Oleh : Win Wan Nur*
Logika tanpa fakta akan menuju ke-dua kesimpulan yang bertentangan. Fakta sendiri tanpa logika akan menuju ke empirisme yang tidak membentuk pengetahuan. (Critique of Pure Reason, Immanuel KANT)
Gayo sebagai sebuah masyarakat, sejarah masa lalunya banyak dikaitkan dengan Kerajaan Linge. Masyarakat Gayo dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat biasa kelas akar rumput sampai yang sangat terdidik yang berada di puncak piramida masyarakat intelek, umumnya menerima “fakta” ini tanpa tanpa dikritisi sama sekali.
Saya memberi tanda petik pada kata “fakta” kebesaran kerajaan Linge di sini, karena apa yang disebut dengan fakta terkait kerajaan Linge ini sebenarnya tidak pernah benar-benar terbukti sebagai fakta. Apakah fakta berupa wujud warisan karya fisik maupun fakta dalam bentuk warisan mentalitas khas masyarakat yang secara kultural dibentuk oleh cara hidup dan cara bersikap serta tata nilai yang berlaku dalam sebuah kerajaan besar yang bersifat hegemonistik.
Kalau fakta berupa wujud warisan fisik, jelas, tak perlu diperdebatkan, karena memang kita sama sekali tidak menemui karya fisik berupa bangunan istana, proyek irigasi, atau situs tempat ibadah dalam skala yang mengagumkan seperti istana sultan Deli atau Meuligoe Darud Dunia.
Kalaupun bukan istana, bahkan makam dengan dekorasi luar biasa atau yang lebih praktis, karya berupa saluran irigasi atau bendungan, yang biasa ditemukan di daerah-daerah yang pernah berada di bawah pengaruh sebuah kerajaan besar. Sama sekali tak ada wujudnya di daerah ini.
Bangunan massif sebagaimana saya sebutkan di atas hanya mungkin dibuat oleh masyarakat yang hidup dalam sebuah sistem kerajaan besar karena dalam proses pembangunannya membutuhkan sistem pengorganisasian yang kompleks ,dengan pembagian tugas yang jelas dan disiplin antara para pekerja dari tingkat teratas ke tingkat terendah. Ada sebuah sistem. Tidak cukup hanya mengandalkan orang dalam jumlah besar dan bekerja secara random.
Bangunan semacam ini hanya mungkin dibuat oleh kelompok masyarakat dengan kehidupan sosial yang kompleks sehingga membutuhkan satu sistem birokrasi yang kuat untuk mengaturnya agar tidak terjadi chaos akibat benturan antara satu kelompok dengan kelompok lain.
Ketiadaan bukti fisik seperti itu di suatu daerah yang luas, jelas menunjukkan kalau daerah tersebut tidak pernah dihuni oleh banyak orang.
Ketiadaan bukti fisik seperti ini di Gayo, adalah pertanda yang nyata kalau wilayah Gayo tak pernah dihuni orang dengan jumlah yang sangat besar, yang membuat warganya harus berebut sumber daya untuk menjamin eksistensinya, sehingga untuk menjamin adanya keteraturan, harus ada sosok kuat dengan kekuasaan yang bersifat hegemonik, entah itu dinamakan Raja, Sultan, Hulu Balang, atau apa pun istilah lokalnya.
Cara kedua untuk menelusuri eksistensi dari sebuah kerajaan besar adalah dengan mengamati bentuk dan karakter folklore yang berkembang di daerah tersebut.
Sebuah kerajaan besar di masa lalu, untuk mempertahankan eksistensinya memerlukan seperangkat alat pertahanan dan pemaksa dalam bentuk pasukan tentara maupun pengamanan internal semacam polisi (dengan penamaan yang berbeda-beda.)
Ketika sebuah kerajaan besar seperti ini memiliki pasukan yang kuat, dia akan mengekspansi kerajaan yang lebih lemah di dekatnya. Mereka akan menyerbu dengan pasukan yang terorganisir dan penuh dengan strategi perang yang canggih.
Untuk kerajaan besar yang hegemonistik, pembagian kelas, ranking dan pangkat para prajurit ini sangat jelas. Ambil contoh kerajaan Aceh, di sana ada pangkat Panglima Polem, Ramasetia, Nantasetia dan seterusnya.
