Eksistensi PKI di Tanah Gayo : Refleksi Singkat Buku Jess Melvin

oleh

Oleh : Nanda Winar Sagita*

Sepanjang realita historis di Indonesia, PKI adalah kata yang punya stigma negatif. Propaganda Orde Baru berhasil menjadikan kata ‘komunis’ punya padanan yang sama dengan iblis atau kafir. Hal itu masih tertanam dalam di kepala orang kebanyakan, dan itu bisa dimaklumi.

Meskipun demikian, sporadis anggota PKI tak bisa disamaratakan dengan anggota partai komunis di negara lain. Jika mayoritas kader komunis di luar negeri adalah para manusia idealis yang memang akrab dengan pemikiran tokoh pentolan ideologi tersebut seperti Marx dan Lenin, misalnya, maka kebanyakan anggota PKI kelas bawah adalah korban keadaan yang bahkan tidak paham arti kata dari komunis itu sendiri.

Salah satu hasil penelitian yang bisa kita jadikan sebagai contoh akurat dari pernyataan tersebut adalah penjelasan Jess Melvin dalam bukunya The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder. Edisi bahasa Indonesia buku ini akan dirilis bertepatan dengan peringatan tsunami pada 25 Desember nanti.

Dari hasil penelitian di buku tersebut, Melvin mencatat pengakuan dari seorang penyintas bahwa kebanyakan masyarakat kelas bawah yang terdata sebagai anggota PKI adalah orang-orang yang diberi bantuan oleh partai tersebut berupa cangkul, beras, dan uang belanja. Tentu tanpa ada penjelasan terlebih dahulu, mereka yang menerima pemberian itu akan dicatat sebagai kader PKI.

Di beberapa wilayah memang grassroots sebagian tak mengenal singkatan PKI sebagai Partai Komunis Indonesia, tetapi nama-nama lain. Salah satu contohnya adalah di Kampung Isaq. Konon mereka tercatat sebagai anggota PKI karena kepanjangan yang mereka kenal adalah Persatuan Ketoprak Isaq. Dulu kelompok kesenian yang disingkan PKI itu memang terkenal dan kerap tampil dalam acara-acara besar.

Pada musim pemusnahan massal anggota PKI setelah peristiwa 30 September, warga yang tidak tahu semacam itulah yang banyak menjadi korban. Di wilayah Aceh Tengah saja, sebagaimana arsip yang ditemukan Melvin sesaat setelah tsunami di puing-puing Kodam I/IM, ada 517 korban yang dibantai. Jika mengacu pada catatan militer, jumlah itu adalah tertinggi di seluruh Aceh.

Jumlah korban di Aceh Tengah jauh melampaui Banda Aceh dan Aceh Besar yang hanya tercatat 121 korban atau Langsa dengan 350 korban. Bahkan menurut Abdullah (nama samaran narasumber di buku tersebut) korban di Aceh Tengah bahkan diperkirakan lebih banyak lagi, yakni mencapai 2.800 jiwa.

Lantaran pemusnahan masif dan sistematis dari militer, arsip tentang struktur PKI di Aceh Tengah tak bisa lagi ditemukan. Oleh karena itu kita tak lagi tahu nama-nama para pimpinan PKI di daerah ini, kecuali menurut pengakuan dari beberapa orang seperti Ibrahim Kadir.

Dia menyebutkan ihwal dua guru yang berafiliasi dengan PKI bernama Daud dan seorang lagi akrab dipanggil Guru Rama. Kedua guru itu berhasil merekrut banyak pengikut dari kalangan guru di Aceh Tengah. PKI di Aceh Tengah juga telah membentuk kelompok didong, sedangkan di lingkungan komando militer setempat, PKI berhasil merekrut seorang prajurit berpangkat Kopral.

Ibrahim Kadir sendiri adalah korban salah tangkap yang sempat mendekam di penjara selama 25 hari sebelum pada akhirnya dibebaskan dengan syarat dia harus membantu militer untuk mengeksekusi orang-orang lain yang terlibat PKI. Menurut pengakuannya, Kadir ditugaskan untuk mengikat tangan korban dan menutup kepala mereka dengan karung goni.

Pengalamannya selama di penjara telah diadaptasi menjadi film pada tahun 2000 oleh sineas kondang Garin Nugroho dengan judul Puisi Tak Terkuburkan. Film tersebut adalah satu-satunya film produksi Indonesia yang masuk ke dalam daftar yang dirilis pada 2015 silam tentang 100 Film Asia Terbaik versi Festival Film Internasional Busan dan berada di urutan ke-97.

Hal unik lain ihwal eksistensi PKI di Aceh Tengah yang bisa kita baca dalam buku tersebut adalah soal pembagian kampung yang secara konvensional dibagi berdasarkan basis massa yang identik dengan Kampung PKI (seperti Nosar dan Kebayaken) dan Kampung DI/TII (seperti Kenawat).

Kebanyakan anggota PKI di kampung tersebut adalah transmigran dari Jawa yang sudah bergabung dengan PKI jauh sebelum berangkat ke Sumatra; dan juga banyak pula warga setempat yang memang lebih terbuka pada ideologi partai tersebut.

Di samping itu, warga yang berada di basis kampung DI/TII, khususnya Kenawat, konon turut membantu memasok stok makanan bagi para pejuang Darul Islam selama pemberontakan. Hal itu sangat wajar mengingat Teungku Ilyas Leube—salah seorang petinggi DI/TII Aceh—memang berasal dari kampung tersebut.

Polarisasi politik dan rivalitas antara PKI dan DI/TII memang berlangsung lama. Kader PKI ikut serta bersama militer untuk meredam pemberontakan DI/TII sekitar tahun 1950-an; dan seolah-olah ada bentuk pelampiasan dendam politik, sekitar tahun 1960-an mantan simpatisan DI/TII juga turut membantu militer untuk membantai orang-orang yang diduga terlibat dengan PKI.

