Dua Global Citizen di Final Women US Open

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Berbeda dengan tenis pria yang selalu didominasi oleh sedikit pemain. Sudah lama sekali, dunia tenis perempuan dalam keadaan tidak stabil. Sejak dulu Serena Williams mundur dari dunia tenis karena hamil. Tidak ada pemain papan atas yang dominan. Juara di tiap grand slam selalu berganti-ganti.

Ketika Serena kembali ke lapangan, petenis kulit hitam terhebat sepanjang sejarah ini sempat mendominasi kembali sebentar. Tapi usia tidak bisa bohong, dominasi Serena di kemunculan kembalinya ini tidak berlangsung lama dan dunia tenis wanita kembali tidak stabil dengan kemunculan nama-nama pemenang yang berganti-ganti di setiap grand slam dan turnamen grade A.

Sebut saja sejak 2016, muncul begitu banyak nama pemenang grand slam, selain nama Serena Willilams, terdapat nama Flavia Fenetta, Angelique Kerber, Garbine Muguruza, Jelena Ostapenko, Sloane Stephens, Caroline Wozniacki, Simona Halep dan masih ada beberapa nama lain yang terlalu panjang kalau disebutkan semua.

Padahal di masa lalu, dunia tennis laki-laki dan perempuan, kurang lebih sama. Didominasi oleh sedikit pemain saja, yang dinobatkan layaknya raja dan ratu di lapangan tennis.

Pada masa-masa awal televisi mulai muncul di Gayo. Dunia tenis laki-laki didominasi oleh Jimmy Connors dan Bjorn Borg, kemudian dilanjutkan dengan persaingan antara John Mc Enroe dan Ivan Lendl, lalu disambung Borris Becker dan Stefan Edberg, ketika mereka memudar muncul persaingan antara Pete Sampras dan Andre Agassi, saat mereka memudar muncul generasi Roger Federer dan Rafael Nadal dan sekarang ketika mereka memudar, muncul Novak Djokovic yang belum memiliki lawan sepadan meski kemarin dia kalah dari Daniil Medvedev.

Untuk tenis perempuan juga sama, masa awal televisi ada di Indonesia, dunia tennis perempuan didominasi oleh persaingan antara Martina Navratilova dan Chris Evert, ketika mereka memudar, posisi mereka digantikan oleh persaingan antara Steffi Graf dari Jerman melawan Monica Seles dari Yugoslavia, persaingan ini terhenti dengan dramatis saat Monica Seles ditikam di tengah lapangan saat tengah istirahat minum di sela-sela pertandingan, oleh seorang penggemar fanatik Steffi Graf. Persaingan mereka sesekali diganggu oleh Gabriela Sabatini dari Argentina.

Saat mereka memudar, posisi mereka digantikan dengan persaingan antara Martina Hingis dari Swiss dan Lindsay Davenport dari Amerika, yang kemudian digantikan oleh Williams Bersaudara dan duo Belgia Kim Clijster dan Justine Henin.

Di sela-selanya, dunia tenis sempat bergairah dengan kehadiran petenis cantik Anna Kournikova yang seumuran dengan Martina Hingis, sayangnya si cantik kemudian lebih memilih jadi selebritis papan bawah yang tak jelas karyanya, dibandingkan serius menekuni tenis.

Tapi setelah itu, dunia tenis perempuan benar-benar tidak jelas dan jadi kurang seru diikuti, karena ketiadaan sosok dominan.

Harapan akan munculnya kembali sosok dominan di dunia tenis perempuan ini hadir di US Open tahun 2021 ini. US Open sendiri adalah salah satu di antara 4 seri Grand slam dunia selain Wimbledon, French Open dan Australian Open.

Final nomer tunggal putri US Open tahun ini yang berlangsung di lapangan Flushing Meadow menghadirkan sebuah kejutan besar yang menyenangkan.

Di partai final dari satu dari empat partai paling bergengsi jagat raya ini, hadir dua perempuan muda cantik berdarah Asia yang lahir di tahun 2000-an, yang usianya hanya lebih tua dua tahun dari anak tertua saya.

Menariknya, kedua anak muda ini adalah dua pemain non unggulan yang memulai pertandingan dari babak kualifikasi. Keduanya sebenarnya adalah nama besar di level junior, tapi US Open bukanlah kejuaraan junior, ini adalah turnamen yang mempertemukan pemain-pemain terhebat di kolong langit.

Tapi, inilah hebatnya, yang berhasil mencapai puncak justru dua remaja yang catatan peringkatnya masih kisaran dua dan 3 digit, alias masih di angka puluhan ratusan di rangking WTA.

Emma Raducanu, sang juara usianya baru menjelang 19 tahun ranking WTA nya 150. Sementara Leylah Fernandez sang lawan yang lahir dua bulan lebih awal dari Emma, hadir ke US Open dengan ranking yang jauh lebih baik sebenarnya, 73 WTA. Tapi itu masih sangat jauh dari ranking seorang unggulan. Sebagai gambaran, dulu Yayuk Basuki, petenis terbaik sepanjang sejarang Indonesia, ranking tertingginya di WTA sempat menembus peringkat 30 WTA.

