Hadapi Krisis Iklim, Cuaca Semakin Ekstrem dan Tak Menentu

oleh

Oleh : Stya Juangga Dirta*

Situasi iklim global yang terus mengalami penurunan kualitas, secara saintifik sudah diidentifikasi sebagai salah satu fenomena krisis iklim, akibatnya kini tidak jarang lagi ditemui fenomena cuaca ekstrem yang merata di seluruh dunia termasuk di Indonesia dan Aceh khususnya.

Berdasarkan data yang dirilis Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yaitu panel ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia dan merupakan bagian dari PBB menunjukkan bahwa suhu bumi saat ini telah mencapai level yang belum pernah terjadi sebelumnya setidaknya dalam 2000 tahun terakhir.

Suhu bumi juga diperkirakan akan mencapai atau melampaui batas 1,5 C di atas level pra-industri, antara tahun 2021 dan 2040. Buruknya, jika di bawah skenario emisi tinggi, ambang batas 1,5 C ini dapat dicapai dalam waktu yang lebih singkat lagi.

Pemanasan suhu bumi sejalan dengan meningkatnya temperatur air laut (sea surface temperature), suhu tanah, dan suhu udara. Dampak nyata pemanasan suhu bumi terlihat jelas dari hilangnya lapisan es di Arktik pada musim panas, di Indonesia sendiri kini menghilangkan 2 dari 5 es/gletser pada puncak Jaya.

Naiknya temperatur secara simultan ini juga menghasilkan energi atmosfer yang lebih besar pula, dampaknya presipitasi atau proses turunnya hujan menjadi lebih besar dan ekstrem, serta terjadi dalam waktu yang lebih singkat.

Sebenarnya curah hujan ekstrem pada masa lalu juga terjadi, tetapi rentang waktunya panjang, bisa terjadi sekali dalam waktu 10, 15 atau bahkan 20 tahun. Karena dampak krisis iklim ini, intervalnya kini jauh lebih pendek, bisa 2-3 tahun sekali atau bahkan mengulang setiap tahun. Kecenderungan cuaca ekstrem ini bahkan dikhawatirkan akan menjadi “new normal” atau kenormalan baru fenomena iklim.

Sejalan dengan hal tersebut, kini media dan pemberitaan di Aceh secara signifikan terfokus pada fenomena cuaca ekstrem berupa hujan lebat yang terjadi hampir merata di seluruh wilayah Aceh.

Tidak tanggung-tanggung, fenomena hujan ini dibarengi dengan petir dan angin kencang, bahkan di beberapa wilayah sudah menyebabkan bencana alam berupa banjir dan longsor.

Tidak cukup sampai di situ, di beberapa wilayah di Aceh kini juga terjadi fenomena hail yaitu hujan es yang berdampak negatif terutama pada lahan pertanian. Kini masyarakat menghadapi tantangan besar karna harus bersiap dan waspada menghadapi gagal panen, perubahan pola tanam, serta krisis iklim juga berdampak kepada kehidupan nelayan yang sulit melaut karena cuaca yang tidak menentu.

Fenomena ini patut menjadi perhatian karena sudah berdampak merugikan harta benda bahkan dikhawatirkan dapat berdampak kepada shock moral dan health mentality masyarakat terdampak.

Secara tidak langsung, fenomena krisis iklim tidak cukup hanya berdampak kepada lingkungan saja, kodisi ini juga berpengaruh besar terhadap perilaku dan sikap manusia secara fisik dan mental.

Indonesia yang beriklim tropis pada musim kemarau ekstrem adalah kondisi ideal perkembangan bakteri, virus, jamur dan parasit karena tingginya kelembaban udara, kemarau ekstrem juga berafiliasi dengan maraknya kebakaran lahan dan hutan yang dapat berdampak fatal terhadap infeksi pernafasan.

Sebaliknya, musim hujan ekstrem memaksa lingkungan untuk menjadi ladang bencana alam, minimnya air bersih, kotor dan rusaknya lingkungan, serta kondisi ideal bagi serangga dan nyamuk untuk dapat membahayakan Kesehatan.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melalui Stasiun Meteorologi Sultan Iskandar Muda Banda Aceh kini gencar mengeluarkan peringatan dini cuaca ekstrem. Tidak sampai di situ, prakiraan cuaca harian serta prakiraan berbasis dampak rutin disebar luaskan yang terjaring dalam forum koordinasi seluruh Aceh melalui koordinasi multi sektor baik institusi pemerintahan, media, dan organisasi masyarakat.

Melewati masa transisi musim dan memasuki musim penghujan, kini yang harus menjadi fokus adalah bagaimana meminimalkan risiko, karena sejatinya cuaca ekstrem sulit bahkan tidak dapat dihindari, namun dampak yang merugikan dapat ditekan dan diminimalkan.

Bersamaan dengan kerja sama dan koordinasi multi sektor yang dilakukan, BMKG menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk aware dan selalu update informasi yang dikeluarkan BMKG melalui kanal-kanal informasi resmi BMKG.

Wilayah Aceh sendiri dibedakan atas 5 wilayah Zona Musim (ZOM) dan wilayah non-ZOM. Agar diwaspadai potensi curah hujan tinggi bahkan ekstrem di wilayah ZOM maupun non-ZOM yang berada di Pesisir Barat-Selatan Provinsi Aceh, khususnya pada puncak musim hujan tahun 2021 yang diprakirakan akan terjadi pada bulan November (untuk ZOM 1, ZOM 4, dan ZOM 5) dan bulan Desember (untuk ZOM 2 dan ZOM 3).

Tingginya curah hujan ini dapat berafiliasi menyebabkan banjir dan longsor, hujan dengan intensitas tinggi juga dapat dibarengi dengan petir dan angin kencang. Serta tidak menutup kemungkinan, karena tingginya tingkat labilitas udara dan aktifitas updaft dan downdraft yang kuat pada awan hujan ini (awan Cumulonimbus), serta didukung oleh lapisan dengan tingkat pembekuan yang lebih rendah (lower freezing level) yang bernilai 0C, sehingga dapat menimbulkan hail atau hujan es.

Fenomena krisis iklim ini kini juga telah menarik perhatian pemerintah dengan ditetapkannya sebagai rencana aksi nasional dan regional sebagai misi adaptasi perubahan iklim, sebagaimana tertuang dalam kerangka Coordinated Regional Climate Downscaling Experiment (CORDEX), di bawah Program Penelitian Iklim Dunia (WCRP) dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).

BMKG kini juga bekerja sama dengan CORDEX Southeast Asia (CORDEX-SEA) untuk melakukan penelitian proyeksi iklim sebagai upaya meminimalkan risiko dampak krisis iklim yang semakin ekstrem dan tidak pasti.

Bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang juga terdiri dari banyak pulau-pulau kecil, dan memiliki curah hujan tahunan yang tinggi, menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kondisi ini membutuhkan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi dampak bencana hidrometeorologi.

Dalam ketidakpastian dan kondisi krisis iklim ini, koordinasi multi sektor dan proyeksi iklim merupakan hal vital dan sangat penting, sehingga dapat menentukan strategi dan perencanaan yang tepat di masa mendatang.

*PMG Pertama / Weather Forecaster, Stasiun Meteorologi Sultan Iskandar Muda Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.