Catatan : Mahbub Fauzie
Masih tentang menulis. Tulislah sesuatu walau hanya beberapa paragraf, tapi sesuatu yang penting bermanfaat. Kalimat ini bisa menjadi motivasi untuk suka menulis. Terlebih di era digital yang serba mudah jika kita mau berekspresi di media sosial. Suasana yang serba mudah terkait dengan dunia kepenulisan manfaatkanlah untuk kebaikan-kebaikan.
Zaman dahulu para ulama menulisnya hanya menggunakan sarana dan prasarana (saspras)yang sangat amat sederhana. Tinta celup dan pena serta media tulis yang jauh dari sentuhan moderen seperti saat ini. Terlebih, sekali lagi, di era digital, seperti hanya dengan layar sentuh kita bisa melakukan apa saja, termasuk dalam menulis.
Syukur nikmat atas semua itu tentunya juga bisa menjadi energi positif untuk menulis. Para cerdik pandai, baik dosen, guru, da’i dan mubaligh, penghulu atau penyuluh agama para pejuang dakwah (rijjaluddakwah) dari latar belakang profesi apapun, layak untuk ambil bagian dalam dakwah bil kitabah. Dakwah lewat tulisan!
Dalam suatu kesempatan saya berbincang-bincang dengan Tgk Drs Amri Jalaluddin, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Tengah saat saya minta “Kata Sambutan” atas buku saya yang kedua, ada beberapa hal penting yang menarik didiskusikan dalam catatan ini terkait ulama jaman sekarang dengan budaya menulis.
Banyak kita dengar, kita saksikan dan kita lihat para da’i dan penceramah dari kalangan ulama sekarang sekitar kita yang sangat bagus retorikanya, mampu bicara berjam-jam menyampaikan taushiyahnya, baik yang diselingi dengan lelucon atau yang serius. Fenomena tersebut patut kita syukuri karena juga bagian dari dakwah ilallah.
Ceramahnya sangat bagus, bernas dan bisa memberikan konstribusi kemaslahatan ummat dalam mengisi dahaga ruhiyah masyarakat. Taushiyahnya mengingatkan betapa pentingnya bekal dunia akhirat bagi insan beriman. Semua itu patut kita syukuri dan pertahankan. Hadirnya pelita umat di tengah-tengah masyarakat memang sangat dibutuhkan.
Namun ada sisi lain yang juga perlu diperhatikan terkait era kini yang semuanya serba teknologi. Terkait kemajuan sarana komunikasi dan informasi, tentu sangat membutuhkan perhatian para ulama, terutama ulama-ulama muda dari kalangan intelektual cendikia.
Responsif terhadap era digital, derasnya revolusi industri informasi 4.0, menuntut para ulama muda dari kalangan intelektual cendikia untuk ambil bagian. Dakwah digital, khususnya di skala lokal kita (Gayo, Aceh) ini.
Memang, sudahlah ada yang ambil bagian dalam hal ini. Itu tidak kita pungkiri. Chanel Youtube, laman facebook, media online dan lain-lain sudah banyak yang menggarap dari kalangan pejuang dakwah. Namun, perlu lebih ada penguatan dan penyebarannya secara lebih massif.
Belajar Niat Ikhlas Menulis dari Ulama Dahulu
Belajar dari ulama-ulama dahulu, baik yang terdahulu maupun belakangan. Kita banyak mengenal ulama-ulama menulis risalah dan kitab. Mereka telah berabad-abad meninggal dunia tetapi nama-namanya masih kita kenal dan ajarannya masih dipakai sampai sekarang karena tulisan yang mereka buat.
Sebutlah nama-nama seperti Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam al-Ghazali, Imam Bukhari, Ibnul Qoyyim al-Jauzi, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Imam Nawawi dan lain-lain. Di nusantara termasuk Aceh, ada Nuruddin Ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan masih banyak lagi. Agak ke belakangan, ada KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, lalu ada Muhammad Natsir, Buya Hamka, dan lainnya.
Mereka semua adalah ulama-ulama yang mewariskan ilmu dan pengalamannya baik dalam pergerakan organisasi maupun dinamika intelektualnya kepada umat melalui tulisan. Dan dengan tulisannya, sampai sekarang nama dan ide gagasannya masih menjadi rujukan. Karena ada tulisan yang mereka tinggalkan.