Pangkat semacam ini tak pernah kita kenal dalam masyarakat Gayo.
Kemudian, seandainya ada perangkat seperti ini, tentu ada kisah penaklukan atau kisah Linge yang mempertahankan diri dari pasukan kerajaan lain. Tapi kita tak pernah mendengar kisah semacam itu yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi.
Meski, perang-perang seperti ini karena tradisi oral tidak benar-benar dicatat, tapi kalau fenomena seperti ini eksis. Ini jelas akan menjadi pola prestise yang berkembang di masyarakat. Ada glorifikasi terhadap para pahlawan yang membawa kerajaan kepada kejayaan, entah itu prajurit ataupun jenderal. Hal ini umum kita temukan dalam setiap kelompok masyarakat yang tumbuh di bawah kendali kerajaan besar.
Glorifikasi pada sosok-sosok ini biasanya terwujud dalam bentuk cerita rakyat, folklore, kekeberen.
Glorifikasi seperti ini dapat kita lihat dalam kisah-kisah berupa cerita tentang perang bubat, pemberontakan Ken Arok dan seterusnya yang kita temukan berkembang sebagai kisah turun temurun di tengah masyarakat Jawa, kisah Mahabharata dan berbagai kisah tentang perang di India, Sam Kok dan berbagai kisah tentang peran dan penaklukan di Cina.
Kisah semacam ini tak kita temukan dalam berbagai kekeberen yang berkembang di masyarakat Gayo.
Hanya ada satu penjelasan terkait absennya kisah semacam ini dalam kekeberen di Gayo. Yaitu perang-perang besar yang membutuhkan pengorganisasian pasukan yang sangat kompleks, tidak pernah ada dalam masyarakat Gayo. Yang artinya, memang tak ada kerajaan yang berpengaruh besar seperti itu.
Penanda lain yang sangat jelas bahwa kerajaan sejenis itu tak pernah ada di Gayo, adalah karakter kita, pribadi-pribadi Gayo yang hidup di masa sekarang ini.
Karakter kita hari ini, bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, melainkan akumulasi dari tata nilai, norma sampai pola prestise yang dianut oleh para pendahulu kita untuk kemudian kita warisi turun-temurun.
Apa yang membuat kita bisa memastikan bahwa karakter kita masyarakat Gayo hari ini sama sekali tidak menunjukkan jejak bahwa para pendahulu kita pernah hidup di bawah kendali sebuah kerajaan besar yang bersifat hegemonistik?
Alasannya adalah seperti berikut ini.
Keberadaan raja, sultan, hulu balang, temenggung atau apapun istilah yang digunakan untuk menyebut sosok kuat yang hegemonik di suatu wilayah, ditandai dengan perilaku mayoritas masyarakatnya yang manut, patuh pada perintah orang kuat itu dan mudah diatur.
Pada awalnya, perilaku masyarakat seperti ini didorong oleh naluri mempertahankan diri. Sebab di daerah yang dikuasai oleh satu sosok kuat yang hegemonik, ketidak patuhan bisa membuat orang kehilangan nyawa.
Dengan adanya orang kuat yang turun-temurun dalam mengatur wilayah tersebut, perilaku mayoritas masyarakat yang patuh, taat, manut dan tunduk pada penguasa ini, secara turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi, berubah menjadi tata nilai dan akhirnya menjadi karakter.
Ketika, sekian ribu tahun kemudian, bahkan ketika di daerah tersebut sudah tidak ada lagi penguasa semacam itu, karakter ini tertinggal dan menjadi ciri khas masyarakat dari kelompok sosial tersebut.
Bahkan, ketika mereka sudah berpindah tempat tinggal, ribuan kilometer dari tempat asalnya, karakter itu, tak lagi bisa diubah.
Contoh paling jelas dari masyarakat seperti ini adalah suku Jawa.
Suku Jawa, jelas tak diragukan lagi adalah masyarakat yang terbentuk di bawah pengaruh kerajaan besar yang ditandai dengan adanya penguasa kuat dengan karakter hegemonistik.
Dalam sebuah kerajaan besar, secara jumlah, kelas penguasa sangatlah minoritas. Mayoritas penduduk dalam sebuah kerajaan tentu saja masyarakat kelas bawah yang harus tunduk pada penguasa, yang harus rela diatur oleh sang penguasa.
