Ojom, Dipugar Tanpa Konsultasi Dengan Ahli, Situs Berharga Ceruk Mendale Hancur

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Ketika saya pertama kali berkunjung ke Borobudur dan Prambanan, saya sangat terpukau pada penjelasan pemandu wisata yang mendampingi kami, ketika dia menjelaskan proses restorasi kedua candi ikonik itu.

Bagaimana hati-hatinya mereka memperlakukan batu-batu hasil karya nenek moyang itu. Satu per satu pecahan batu, disusun sesuai dengan bentuk aslinya dulu. Mereka benar-benar mencari kemana-mana, kepingan pecahan batu-batu tersebut untuk disambungkan dan ditempatkan lagi di tempat seharusnya.

Karena dalam proses renovasi ini, mereka tidak dibekali maket atau sekedar cetak biru dari pembuat candi ini. Untuk tahu itu, mereka menelusuri sejarah candi ini, filosofinya menurut ajaran Hindu dan Buddha, membandingkan dengan candi-candi lain, agar tidak salah memasangkan. Semua demi memasangkan batu-batu tersebut sesuai aslinya.

Beberapa batu, tidak (belum) bisa ditemukan , jadi untuk penggantinya terpaksa dibuat batu susun yang baru. Tapi, supaya nanti di masa depan masyakarat tidak salah mengira batu tambahan itu adalah batu asli dari pembuatnya. Untuk batu tambahan itu, sengaja tidak diukir dan diberi tanda, bahwa itu bukanlah batu yang asli dibuat oleh pendiri candi ini, 13 abad silam.

Begitulah mereka memperlakukan peninggalan sejarah, karena mereka menyadari bahwa nilai tertinggi dari sebuah situs sejarah adalah keasliannya, sebab dari keaslian itulah, manusia dari generasi ke generasi bisa belajar. Kalau keaslian itu dirusak, kita tak lagi punya gambaran yang benar tentang masa lalu. Ketika itu tidak benar, tentu apa yang kita pelajari akan keliru.

Perusakan dari bentuk asli ini, disebut vandalisme. Ini biasanya dilakukan orang iseng dan kalau tertangkap akan mendapat hukuman berat.
Gayo, harus kita akui, tidak memiliki peninggalan sejarah berupa bangunan massif sekelas Prambanan, Borobudur atau bahkan sekedar candi-candi kecil seperti di Dieng, Gedong Songo atau Candi Ijo dan Candi Keris yang baru selesai direnovasi di daerah sekitar Ratu Boko, yang untuk ukuran Jawa Tengah terbilang candi sederhana.

Tapi, meski tidak memiliki itu semua, Gayo beruntung memiliki satu situs sejarah yang memiliki nilai ilmiah begitu tinggi. Situs arkeologi Ceruk Mendale, situs yang menyimpan kekayaan data-data arkeologis yang tak ternilai.

Kenapa dikatakan tak ternilai, karena data-data arkeologis yang terdapat di Ceruk ini membuktikan dengan telak dan tak terbantahkan, bahwa dibandingkan etnis-etnis lain yang ada di provinsi ini, suku Gayo adalah yang pertama kali mendiami daerah yang sekarang dikenal dengan nama provinsi Aceh. Fakta ini dengan telak mematahkan propaganda kaum Chauvinis yang mengatakan bahwa merekalah penduduk asli daerah ini dan Gayo baru datang ke daerah ini belakangan, sehingga harus rela didiskriminasi dan mengikuti aturan yang mereka buat.

Temuan ini disambut sangat positif oleh segala kalangan di Gayo bahkan juga Karo, karena ketika dilakukan penelitian DNA dari kerangka berusia ribuan tahun di situs itu, ditemukan kalau secara DNA, orang Gayo dan Karo adalah identic. Artinya, mereka pun adalah penduduk awal di Pulau Sumatera.

Ketika situs ini mulai dikenal dunia, ada banyak kritik yang ditujukan kepada pemerintah kabupaten Aceh Tengah, yang dianggap kurang memberikan perhatian pada situs ini. Begitu lama, situs ini dibiarkan seolah terbengkalai.

Sampai akhirnya, beberapa waktu yang lalu situs ini dipugar. Tapi sayang seribu sayang, dalam proses pemugaran yang sudah pasti didasari niat baik ini. Pengerjaan proyek ini dilakukan tanpa pemerintah merasa perlu berkonsultasi dengan Balar Medan yang menggarap penelitian arkeologi situs itu.

Situs Ceruk Mendale, seperti halnya situs arkeologi lain, sebut saja misalnya seperti Piramid di Mesir. Tempat penggalian itu benar-benar dijaga supaya jangan ada unsur lain di luar masa itu yang masuk. Jadi, sisa-sisa artefak lama yang ada di sana, bentuknya tetap terjaga dan tidak bercampur dengan yang baru. Karena kalau sudah bercampur, data-data itu sudah tidak ada lagi harganya, karena sudah tidak lagi dapat digunakan untuk menjelaskan masa lalu.

Renovasi sebuas situs sejarah, seperti Borobudur dan Prambanan sebagaimana saja jelaskan di atas, benar-benar harus dipandu oleh orang-orang dari berbagai disiplin ilmu agar pemugarannya tidak merusak keasliannya.

Tapi, sedihnya, ini tidak terjadi Ceruk Mendale. Hari ini, Ketut Wiradnyana, ketua tim peneliti Ceruk Mendale, mem-post 35 foto dan video di laman Facebook miliknya, menunjukkan bagaimana telah terjadi vandalisme pada situs sejarah sangat berharga milik Gayo ini.

Apa yang membuat miris dan sangat menyedihkan, vandalisme ini tidak dilakukan oleh tangan-tangan iseng atau orang yang punya niat tidak baik pada Gayo. Tapi vandalisme ini dilakukan oleh pihak berwenang, melalui pemugaran yang dilakukan secara ojom, merasa pintar sendiri tanpa merasa perlu berkonsultasi dengan pihak yang benar-benar paham tentang penanangan situs ini.

Alhasil, inilah yang terjadi sekarang. Dengan dana luar biasa, sebesar 681 juta rupiah, situs berharga ini dibuat indah dipandang menurut estetika pembuat kebijakan, tapi menghancurkan data-data arkeologis tak ternilai dan tak lagi bisa digantikan.

Benar-benar menyedihkan, dan lebih ironis lagi, kita tidak mungkin menuntut pelaku vandalisme ini secara hukum, karena pelakunya justru pihak berwenang.

Tak pelak, kejadian ini membuat banyak netizen yang sadar betapa bernilainya situs ini geram. Sampai-sampai ada yang menyamakan perilaku ini seperti perilaku monyet yang diberi uang. Mereka tak tahu kalau kertas yang tak bisa dimakan itu benar-benar bernilai. Tak tahu, kalau sekoper kertas bergambar orang itu, bisa ditukarkan dengan makanan yang bisa menghidupinya buat setahun penuh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.