Cita-Cita Tidak Hanya Sebatas Umur

oleh

Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*

Sering kita bertanya kepada anak-anak, pelajar bahkan mahasiswa nanti kamu mau menjadi apa? atau dalam bentuk pertanyaan lain, setelah kamu selesai kuliah kamu cita-citanya jadi apa?

Ada satu buku yang pernah saya baca, saya lupa judulnya. Di dalam buku itu disebutkan; bila kita bertanya kepada anak-anak Jepang satu saat kamu mau jadi apa, anak-anak Jepang akan jawab saya mau jadi ahli software, bila pertanyaan sama kita ajukan kepada anak-anak India nanti kalau sudah besar mau jadi apa, anak-anak India jawab saya mau jadi hardware.

Tetapi bila pertanyaan itu kita tanyakan kepada anak-anak Indonesia pasti mereka akan menjawab “tidak tau”.

Kendati anak-anak Indonesia menjawab tidak tau, kita sebagai orang Indonesia yakin bahwa bukan berarti mereka tida punya cita-cita tetapi mereka hidup selalu diajarkan dengan keraguan dan ketidakpastian, sehingga melahirkan jawaban ketidak beranian (takut salah, takut dosa, takut tidak tercapai, takut ditertawakan, dll).

Padahal bila kita memaknai arti dari cita-cita itu sendiri adalah : keinginan yang sempurna untuk dicapai atau dilaksanakan. Yang kegunaannya untuk mengetahui gambaran hidup masa depan yang akan dijalankan.
Berarti bila kita perhatikan dari definisi cita-cita tersebut, maka mereka yang tidak mempunyai cita-cita berarti tidak mempunyai gambaran masa depan yang akan dijalamempunyai gambaran berarti mereka dalam hidupnya tidak pernah akan maju karena selalu mencari gambaran.

Definisi yang disebutkan juga sangat membatasi mereka yang bercita-cita pada capaian dan pelaksanaan, artinya seseorang berharap cita-cita harus bisa dilaksanakan. Sehingga banyak orang hanya bercita sebatas keperluan dirinya, harapan masa depannya hanya sebatas pemenuhan kebutuhan.

Ketika bercita-cita menjadi PNS, maka memadai hanya sekedar mendapatkan PNS dengan gaji seadanya dan tidak ingin mencari yang lain, seolah tidak dapat mengerjakan pekerjaan lain selain dari apa yang dicita-citakan, demikian juga menjadi pejabat hanya bercita mendapat jabatan setalah dapat dianggap cita-citanya sudah tercapai dan tidak lagi berbuat lebih.

Setelah mendapat apa yang dicita-citakan atau juga tidak mendapat sesuai harapannya, maka cita-cita dan harapan terhenti dengan keputus asaan atau terhenti dengan merasa cukup dengan apa yang sudah di dapat. Akhirnya muncullah kata-kata masanya menikmati masa pensiun dengan menutup harapan dan menunggu kebaikan orang lain.

Pada hal kalau kita membaca sejarah atau riwayat dari Nabi beliau sering sekali mengucapkan “ummatku, ummatku, ummatku !”, artinya Nabi memikirkan keadaan ummatnya bagaimana nanti ketika sesudah ketiadaannya, beliau bukan memikirkan keadaan ummat ketika beliau masih hidup.

Karena ketika ia masih ada semua orang masih bisa berharap kepada dirinya, baik itu urusan agama atau juga urusan lain yang bukan agama.

Lalu apa yang menyebabkan kebanyakan orang hanya bercita dalam waktu yang sangat terbatas, setelah tamat pendidikan jadi apa, setelah besar nanti jadi apa, dan setelah didapatkan ia berusaha pensiun dan menikmati apa yang ada.

Hal ini tidak lain adalah karena kita masih pada tahapan atau pola pikir sebagai konsumtif, pemanfaat dan penikmat akhirnya merasa cukup. Tetapi apabila berpikir sebagai penemu, kreator atau yang serupa itu tentu akan berharap apa yang kita buat dapat digunakan oleh orang lain walaupun kita nanti satu saat tidak ada lagi. Para kreator tidak bercita-cita hanya sebatas umur. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.