Oleh : Fauzan Azima*
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan bangsa gajah sebagai hewan herbivora. Andai gajah pemakan daging, tentu dipastikan akan mempercepat kepunahan satwa lainnya. Demikian juga kalau gajah hewan carnivora, pasti akan sangat repot jika terjadi konflik bangsa gajah dengan bangsa manusia.
Sungguh Allah Maha Pencipta, telah menjadikan hamba-Nya mudah beradaptasi dengan lingkungannya.
Selawat kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan adab manusia kepada Sang Khalik, adab manusia sesama manusia, dan adab manusia kepada lingkungannya; termasuk adab kepada satwa yang ada di alam semesta ini.
Adab sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia. Tanpa adab manusia menjadi biadab.
Selanjutnya, terima kasih kepada Teungku Amri Aman Sehan alias Ama Burak yang telah memberi nama sandi kepadaku dengan sapaan “Ama Gajah” pada saat kami masih bergerilya dulu.
Sejujurnya, aku tidak pernah memperkenalkan diri dengan nama “Ama Gajah”. Aku hanya khawatir sejak bangsa gajah turun ke jalan di Bener Meriah, aku bisa dituduh sebagai ayah yang tidak bertanggung jawab terhadap anak-anaknya.
Pernah dalam satu malam, aku dalam perjalanan dari Bireueun ke Takengon, tepatnya di Tajuk Enang-Enang, arah Menderek, aku melihat puluhan mobil parkir di jalan dan mereka menyalakan api unggun dengan petasan di tangannya.
“Sedang apa Bang?” aku menyapa salah seorang dari mereka.
“Kami sedang ngepam Gajah, Bang” katanya datar, tidak berekspresi. Sepertinya dia sedang khawatir dan cemas dengan aksi kawanan gajah akhir-akhir ini.
Akupun tancap gas, buru-buru pergi dari lokasi itu. Andai saja mereka tahu, aku “Ama Gajah,” tentu seluruh mercun (petasan) akan diarahkan kepadaku.
“Untuk apa mencari gajah, rupaya ini dia!” teriak mereka sambil memburuku. Syukurlah, aku tidak latah menyebut namaku; Ama Gajah.
“Begitukah cara penanganan bangsa Gajah?” aku berdialog dalam diri.
Mengapa mereka tidak bertanya kepada Ama Gajah? Bukankah ayahnya lebih tahu tentang sifat anak-anaknya? Asal tahu, ya! Mereka itu ibarat balon. Semakin ditekan, semakin melawan. Perlakukan mereka dengan kasih sayang.
“Bersihkan hati! Jangan membencinya, jangan mengusirnya, jangan mengasarinya dan jangan jadikan mereka untuk proyek” dialog bathinku lebih lanjut.
Allah menciptakan bangsa Gajah dengan tugas mengontrol hutan sebagai daya dukung kehidupan sekitarnya. Kalau mereka sudah turun ke perkampungan berarti tutupan hutan sudah mengancam kehidupan manusia. Kualitas air sudah mulai rendah, unsur hara tidak cukup untuk tanaman budi daya dan akan berlanjut dengan konflik-konflik satwa lainnya dengan manusia; harimau, beruang, endemik ular dan serangga-serangga yang mengancam tanaman, termasuk kopi.
Pengalaman negara yang memperlakukan hutannya dengan baik adalah Republik Dominika yang menguasai 2/3 pulau Hispaniola yang merupakan gugusan laut Karibia, Amerika Tengah. Rakyatnya mendapatkan berkah dari hutannya. Air bersih, tanam-tanaman subur dan rakyatnya makmur.
Bandingkan dengan negara tetangganya Haiti yang menguasai 1/3 pulau Hispaniola yang menebang seluruh hutannya dan akibat lanjutnya penduduk Haiti menjadi miskin.
Itulah Ayat Qauniyah atau kenyataan alam yang patut dijadikan petunjuk dalam mengelola hutan.
Kita hidup di negeri yang diberkahi karenanya manfaatkan keberkahan itu dengan melaksanakan adab terhadap lingkungan, termasuk adab dalam menangani bangsa gajah yang masuk ke pemukiman penduduk. Semua itu awalnya adalah ulah manusia itu sendiri.
Manusia telah dibekali akal budi, sebagai pembeda antara manusia dengan satwa. Sebagai manusia berakal budi, lakukan mitigasi dengan pembangunan berdasarkan green infrastruktur yang tidak merusak koridor satwa akibat membangun jalan, membuka lahan perkembunan, membuka tambang, illegal logging, dan tidak memburu satwa di dalam hutan.
Kelestarian hutan adalah kelestarian kita hari ini dan kelestarian generasi akan datang.
(Mendale, 6 November 2021)