Oleh : Nanda Winar Sagita*
Selasa, 14 Juni 1904 adalah salah satu hari tersuram dalam sejarah. Tentu secara khusus peristiwa itu masih dikenang oleh segelintir orang. Saya mengatakan segelintir, karena sebagian besar generasi Gayo masa kini memang tak lagi mengingat bahkan tak pernah tahu peristiwa besar itu. Jejaknya seolah-olah dibiarkan raib begitu saja lantaran ditelan oleh zaman.
Adapun yang terjadi pada hari itu adalah pembantaian besar-besaran yang dilakukan oleh Pasukan Marsose Belanda yang berekspedisi di bawah pimpinan Jenderal van Daalen.
Ada banyak catatan yang menyatakan jumlah keseluruhan korban. Dalam buku De Aceh Oorlog (1980) karya Paul van’t Veer, tercatat ada 561 penduduk pribumi di Kuta Reh (sekarang masuk wilayah Kecamatan Bambel, Kabupaten Aceh Tenggara) yang tewas. Korban yang dieksekusi terdiri dari 313 laki-laki, 189 perempuan, dan 59 anak-anak.
Itu catatan yang mengerdilkan jumlah korban dan kemungkinan besar adalah hasil dari bias penulisan sejarah.
Di samping itu, Asnawi Ali menyebutkan ada 2.922 orang tewas: 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan. Fakta yang lebih mengejutkan lagi diungkapkan langsung oleh ajudan Daalen sendiri, J.C.J. Kempees. Dalam “De tocht van Overste van Daalen door de Gajo, Alas-en Bataklanden” (1904), jumlah korban yang tewas ada sekitar 4.000 jiwa.
Awal mula invasi van Daalen terjadi ketika penduduk Gayo dan Alas menolak untuk menyerah pada Belanda, meskipun Kesultanan Aceh sudah takluk. Mereka tetap melakukan perlawanan, meski hanya membangun benteng berupa tembok dari tanah untuk pertahanan.
Van Daalen, yang terbiasa menggunakan taktik ‘menyerah atau mati’, memerintahkan benteng itu untuk diserang. Maka terjadilah tragedi genosida besar pada hari yang suram itu.
Jika dibandingkan dengan jumlah korban pada tragedi yang nyaris serupa—katakanlah Pembantaian Sabra dan Shatila pada 1982 yang menelan sekitar 3000 jiwa dan masih dikenang sampai sekarang di Lebanon sana—tentu tragedi Kuta Reh lebih dahsyat.
Jika perbandingan dengan Pembantaian Sabra dan Shatila terlalu jauh; maka kita bisa membuat perbandingan yang lebih dekat, meski bukan tentang pembantaian: Bloomsday!
Tepat dua hari setelah Pembantaian di Kuta Reh, yakni hari Kamis, 16 Juni 1904, nun jauh di Irlandia sana, James Joyce bertemu untuk pertama dengan istrinya yang bernama Nora Barnacle.
Sekadar informasi, James Joyce adalah salah satu sastrawan dari abad ke-20 paling berpengaruh di dunia, kalau bukan satu-satunya. Kelak hari pertemuan dengan istrinya itu menjadi ilham dari novel masyhurnya yang berjudul Ulysses.
Di dalam Ulysses, cerita hanya terjadi selama satu hari yang dimulai dari pagi sampai malam, yaitu 16 Juni 1904. Alurnya cuma berkutat pada kehidupan biasa dari tiga orang biasa di kota Dublin: Stephen Dedalus, Leopold Bloom, dan Molly Bloom.
Novel ini sangat detail menggambarkan aktivitas sehari-hari masyarakat di kota itu dan deskripsi yang detail. Bahkan ada yang bilang, kalau kota Dublin musnah maka bisa dibangun ulang dengan bersandar pada penggambaran di Ulysses.
Novel ini terdiri dari 18 bab, dan masing-masing bab punya gaya bercerita yang berbeda. Pengaruh novel ini masih bisa disaksikan hingga saat ini. Salah satunya adalah peringatan Bloomsday yang dirayakan tiap tanggal 16 Juni di kota Dublin.
Pada perayaan itu, para penggemar Joyce akan berkeliling kota dengan memakai setelan ala Leopold Bloom dan mengunjungi jalan-jalan yang dilalui oleh karakter fiktif tersebut sebagaimana yang tertera di novel.
Sampai saat ini, peringatan Bloomsday masih dirayakan di Dublin. Mereka bukan hanya mengenang pertemuan seorang manusia biasa dengan jodohnya, tapi juga mengenang betapa tulisan bisa lebih berpengaruh dari pada cerita lisan! Hal itulah masalah kita: sejak masa pudaha kita terbiasa dengan tradisi lisan!
Sejatinya kita tahu, kekuatan ingatan itu terbatas. Maka cerita lisan tidak akan bertahan dan akan senantiasa berubah dari satu mulut ke mulut yang lain.
Jadi kita harus maklum: hal itulah yang membuat peristiwa tragedi Kuta Reh pada 14 Juni 1904 seolah-olah tidak lagi penting dalam ingatan generasi Gayo di era kontemporer; sedangkan peristiwa perjalanan Leopold Bloom yang fiktif pada 16 Juni 1904 masih dikenang orang-orang sampai hari ini, tidak hanya di Dublin, tapi oleh penggemar James Joyce di seluruh dunia.
Bagaimana pun juga, perbedaan pengaruh dari kedua peristiwa itu sangat kentara. Dan kita memang harus mengakui dan berbenah: ada baiknya meningkatkan literasi dengan mulai mengajak anak-anak kita untuk merekam peristiwa-peristiwa di sekitar kita dengan cara menulisnya.
*Guru sejarah di SMAN 6 Takengon