Tentu saja menurut beberapa pengakuan narasumber dalam buku tersebut, mereka tidak memprakarsai pembantaian itu melainkan dipaksa melakukannya karena diancam oleh pihak militer. Dalam hal ini, militer selalu mengambil posisi sentral dalam menumpas sekaligus bekerja sama dengan kedua gerakan tersebut.

Seperti yang pernah ditulis oleh Mustawalad, kebanyakan korban yang tewas dalam pembantaian PKI pada masa huru-hara itu adalah korban salah tangkap atau dalam bahasa Gayo disebut dengan istilah tilok wan opoh kerong (menunjuk dalam kain sarung).

Dari tulisan Mustawalad tersebut, kita bisa melihat kalau para korban itu kebanyakan mengaku tidak tahu mengapa mereka dituduh sebagai anggota PKI. Namun pengakuan seperti yang sudah disebutkan memang baru terjadi pada musim pembantaian berlangsung; karena menurut Ibrahim Kadir, jauh sebelum itu PKI memang sangat populer di wilayah Aceh Tengah. Anggotanya terdiri dari guru, petani, PNS, seniman dan bahkan anggota militer.

Salah satu momen paling biadab dan tidak manusiawi dari pembantaian PKI di Aceh Tengah adalah soal kematian Rauf. Di dalam buku Melvin, soal peristiwa ini disampaikan oleh narasumber dengan nama samaran Latifah.

Setelah Rauf dipenggal oleh militer, kepalanya ditancapkan dengan tiang dan ditempel di bagian depan mobil jip. Setelah itu mobil tersebut berparade keliling kota Takengon sembari mengarak potongan kepala Rauf. Parade itu diikuti oleh warga yang kebanyakan adalah anak-anak.

Selain itu, tempat yang juga pernah dijadikan sebagai lokasi eksekusi adalah halaman masjid. Dalam satu kasus, beberapa anggota PKI dikumpulkan di depan sebuah masjid untuk dibunuh oleh massa. Para korban itu adalah kerabat mereka sendiri yang diduga telah berkhianat.

Kasus terkenal lain adalah kematian Islah yang terjadi dua bulan sebelum pembantaian massal. Menurut buku Melvin, Islah adalah anak seorang ulama dengan gangguan mental yang dikabarkan menjadi seorang kripto-komunis (komunis diam-diam).

Namun menurut pengakuan tetangga dan kerabat Islah, pernyataan Melvin soal gangguan mental Islah sama sekali tak berdasar karena secara mental dia benar-benar stabil. Konon Islah sering mengumandangkan azan di Masjid Quba, meski pada akhirnya dituduh sebagai otak dari pembakaran masjid tersebut yang saat itu masih berupa bangunan kayu. Setelah ditangkap oleh polisi, dia dilepaskan kembali.

Namun setelah itu ada pengumuman yang menyatakan dia akan dieksekusi di hadapan massa, tepat di halaman Masjid Quba. Meskipun eksekusi terbuka dibatalkan, keesokan harinya jasad Islah ditemukan di sebuah gang. Tenggorokannya telah digorok dan usus-ususnya dikeluarkan sampai dimakan anjing.

Memang, dalam bulan-bulan setelah gelombang pembunuhan paling intens terjadi setelah 1 Oktober. Meskipun warga sipil dipaksa untuk berpartisipasi dalam pembunuhan, militer bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan mereka. Kebanyakan korban yang ditangkap karena nama mereka tercantum dalam daftar yang mungkin pada awalnya adalah daftar keanggotaan atau penerima bantuan dari PKI.

Tidak mungkin untuk mengevaluasi validitas angka korban dalam pembunuhan tersebut. Lokasi pembunuhan terbesar yang dikendalikan militer di Takengon terletak di sepanjang jalan lintas pegunungan di Bur Lintang. Di sini para korban diangkut dengan truk militer dari penjara di Takengon dan langsung ditembak atau dipenggal.

Mayat-mayat itu dibuang ke jurang dan dibiarkan tidak dikubur. Selama beberapa minggu orang yang melewati tempat itu bisa menghidu bau bangkai yang menyengat. Lokasi pembunuhan lain yang tersebar di wilayah Aceh Tengah ada di Karang Dedebar, Totor Tritip, Totor Besi, Totor Ilang, dan tempat lainnya.

Mungkin sejauh ini buku Melvin adalah satu-satunya hasil penelitian komprehensif ihwal eksistensi PKI di Aceh Tengah menjelang dan setelah musim pembantaian massal; meskipun secara keseluruhan buku itu membahas hal serupa di berbagai daerah.

Mengingat sistematika pembunuhan massal terhadap orang-orang yang terlibat PKI di Aceh Tengah, sejatinya nyaris tak ada beda dengan tempat lain di seluruh Indonesia. Namun yang menjadi ciri khas dari korban sebelum dieksekusi adalah mereka masih sempat menyebut nama Tuhan atau setidaknya mengaku tidak tahu tentang PKI.

Memang benar komunis tulen lebih menjunjung tinggi prinsip materialisme dengan mengabaikan sisi mistik dan dogmatisme dari agama. Namun jika bertolak pada fakta soal korban pembantaian PKI di Aceh Tengah pada khususnya, hal ini tentu meruntuhkan stigma negatif yang melekat pada PKI yang kerap digeneralisasi sebagai padanan yang pas untuk iblis atau kafir.

*Guru sejarah di SMAN 6 Takengon. Tulisannya berupa esai dan cerpen telah dimuat di berbagai media.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.