[Cerpen] Pencuri Kitab Suci

oleh

[Cerpen] Pencuri Kitab Suci
Oleh : Ramli Lahaping*

“Permisi…,” sahut Margo di teras depan sebuah rumah. “Permisi…”

Tetapi tak ada suara balasan.

Jantungnya sontak berdegup kencang. Dengan langkah kaki yang pelan, ia lantas menapaki bagian teritis. Tanpa bersuara lagi, ia pun menerobos masuk melewati ambang pintu. Ia bertindak lancang karena ia yakin bahwa tak akan ada orang yang memergokinya.

Ia bertindak nekat karena ia punya kilahan jitu kalau ia kedapatan, yaitu dengan kembali berlakon menjadi pengemis yang ingin meminta sumbangan, hingga orang-orang akan mengasihani dan memakluminya.

Seketika, pandangannya melayang ke seisi ruangan. Di sisi depannya, terlihat sejumlah perabotan mewah dan barang elektronik yang butuh banyak langkah untuk menggapainya.

Pun, benda-benda tersebut berukuran besar dan terkait dengan benda lain, sehingga butuh waktu untuk mempretelinya. Yang berada di dekatnya dan tampak enteng untuk dibawa kabur, cuma dua buah kitab suci, yang tergeletak di atas meja ruang tamu.

Lalu tiba-tiba, terdengar suara geletukan dari sisi ruang belakang. Ia pun jadi ketakutan. Karena itu, di tengah kebimbangan, ia lekas saja mengambil dua kitab suci di sampingnya tersebut, lantas memasukkannya ke dalam sarung selempangannya.

Dengan gerakan senyap dan cepat, ia kemudian berbalik badan dan melangkah keluar. Dalam sekejap, ia pun berhasil menapak di tepi halaman depan. Ia lolos, sembari membawa kitab curiannya.

Di posisinya yang sudah aman, pandangannya lalu tertuju pada seorang lelaki paruh baya yang tampak sedang memberi pakan untuk seekor ayam jagonya. Ia pun menjadi kikuk, sebab lelaki tersebut tampak memandanginya sembari menggeleng-gelengkan kepala, seolah-olah mengetahui aksinya.

Karena merasa khawatir, ia pun mempercepat langkahnya ke sebuah gang yang sempit, hingga ia benar-benar selamat.

Akhirnya, sebagaimana rencananya, ia pun membawa hasil tilapannya ke segala arah. Pertama-tama, ia menuju ke sebuah kampus yang dekat dari titik keberadaannya, kemudian menawarkan kitab suci tersebut kepada para mahasiswa.

Ia menjualnya dengan sikap setengah memelas, dengan harapan agar orang tergerak membelinya untuk sekaligus menyantuninya. Namun sekian lama menjaja, ia tak juga mendapatkan pembeli.

Tetapi ia tak mau menyerah. Ia lalu keluar dari lingkungan kampus, kemudian menandangi orang-orang di sepanjang tepi jalan. Ia lantas melakukan adegan serupa, yaitu dengan menawarkan kitab curiannya dengan rupa mengemis.

Tetapi lagi-lagi, tak ada seorang pun yang mau membelinya. Orang-orang tersebut malah tampak mengabaikan, atau bahkan mencampakkannya dengan kasar.

Akhirnya, ia melanjutkan upayanya di persimpangan jalan raya. Setiap kali lampu lalu lintas menyalah merah, ia pun mendatangi para penggguna jalan untuk menawarkan jajanannya. Ia kembali menjual dengan laku yang memprihatinkan demi melariskan kitab curiannya itu.

Namun tetap saja ia menemukan kenyataan yang sama seperti sebelumnya, bahwa tak seorang pun dari para pengguna jalan yang sudi membeli kitab yang ia tawarkan, seolah-olah mereka semua memang sama sekali tak membutuhkannya.

Waktu pun bergulir cepat. Ketika hari sudah sore, di tengah keputusasaannya, ia pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Yang berhasil ia dapatkan hanya uang pecahan-pecahan kecil dari orang-orang yang menganggapnya sebagai pengemis dan ingin agar ia segera menyingkir.

Akumulasinya hanya cukup untuk ongkos sekali makannya saja. Karena itu, ia merasa gagal, sebab ia tak mampu mendapatkan penghasilan yang memadai untuk anak dan istrinya.

Dengan penuh kekecewaan, ia terus saja mengayun langkah pulangnya. Seiring itu, ia pun terus merenungkan nasibnya yang penuh derita.

Ia telah kehilangan pekerjaan sebagai seorang petugas kebersihan di sebuah gedung perusahaan akibat perubahan manajemen, sedang ia punya banyak tanggungan hidup. Ia terpaksa banting setir menjadi pengais rezeki di jalanan, tetapi ia hanya mendapatkan hasil yang kecil. Ia nekat menjadi pencuri kitab, tetapi barang curiannya malah tak laku terjual.

Akhirnya, setelah sampai di rumahnya, ia pun kembali menimbang perihal jalannya mencari penghidupan. Ia tahu jelas bahwa mencuri adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. Ia tahu bahwa mencuri adalah dosa, dan hasilnya adalah haram.

Pun, ia tahu bahwa mengemis adalah pekerjaan yang hina. Ia tahu bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, bahwa memberi lebih baik daripada menerima.