Mengapa mereka melakukan itu? Secara akal sehat dan keyakinan kita dengan penuh prasangka baik (husnudhan), mereka melakukan itu, yakni menulis risalah dan kitab-kitabnya karena ada kesadaran yang ikhlas untuk melakukannya, yaitu Niat. Niat ikhlas adalah fondasi amal mereka untuk menulis!
Ada kesadaran dengan niat ikhlas dan didukung kemauan kuat untuk menulis. Karena itu, tidaklah heran, jika kita berkenan meneliti secara sederhana; setiap ulama memulai tulisan dalam kitabnya selalu mendahulukan hadis mengenai niat.
Pada tiap permulaan dari kitab, terutama kitab hadits yang mereka tulis, hadits tentang niat ini menjadi awal dari kitab hadis. Apa haditsnya? Yaitu hadits yang terkait dengan peristiwa hijrah nabi Muhammad Saw dari Mekah ke Madinah.
Hadits tentang niat tersebut, terjemahannya sebagai berikut: Dari Umar, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.” (HR. Bukhari)
Demikianlah hadits tentang niat yang selalu menjadi awal pembahasan dalam penulisan kitab para ulama dahulu. Niat hijrah karena Allah. Niat melakukan kebaikan dan perbaikan karena Allah. Para ulama mendahulukan hadis ini mengingat arti penting dari niat bagi suatu amal. Termasuk amal menulis!
Dapat kita pahami, bahwa hal itulah yang hendak dipesankan kepada para pembaca tentang pentingnya niat, terutama dalam meluruskan niat bagi para masyarakat pencinta ilmu. Masyarakat pembelajar dalam istilahnya, atau dalam istilah dayah dikenal dengan ta’lim muta’alim. Baik guru maupun murid dan para pelajar harus memperbaiki niatnya dari awal.
Bisa juga dipahami, bahwa tujuannya adalah meluruskan niat bagi semua pencari ilmu dan pembaca kitab agar mencari ridha Allah. Niat mencari ridha Allah. Dengan menempatkan hadits tentang niat pada bagian awalnya, para ulama ini berharap agar para pencari ilmu itu bisa mencari ridha Allah. Sebuah kebiasaan unik dari para ulama dalam menulis kitab-kitabnya.
Kebiasaan para ulama itu tentu harus diwarisi oleh generasi selanjutnya, termasuk di era sekarang ini. Niatkan ketika menulis itu bukan karena suatu kepentingan tertentu, seperti misalnya hanya untuk kepentingan mengurus pangkat dan golongan dalam karir kepegawaian yang menduduki jabatan profesi.
Menulis karena diniatkan untuk ibadah. Untuk berbagi kebaikan bukan karena sesuatu kepentingan karir yang hanya seketika. Atau menulis karena ada proyek pembuatan buku yang ada anggarannya dari pemerintah. Kalau tidak ada anggarannya tidak mau menulis!
Hal inilah yang perlu diperhatikan, ketika kita mau menulis. Niat ikhlas sekaligus membiasakan kebaikan. Berlaku adil sejak dalam pikiran ketika mau menulis. Berlaku bijak dalam hati sanubari ketika kita mau menulis. Seiring dengan membiasakan dan mengarahkan hobi kita ke arah yang bermanfaat.
Menulislah, bukan karena semata-mata angka kredit. Jikapun kita mendapat hak untuk bisa memperoleh angka kredit dalam menulis, atau honor tulisan ketika dimuat di media cetak. Itu adalah hak yang memang layak diterima karena pekerjaan kita. Tapi itu jangan dijadikan niat. Menyesal kalau tidak didapat.
Jadikan keikhlasan karena Allah Swt sebagai awal dari kemauan kita menulis. Jika ini dikokohkan, maka bayangan-bayangan kesulitan untuk menulis bisa kita dobrak. Bisa kita memulai untuk menulis. Mari belajar kepada anak kecil, dia dengan pena atau pulpen dan spidol tanpa beban mencoret-coret kertas, dinding atau lantai. Karena kepolosannya bukan karena agar dikasih jajan!
Kita yang sudah melewati masa baligh, nalar dan instink yang dikendalikan oleh akal sehat plus spirit ruhiyah tentang niat ikhlas, maka menulis insya Allah bisa segera dilakukan. Dimulai… Menulis adalah pekerjaan untuk keabadian, dakwah bil kitabah yang menembus ruang dan waktu. Wallahu a’alam bish-shawab.
*Alfakir yang masih senang belajar menulis.