ia harus melakukan perbuatan yang keji tersebut kepada anaknya.

Keadaan tatanan masyarakat sebagaimana sedang berlangsung pada masa jahiliyah, menjadikan perempuan sangat sulit mendapatkan hak hidup, apalagi untuk mendapatkan hak yang lain. Seperti hak kepemilikan terhadap harta, hak wali, hak kebebasan dan lain-lain.

Ini disebabkan karena peran laki-laki dalam budaya pada sangat itu sangat mendominasi, sehingga untuk merubah budaya yang belaku harus sangat berhati-hati.

Allah yang Maha Berkuasa dalam merubah keadaan masyarakat yang berjalan pada saat itu tidak dengan cara menghancurkan tradisi yang ada lelu mengganti dengan baru, tetapi ara yang digunakan adalah dengan cara yang bertahap.

Muhammad Syahrul seorang pemikir Islam menyebutkan metode yang digunakan oleh al-Qur’an dalam mengubah budaya masyarakat adalah dengan metode “hudud”, yaitu adanya batasan maksimal dan minimal dalam penetapan hukum terhadap kepemilikan terhadap harta, utamanya harta warisan
Pada masa jahiliyah perempuan tidak mempunyai hak waris ketika orang tua mereka meninggal dunia, sedangkan laki-laki mendapatkan seluruh harta yang ditinggalkan.

Lalu Islam datang dengan menyebutkan “bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan”, artinya yang sebelumnya perempuan tidak dapat apa-apa dengan datangnya Islam anak perempuan mendapat satu, sedangkan laki-laki sebelum mendapat semua (3), lalu diberikan kepada perempuan (1) maka hak laki-laki tinggal 2.

Karena diberikan kepada perempuan 1 maka satu itu minimal yang didapatkan perempuan, sedangkan laki-laki mendapat 2 berarti mendapatkan jumlah maksimal.

Bila ada pertimbangan lain, baik itu karena kondisi perempuan menjaga atau merawat orang tua atau perempuan membantu orang tua dalam menyekolahkan anak laki-laki sampai ke sekolah tinggi dan setelah itu menjadapatkan pekerjaan yang layak, maka harta warisan untuk perempuan boleh melebihi dari satu bagian yaitu dua bagian.

Sedangkan dengan pertimbangan lain maka untuk laki-laki dapat dikurangi bagiannya. Karena laki-laki telah mendapat bagian maksimal maka boleh dikurangi.

Ketika perempuan sebagai anak, maka untuknya mendapat dua pertiga dari harta orang tua yang telah meninggal, dan bila ia hanya satu orang maka ia mendapar setengah dari harta yang ditinggalkan.

Itulah awal mula perempuan mendapatkan harta sebagai hak milik penuh. Kamudian ketika perempuan menjadi siteri maka ia akan mendapatkan harta seperdelapan atau seperempat tergantung apakah bersamanya ditinggalkan anak oleh suami yang telah meninggal.

Dan kalua ia menjadi seorang ibu maka ia mendapat seperenam atau sepertiga, Itulah kepemilikan perempuan terhadap harta yang ditingakkan pewaris pabila pewarinya meninggal dunia.

Kepemilikan penuh perempuan terhadap harta jarang dibicarakan ketika mereka telah menikah, apakah harta tersebut dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dirinya atau untuk pemenuhan kebutuhan.

Atau harta itu tetap menjadi milik perempuan yang utuh tanpa digunakan, atau juga harta itu sebenarnya telah digunakan hanya saja tidak dibicarakan baik itu dalam aturan adat atau juga dalam aturan agama.

Harta perempaun dalam aturan fiqih tidak dibicarakan karena perempuan dalam masalah harta berkedudukan sebagai pembantu suami bagi perempuan yang sudah menikah, artinya harta perempuan baru nampak atau dibicarakan apabila suami tidak mempunyai harta lagi atau tidak mempuyai kemampuan untuk memberi nafkah kepada istri dan keluarganya.

Karena harta yang dimiliki oleh perempuan yang berasal dari warisan, hibah, wasiat ketika menjadi istri, maka juga dapat diwarikan kepada ahli waris yang ditinggalkan. Sedangkan harta mereka yang tidak menikah tetap menjadi hak miliknya yang sempurna.

*Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.