Pesalik Yang “Gile Nahu”

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Sedikit orang yang hidupnya mencari Tuhan atau disebut sebagai pesalik. Lebih sedikit lagi yang berhasil dan kebanyakan tumbang di tengah jalan oleh godaan yang luar biasa. Beruntung bagi orang yang gagal bisa hidup kembali normal, tetapi tidak jarang menjadi orang yang “gile nahu”.

Penyebab “Gile Nahu,” pesalik tidak punya metode, atau pakai metode tetapi tahapannya salah, atau lagi “godaan” dalam metode itu yang tidak mampu diatasi. Peluang pesalik yang berhasil, belum tentu seribu banding satu. Apalagi pesalik yang bangga dengan simbol-simbol.

Salah satu metode untuk mencapai Tuhan adalah dengan bertafakur, yaitu merenungkan segala ciptaan-Nya di jagat raya ini, bahwa Tuhan tidak mungkin menciptakan alam ini dengan sia-sia. Pasti semua ada jawaban “Ketuhanan” padanya.

Begitupun para pesalik harus punya guru atau mursyid sebab ada ungkapan para kaum sufi “Sesiapa yang menuntut ilmu tanpa guru, maka gurunya setan.” Para mursyidlah yang akan membimbing agar para pesalik konsisten menjalankan tata ara yang benar dan tidak sesat jalan fikirannya.

Bimbingan mursyid di antaranya dalam metode tafakur adalah memberitahu akan ada beberapa warna cahaya yang menjadi pilihan, dan yang dihindari adalah warna merah karena itu adalah alam jin yang godaannya akan larut dalam praktek ilmu perdukunan dan bermain-main dengan barang antik.

Mursyid juga memastikan, jangan sampai masih berstatus sebagai pesalik, tetapi seolah sudah sampai kepada Tuhan, kemudian mengajarkan sesuatu yang tidak benar menurut metode jalan pesalik. Bahayanya sudah mengelabui orang banyak, selanjutnya pengikutnya menyebarkan lagi kesesatan demi kesesatan kepada masyarakat banyak lainnya.

Rumit dan tidak mudah menjadi kata kunci bagi pesalik untuk mencapai tujuan yang benar. Oleh karena itu, hal-hal yang rumit kadang harus disederhanakan. Ketegangan dalam pengkajian harus dibawa santai dan kadang harus disampaikan dengan canda tawa agar kalau tidak faham pun tidak membuat stress yang menjadikannya “gile nahu.”

Adab para pesalik pun, walau mendapat pengajaran yang “berat”, hendaknya tidak bertanya, namun semua harus direnungkan sampai menemukan jawaban. Tidak menutup kemungkinan jawaban yang didapat melebihi ekspektasi.

Biasalah, antara pesalik dan mursyid berlaku “hukum roda pedati” yang berputar atau dalam istilah Sunda “patarukan”. Pesalik yang semula berguru kepada mursyid, pada saatnya tidak menutup kemungkinan “mursyid” yang akhirnya berguru kepada pesalik.

“Tugas” mencari Tuhan, sungguh bukan pekerjaan yang biasa-biasa saja dan para pesalik juga dipastikan bukan orang yang biasa juga. Serendah-rendah para pesalik, setidaknya faham tentang barang antik. Sehingga mereka yang sudah jatuh ke lubang “warna merah” akan sedikit gila harta, lalu mulai mendatangi pejabat dan orang kaya dengan menawarkan barang antik.

“Pesalik” faham benar selera calon korbannya. Orang kaya takut jatuh miskin, orang miskin ingin jadi kaya, pejabat takut kehilangan jabatannya, orang tidak percaya diri perlu mantra, orang yang “post power syindrome” ingin dipuja sebagai mana dia dulu pernah menjabat, dan seterusnya. Intinya “pesalik” ingin mengeruk uang calon korbannya dengan segala macam cara.

Khusus bagi pengidap “post power syndrome,” sangat mudah bagi para “pesalik” mengidentifikasi seleranya. Salah satu, yakni menghubungkan “kerajaan” di wilayahnya dengan dirinya melalui barang-barang antik yang ada padanya; baik dengan membeli maupun dengan cara “tarikan”. Sehingga tidak perlu heran “Pesalik” bisa membuatnya lebih dari “gile nahu”.

(Mendale, 27 Pebruari 2022)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.