Oleh : Muchlis Gayo, SH, M.Si*
Dalam artikel ini, kata perspektif kita maknai sudut pandang, perspektif Hut Kota Takengon adalah, dari sudut pandang mana kita melihat perlu atau tidak, tanggal lahir kota Takengon diperingati, yang manghabiskan dana milyaran rupiah, tanpa ada umpan balik untuk mengisi kas daerah.
Mari kita urut kembali ke tahun 2010, sebelum lahir Qanunda HUT Kota Takengon ke 434, usia yang sangat tua dari deretan toko-toko sepanjang jalan Malem Dewa, Sudirman, Puteri ijo, pasar ikan, kampung baru, dan pasar baru/Baleatu.
Selaku inisiator tunggal saat menjabat Kadis Budparpora, sering di kritik oleh anak-anak muda yang mencintai kotanya, “Kenapa setua itu, apa dasarnya, dan cara menghitung angka 434 ?”.
Untuk menjawabnya kita lihat dari persfektif si penanya, persfektif pengusul, dan persfektif Komisi D, dari DPRK Aceh Tengah, yang jadi kajian dalam tulisan ini.
Persfektif pengusul, berawal dari latar belakang sebelum pindah ke Pemda Aceh Tengah tahun 2009, atau dimasa kami bertugas di Bina Graha, sekarang kantor kepresidenan, sering mengikuti pringatan HUT Kota dari beberapa daerah, yang tentative acaranya bervariasi, seperti pameran pembangunan hasil capaian kinerja pemerintah daerah, melalui dinas-dinas, produk industri perusahaan swasta, BUMN, BUMD dan usaha masyarakatnya, pawai budaya, festival dan pekan budaya antar kecamatan, ragam kuliner dan sebagainya.
Ribuan manusia hadir, milyaran rupiah masuk kas daerah, dan kekocek pedagang, petani, dan yang utama masuknya puluhan investor untuk mengeksploitasi Sumber daya alam yang dipamerkan, seperti Pekan Raya Jakarta.
Pasca MOU Helsinki, sudah saatnya Pemda Aceh Tengah melaksanakan kegiatan tahunan, media memotivasi masyarakat, pungusaha daerah, provinsi dan nasional, untuk mengelola sumberdaya alam Aceh Tengah, guna meningkatkan PAD Aceh Tengah. Ivent yang paling memungkinkan, melalui peringatan HUT Kota Takengon.
Gagasan tersebut disampaikan kepada Bupati, Bapak Ir. Nasaruddin, MM, di ruang kerja Bupati kami mendiskusikan tentang 2 usulan, antara usulan kami peringatan HUT Kota Takengon, dengan Hari Jadi Kabupaten Aceh Tengah yang timnya sudah 2 tahun dibentuk, dipimpin ; Alm Bapak Mahmud Ibrahim, Prof, Dr. M. Din Madjid, Drs.Ibnu Hajar Laut Tawar, dan lain-lain, tetapi tim belum berhasil menemukan dasar hukum lahirnya Kabupaten Aceh Tengah. Diskusi diakhiri dengan putusan Bupati, meminta kami membuat kajian Lahirnya Kota Takengon, untuk diserahkan kepada DPRK Aceh Tengah.
Alat ukur penentuan lahirnya suatu Kota, mempergunakan kajian indikator kesejarahan, kejadian, dan peristiwanya, yang dirangkum dari kajian para antropolog, tentang revolusi kebudayaan manusia, atau awal dari revolusi otak manusia.
Sebelumnya digerakan oleh tatalaku insting, ke prilaku proses otak, atau akal. Tatalaku insting atau naluri berburu berubah menjadi prilaku bercocok tanam. Cara mengolah tanah, dan menanam umbi-umbian, disebut “Colere”, (bhs. Latin), atau “Culture” ( bhs. Inggeris), budhaya Bahasa Indonesia, atropolog menyebut Colere merupakan revolusi kebudayaan ke 1dalam kehidupan manusia.
Setelah manusia merasakan manfaat menanam, timbul pemikiran untuk menetap, dengan akalnya membuat tempat tinggal bagi keluarga, dengan mempergunakan bahan yang tersedia di seputar alam lingkungannya.
Selanjutnya manusia membutuhkan tempat tukar menukar hasil tanaman atau barter, muncul pasar, Terbangunya pondok dan pasar disebut revulusi kebudayaan ke 2, atau revolusi perkotaan. Sisa panen agar tidak busuk, diolah menjadi barang siap saji, disebut revolusi kebudayaan ke 3, atau revolusi industry.
