Mendale Modalnya Gayo

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Sebagai orang Gayo, kita sudah lama menjadi orang yang rendah diri, sampai ditemukan kerangka manusia di Ceruk Mendale dan Ujung Karang, Kebayakan, Aceh Tengah, yang diyakini merupakan nenek moyang orang Gayo. Umur kerangka manusia di sana mencapai 7.500 tahun. Diperkirakan setara dengan zaman Nabi Idris AS.

Sejak penemuan hasil penelitian Balai Arkeologi Sumatera Utara, yang dipimpin Dr. Ketut Wiradnyana, M.Si, orang Gayo seperti mendapat energi baru, semakin percaya diri dan merasa sebagai orang yang mewarisi negeri ini, yang semula kata “Gayo” sendiri diplesetkan dengan istilah “penakut” dan disetarakan dengan “manusia manti.”

Penemuan Ceruk Mendale dan Ujung Karang bukan sekedar tuanya kerangka manusia, tetapi juga mewariskan peradaban dan kebudayaan secara turun temurun sampai kepada kita sekarang. Kedua ceruk tersebut menjadi bukti bahwa peradaban Gayo adalah peradaban tua, yang mempunyai silsilah jelas dan telah dibuktikan dengan test DNA. Sangat erat kaitan orang Gayo sekarang dengan manusia di Mendale yang hidup ribuan tahun lalu.

Sebenarnya hasil penelitian awal sudah menggemparkan dunia, khususnya Aceh, tetapi itu masih “seujung kuku” dari seluruh hasil dari penelitian ke penelitian berikutnya. Masih akan banyak rahasia-rahasia yang akan terungkap dari hasil penelitian berikutnya. Semua hasil penelitian itu akan menjadi jati diri seutuhnya orang Gayo.

Kenali (Genali) dan gali (Gayo) sangat erat kaitannya dengan Ceruk Mendale dan Ujung Karang. Semakin dicari dan digali semakin terbuka hijab ketidaktahuan diri “urang Gayo” itu sendiri. Mendale dan Ujung karang adalah petunjuk sebagai kenyataan alam (Ayat Kauniyah) dan sejarah (Ayat Takhiriyah) bagi kita, yang mau menggunakan akal dan fikirannya untuk tahu diri.

Kita patut sampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Bli Ketut Wiradnyana yang telah membuka “tarekat” atau jalan bagi kita sebagai “pesalik” orang Gayo, yang dari waktu ke waktu semakin tercerahkan spiritualnya. Pada saatnya setelah penelitian utuh, dia akan menjadi “kredo” di tengah kegersangan ketidakpercayaan diri dan penuh keraguan.

Sejarah berulang adalah keniscayaan. Asal usul kejadian “Linge dan Gayo”, “Asal Linge awal Serule,” “Geluni item,” dan “umah siwah ruang” merupakan pengulangan peristiwa sebelumnya, termasuk peristiwa di Ceruk Mendale dan Ujung Karang pada “season-season” sebelumnya, yang pada akhirnya “idema kudiri ngen si?”

Tentu saja penelitian yang masih awal ini, kita belum menemukan benang merah secara “ilmu kalam” atau “syariat” keholistikan perjalanan sejarah Gayo, walaupun secara hakikat kita sudah faham arahnya. Akan tetapi bagi generasi yang akan datang mereka perlu data konkret yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmu pengetahuan dan sains.

Saya kira itu yang menjadi keprihatinan dan kemarahan masyarakat Gayo kepada oknum Pemda Aceh Tengah, yang sengaja atau tidak telah melakukan “mal praktek” terhadap situs cagar budaya Mendale dan Ujung Karang, yang menjadi mata rantai sejarah Gayo seutuhnya.

Perilaku oknum Pemda dengan proyeknya seperti “kera nengon bunge” sudah sepatutnya dikritisi. Silahkan bangun dan anggarkan “seenakperutnya” proyek-proyek yang tidak merusak identitas Gayo. Saya tidak anti pembangun, tetapi membangun dengan bijak dan elegant akan menjadi buah tangan dan kenangan-kenangan pemerintah, bahkan menjadi legacynya kepada generasi akan datang.

Besar harapan dengan kasus “penghancuran” situs cagar budaya Ceruk Mendale dan Ujung Karang, Bupati Bang Bela harus berani “memegang bara api dan duduk di ujung rencong” demi masyarakat Gayo, yang mempertahan Mendale sebagai modalnya.

(Mendale, 14 November 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.