Karakter patuh, taat dan tunduk pada penguasa ini kemudian menjadi karakter masyarakat Jawa diwariskan turun-temurun, di manapun mereka tinggal, entah itu di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua bahkan sampai ke Suriname. Karakter yang sudah berkembang menjadi tata nilai ini masih sangat mudah dilihat dalam masyarakat Jawa.
Karakter khas masyarakat Jawa yang mudah diatur dan diarahkan ini, tentu saja sangat disukai oleh penguasa yang dibentuk dengan nilai-nilai feodal.
Aceh Tengah dan Bener Meriah bisa menjadi contoh, rata-rata camat di dua kabupaten ini, lebih suka ditugaskan di daerah yang banyak memiliki kampung yang dihuni orang Jawa.
Contoh lain adalah suku Aceh, meski mereka tidak seekstrim Jawa. Tapi, karakter masyarakat yang pernah hidup di bawah tekanan penguasa yang hegemonistik masih bisa kita lihat dari karakter masyarakat Aceh yang masih mudah dipengaruhi oleh tokoh kharismatik.
Masih ada penghormatan pada keturunan para bangsawan yang ditandai dengan nama Teuku dan Cut. Karakter sebagai jejak dari masyarakat yang lama hidup di bawah pengaruh kekuasaan yang hegemonistik, masih bisa kita saksikan dalam karakter masyarakat Aceh.
Lalu, Gayo, silahkan lihat di sekeliling kita. Karakter khas masyarakat Jawa dan masyarakat Aceh sebagaimana yang diuraikan di atas, secara komunal sama sekali tidak bisa kita temukan di tengah masyarakat ini.
Berbeda dengan orang Jawa dan orang Aceh yang menerima perbedaan harkat dan martabat berdasarkan garis keturunan. Orang Gayo secara umum, merasa setara dengan orang Gayo lainnya.
Dampak lain dari perasaan setara ini, orang Gayo tidak mudah untuk dipengaruhi dengan ucapan dari seorang tokoh kharismatik, apakah itu penguasa maupun ulama.
Karakter orang Gayo, secara umum kita lihat adalah karakter dari manusia-manusia yang sepenuhnya merdeka. Ciri dari orang-orang yang tak pernah merasa terintimidasi oleh sosok yang memiliki kekuasaan besar yang hidup berdampingan dengannya.
Inilah mengapa, ketika sistem politik di daerah ini menggunakan sistem demokrasi liberal, sementara para politisinya hanya mengenal pola kekuasaan dengan gaya penguasa feodal. Gayo menjadi daerah yang paling membuat para politisi sakit kepala.
Kembali ke kerajaan Linge, yang saat ini oleh sementara kalangan digambarkan sebagai sebuah kerajaan besar dengan sejarah besar yang hegemonistik.
Kalau cerita ini benar, maka siapapun tentu akan bertanya-tanya. Mana rakyatnya, mana para hamba sahaya yang rela memberikan hidup dan matinya untuk raja.
Kok jaman sekarang jejak perilaku menghamba sama sekali tidak kita temukan dalam kehidupan masyarakat Gayo yang mewarisi peradaban tua ini?
Apakah itu artinya, semua rakyat Linge dan para hamba sahaya di masa lalu, seluruhnya sudah punah dan tak memiliki keturunan, sehingga saat ini tak satupun rakyat Linge yang tersisa? Apakah itu artinya yang masih tersisa saat ini hanyalah anak keturunan raja-rajanya?
Konyol!
Mengacu pada kata-kata filsuf pencerahan, Immanuel Kant, yang dikutip di awal tulisan.
Terkait “sejarah” kerajaan Linge. “Sejarah” yang banyak didukung oleh para intelektual tradisional ini, sudahlah tak bisa menghadirkan fakta. Bahkan untuk hal yang paling minimal, sekedar untuk menghadirkan logika pun para pihak ini tidak mampu.
Jadi, sangat jelas, berdasarkan tinjauan ini. Segala cerita tentang kebesaran kerajaan Linge, setidaknya sampai hari ini ,sama sekali belum layak untuk dikategorikan sebagai sejarah.
Sampai saat ini, segala cerita tentang kebesaran kerajaan Linge, tak bisa tidak, hanya bisa dilihat sebagai sebuah propaganda berbalut kepentingan dari kelompok tertentu. []