Tentu lahirnya Kota Takengon tidak terlepas dari ketiga indicator tersebut, walau berbeda jaman. Terbentuknya “ Kota” diseputar daerah disebut Takengon, terkait erat dengan peristiwa penaklukan tanah Gayo oleh pasukan Eedert Christiaan Van Daalen (1901-1906).
Dipredeksi, setelah Gayo Lut dan Deret takluk, lalu dibangun benteng, atau tanksi dikaki bukit Buntul Kubu, masyarakat yang tinggal diseputar lokasi, menjual makanan dan minuman, serta benda lain untuk pekerja bangunan.
Gubuk atau kios yang dibangun para pedagang berkembang menjadi deretan toko, disepanjang jalan Malem Dewa, Sudirman dan Puteri Ijo, sampai pasar ikan, deretan toko-toko ini disebut kota, karena berlokasi di wilayah bernama Takengon, maka disebut Kota Takengon.
Berdasakan kajian tersebut kami usulkan hari jadi Kota Takengon, 17 Pebruari 1903/06 kepada Bupati, dan Bupati melanjutkan ke DPRK. Kemudian dikaji kembali oleh komisi D melalui publik hearing, tanggal dan bulan yang diusulkan diterima, akan tetapi menjadi alot dalam penentuan tahun.
Angka 434 disebut oleh pimpinan sidang atas usulan almarhum bapak Drs. Mahmud Ibrahim. Jika dicermati, almarhum saat itu menjawab pertanyaan peserta tentang “kapan muncul nama Takengon”.
Menurut almarhum, orang pertama menyebut Takengen adalah orang pertama penghuni daerah Boom, yaitu kakek dari Aman Lapan datang dari Mungkur, diasumsikan jika usia aman lapan meninggal 90 tahun, bapaknya 90, kakek 90 maka sebutan Takengon 270 tahun yang lalu.
Kami tidak mengerti, dari ceritera almarhum bapak Mahmud Ibrahim dimasukan kedalam rumus apa ?, maka keluar angka 434, setahun berikutnya dapat bocoran, penuaan usia ada factor X, titipan dari si “anu”.
Mengenai tanggal, mengikuti pemikiran Bung Karno menentukan tanggal proklamasi, 17 Agutus 1945 bertepatan dengan 17 Ramadhan, dan hari jum’at pada tahun 1945, angka 17 angka suci untuk umat islam, jumlah rakaat shalat 5 waktu, 17 rakaat.
Kajian kenapa bulan pebruari, karena dalam setahun ada 2 x peringatan hari ulang tahun, maka perlu dipertimbangkan interval waktu 6 bulan antara HUT Kota, dan HUT RI, tepatnya bulan Pebruari.
Persfektif peringatan HUT Kota untuk pendapatan pajak daerah, selain event-event tersebut diatas, diselenggarakan pacuan kuda komersial, yaitu pacuan Kuda Pordasi Nasional, kudanya besar dan tinggi, harga ratusan juta, terlatih tanpa dicambuk, kaki berladam, berpelana, joki dan kuda ditimbang, dan berhelem.
Perayaan HUT RI, pacu kuda tradisional, yang dipacu asli kuda Gayo, tanpa ditimbang, tanpa plana dan helem, memakai cambuk, penonton bebas tiket masuk, harapannya kuda asli Gayo berkembang kembali.
Setelah HUT Kota Takengon berjalan 11 tahun, persfektif peringatan HUT Kota Takengon, terkesan hanya formalitas, belum terlihat partisifasi pengusaha lokal, propinsi, nasional, BUMD, BUMN, UKM, dan peran aktif masyarakat, mahasiswa, pelajar, LSM.
Yang terlihat hanya peran pemerintah, dan DPRK, dengan deretan papan bunga di hari sidang istimewa DPRK, berbahasa Gayo, berbaju motif kerawang, bertopi ala budaya Melayu, Minang, Riau dan Palembang.
Bulang asli Gayo: cengkarom, pengkah jembolang, seléng, séréng, ikel, hilang bersamaan gencarnya pemerintah pusat menerbitkan UU, Perpres, dan Permen mewajibkan semua pemda memajukan budaya daerah, bukan memodrenisasikan.
Semoga tulisan ini menjadi sumbangsih pemikiran, bagi pemerintah daerah untuk mengevaluasi kembali manfaat dan harapan dari peringatan HUT Kota yang tertua ini.
Selamat memperingati HUT Kota Takengon ke 445.
*Inisiators HUT Kota Takengon