Hingga akhirnya, di tengah kegagalannya menjadi penjual kitab curian berkedok pengemis, ia pun menduga bahwa Tuhan sedang memperingatkannya. Ia menaksir bahwa Tuhan telah mencegahnya dan ingin membebaskannya dari pekerjaan yang buruk.

Karena itu, ia pun terpikir untuk bertobat dan mencari pekerjaan yang baik dan terhormat, demi mendapatkan rezeki yang halal.
Perlahan-lahan, ia mulai menginsafi kekhilafan dan kesalahannya atas keputusasaannya terhadap karunia Tuhan.

Dengan cahaya nurani di dalam hatinya, ia pun menyibak kitab curiannya, lantas membaca ayat dan terjemahan kitab suci tersebut di dalam hatinya. Dan seketika saja, ia menemukan banyak pesan-pesan kehidupan yang tidak terduga, seolah-olah Tuhan sedang menegurnya secara langsung.

Akhirnya, hari demi hari, atas kesadaran agamanya yang terus menguat untuk mencari rezeki yang halal, ia pun terus berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang benar. Apalagi, ia tentu tak ingin anak dan istrinya tahu bahwa ia telah menjadi seorang pencuri dan pengemis di tengah tekadnya untuk tetap merahasiakan kondisinya yang telah kehilangan pekerjaan.

Demi niat baiknya itu, ia pun mendatangi beragam tempat usaha untuk mencari sumber penghasilan. Ia melakukannya dengan sungguh-sungguh, demi mendapatkan bekal hidup yang baik dan halal untuk anak dan istrinya.

Sampai akhirnya, beberapa hari kemudian, ia berhasil juga mendapatkan pekerjaan di sebuah rumah makan. Ia bekerja sebagai tukang cuci piring sekaligus pembantu untuk segala urusan, terutama yang membutuhkan tenaga.

Sepanjang waktu, ia senantiasa menunaikan tugasnya dengan penuh dedikasi. Bosnya pun merasa senang dan puas, sehingga ia kerap mendapatkan upah yang lebih. Ia bahkan bisa mengumpulkan pendapatan yang jauh lebih banyak ketimbang gajinya saat menjadi petugas kebersihan.

Sebab itulah, ia merasa sangat bersyukur telah kembali pada jalan kebenaran dalam mencari rezaki. Ia pun jadi semakin yakin bahwa petunjuk agama adalah sebaik-baiknya tuntutan dalam menjalani kehidupan dunia.

Akhirnya, kini, ia terpikir pada langkah-langkah keinsafannya. Bagaimanapun, ia berubah menjadi seseorang yang religius, malah atas perantara kitab suci yang ia curi tiga bulan yang lalu.

Karena itulah, demi menyempurnakan pertobatannya, ia memutuskan untuk mengembalikan kitab suci tersebut kepada pemiliknya. Tanpa menunda waktu, ia pun beranjak ke sebuah rumah yang pernah disatroninya.

Beberapa saat kemudian, ia pun tiba pada alamat yang ia tuju. Dengan perasaan tegang, ia lantas mengucapkan salam sembari mengetuk daun pintu. Ia sabar menunggu dan mengulang pesan bertamu itu, hingga pemilik rumah datang menemuinya.

“Ada apa?” tanya sang tuan rumah, seorang lelaki paruh baya, dengan nada tegas.

Margo pun tersenyum kikuk. “Anu, Pak…” Ia terdiam dan kembali menimbang-nimbang kalimat yang tepat untuk mengakui dosanya.

“Sebelumnya, aku minta maaf, Pak.”

“Apa? Minta maaf untuk apa?” tanya garang sang lelaki berkumis tebal itu dengan raut datar.

Seketika, nyali Margo ciut menyaksikan ketidakramahan sang tuan rumah. “Anu, Pak. Tiga bulan yang lalu, aku telah mengambil kitab suci di rumah ini tanpa izin, dan aku ingin mengembalikannya,” tuturnya, sekuat daya, lantas mengambil dua kitab curiannya dari dalam tas selempangannya.

“Ini, Pak,” katanya, sambil menyodorkan kitab tersebut.

Tetapi sang tuan rumah itu malah tampak terheran. Ia kemudian membalas kesal, “Aku tidak pernah kehilangan kitab suci! Itu bukan punyaku! Jangan mengada-ada!”

“Ini punya Bapak. Aku mengambilnya tanpa sepengetahuan Bapak. Aku telah mencurinya,” terang Margo, begitu saja.

Namun sang tuan rumah malah tampak semakin gusar. “Ah, kamu jangan mengarang-ngarang! Sana! Pergi!” bentaknya, lantas menutup pintu.

Dengan perasaan yang kecut, Margo pun melangkah meninggalkan sisi rumah tersebut dengan penuh tanda tanya.

Sesaat berselang, ia kembali melihat seorang lelaki paruh baya yang tengah memanja seekor ayam jagonya. Lelaki itu lantas melayangkan senyuman miring, kemudian melintangkan dan menggerak-gerakkan jari telunjuknya di depan dahi, seolah mengisyaratkan bahwa sang tuan rumah adalah orang yang tidak waras.[SY]

*Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Instagram (@ramlilahaping).

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.