Tanpa Dirinya, Kota Ini Seperti Tiada Peradaban dan Kebudayaan

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Matahari sudah mulai condong ke barat. Birunya langit membuat ratapannya semakin terik. Angin berhembus lembut menyapu panasnya permukaan bumi.

Nuansa alam hari itu menjadi perwujudan suasana hati yang menyerap cahaya dan melepaskannya kembali menyinari alam semesta. Tampak jelas dari sambutanmu penuh senyum dan tawa lepas.

Sejak perkenalan pertama, aku tidak “ngeh” kalau dia itu adalah dia. Bacaan fikiranku orang lain bernama dia. Maaf, selama ini aku tidak respek terhadapnya karena kufikir itu tingkah laku alamiahnya. Ternyata aku melewatkan bacaan dan tidak mencatat diingatanku tentang kebiasaannya.

Ternyata dia adalah dia dan bukan orang lain itu adalah dia. Bahkan ketika “mengabadikan” tawa canda lepas di kota itu, aku masih belum pasti dia itu adalah dia. Ternyata setelah yakin dia adalah dia, baru aku merasa tanpa dia kota itu tidak ada peradaban dan kebudayaan.

Roda waktu terus berputar, dalam keyakinanku dia adalah dia, mulai dhahir rahasia bathin dari hari ke hari yang semakin terpatri. Rasa itu tidak mau pergi, semakin ditepis semakin kuat dorongan rasa yang semula abstrak mulai mewujudkan dirinya.

“Tuhan, aku jatuh cinta lagi” aku lapor pada Tuhan. Namun hatiku masih mendua. Apakah benar sedang jatuh cinta atau sekedar suka? Pada akhir perang dua kutub itu, siapakah pemenangnya? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Sementara jika sehari saja, aku tidak bertemu dia, hatiku mulai gelisah dan rasa rindu semakin menggelayut di dada dan terus mengganggu dengan pertanyaan; Sedang apakah dia? Di manakah dia? Bersama siapakah dia? Tersiksa rasanya menunggu jawaban tentang dia.

Aku tidak kuasa menipu diriku sendiri bahwa aku selalu rindu kepadanya. Rasa selalu ingin bertemu serta tidak akan pernah jemu membayangkan dia yang telah mengarahkan fikiran dan hatiku agar hidup lebih bermakna.

Percayalah, aku tidak akan mencari dia yang lainnya karena dia adalah representasi dari alam semesta beserta seluruh isinya.

Dari seluruh geraknya, hanya satu yang mengguncangkan hatiku, yakni tatapannya. Padahal aku tahu makna “pelototannya” itu, bercinta bukanlah prioritas untuk saat ini.

Aku percaya dia adalah orang yang rela melakukan apapun, tanpa pamrih mengorbankan kebahagiaan demi orang yang dia sayangi.

Sorot matanya menjadi saksi bisu bahwa keluarga adalah puncak perjuangannya. Dia tetap senyum dan cerita, sampai turun hujan, kemudian dia menangis sepuasnya agar tampak bias mana air mata, mana air hujan. Keduanya larut menjadi garam kehidupan dan hidup akan hambar tanpa air mata.

Beruntunglah dia berada di antara orang-orang baik dan penuh kasih sayang. Bagiku, sungguh anugerah Ilahi Yang Agung bisa memilikinya. Semoga kehadiranku membuatnya tersenyum dan tawa abadi.

(Mendale, 11 November 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.