Benar-benar luar biasa.

Apa yang lebih menarik dari dua sosok finalis Women US Open ini adalah kehadiran mereka yang benar-benar mewakili zamannya. Milenial dalam arti sesungguhnya, di mana dunia seolah sudah tanpa batas, yang namanya batas negara bahkan ras yang menjadi isu penting yang menjadi salah satu alasan kuat orang-orang untuk saling membunuh dan menghancurkan, seolah hanya tinggal nama tapi bukan lagi penanda identitas seorang anak manusia.

Semangat zaman ini benar-benar telihat nyata dari identitas kedua finalis cantik yang separuh darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah Asia.

Kedua finalis ini lahir di Canada tapi tak seorangpun dari mereka yang memiliki leluhur yang sudah menjadi warga negara Canada sejak negara ini terbentuk.

Emma sang juara, lahir di Toronto, negara bagian Ontario yang berbagi air terjun Niagara dengan Amerika pada tanggal 13 November 2002 dari ayah yang berasal dari Rumania dan ibu yang berasal dari Cina.

Ibukota negara ini terpisah jarak 7.057 km, sebuah jarak yang bahkan sulit dibayangkan manusia sebelum mesin ditemukan. Jarak yang membutuhkan setidaknya waktu setahun untuk dicapai dengan berjalan kaki.

Keduanya bertemu di Canada dengan alasan pekerjaan, sebab Canada membuka peluang besar bagi orang-orang cerdas berpendidikan tinggi untuk berkarya. Baik ayah maupun ibu dari Emma, adalah professional di bidang jasa keuangan.

Ketika Emma berusia dua bulan, mereka berdua memutuskan pindah ke Inggris, dan Emma yang sama sekali tak memiliki leluhur asal Inggris inipun menjadikan negara ini sebagai pemberi paspornya. Emma yang sekarang berdomisili di Bromley inipun resmi menjadi warga negara Inggris dan ketika dia bertanding tenis, dia bertanding dengan membaca panji-panji Union Jack, bendera kebangsaan Inggris.

Sementara lawannya, Leylah – Annie Fernandez, perempuan bertinggi 168 cm yang entah kenapa tiap mendengar nama dan melihat wajahnya saya selalu merasa kalau gadis ini adalah orang Tingkem, Bener Meriah, bukan orang Canada. Dia lahir dua bulan sebelum Emma, tepatnya pada 6 September 2002 di Montreal, ibukota Quebec, negara bagian Canada yang berbahasa Prancis tapi sekarang tinggal di Miami, ibukota negara bagian Florida, Amerika Serikat.

Sebagaimana Emma, kedua orangtua Leylah sama sekali tak memiliki akar Canada.

Ayahnya adalah seorang pemain sepakbola profesional yang berasal dari Equador. Sang ayah, kalau kita nilai berdasarkan karakter wajahnya, sangat besar kemungkinan memilik darah Indian Amerika, yang secara ras termasuk satu kategori dengan kita di Asia Tenggara.

Sementara ibunya, berasal dari Philipina, negara tetangga terdekat kita sesama negara ASEAN, yang aslinya adalah bangsa Melayu sebelum ditaklukkan Spanyol. Bahkan bahasa-bahasa daerahnya, sangat mirip dengan bahasa Gayo. Jadi tidak heran lah, kalau Leylah suatu saat datang ke Takengen, tak akan ada yang meragukan kalau dia mengatakan bahwa leluhurnya itu, orang Kute Rayang misalnya.

Dengan latar belakang seperti itu, tidaklah berlebihan kalau dua gadis cantik finalis Women US Open ini sebagai dua orang Global Citizen, alias warga dunia yang membuat batas negara bahkan ras hanya tinggal istilah yang nyaris tak lagi memiliki korelasi bagi penanda identitas mereka.

Simbol penanda zaman baru ini semakin lengkap karena pertandingan ini sendiri berlangsung di New York City, kota yang dikenal dengan nama “the melting pot of the world” kuali pencampur yang mengaduk mengumpulkan manusia dari pelbagai ras dan budaya yang berasal dari seluruh dunia.

Dua sosok remaja hebat ini mengingatkan saya pada apa yang sering diteriakkan oleh François Guillemot, vokalis Berurier Noir, sebuah grup Punk Rock asal Prancis yang sangat membenci sikap rasis, di setiap konsernya saat mereka menyanyikan lagu “Porcherie”

“On est tous imigres…Premier, deuxieme, troisieme generation… “
“Kita ini semua imigran…generasi pertama, kedua, ketiga…”

Dan dunia pun menyambut dengan antusias dan penuh harapan, bahwa dua global citizen ini mendominasi dunia tenis putri, sehingga sampai bertahun-tahun ke depan kita pun akan terbiasa melihat dua wajah cantik berdarah Asia ini menghiasi layar televisi, layar komputer dan layar HP kita.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.