Catatan : Ahmad Dardiri*
Pertama bertemu dengan beliau sekitar tahun 1992 saat menjumpainya untuk mengisi ceramah pengajian di Masjid Al Huda Jagong Jeget. Kebetulan saya sebagai salah satu panitia pengajian bersama Bapak Jukirin, S. PdI (Sekarang Kepala MIS Miftahul Falah Atu Lintang) berdua mengantarkan surat undangan dengan sepeda motor CB milik Bapak Taufiqurochman (Guru Agama MIS Jagong saat itu, sekarang alm).
Pak Badruddin dikenal dengan panggilan Pak Da’i, nama ini melekat pada sosok tegap bersahaja itu karena beliau merupakan salah satu peserta transmigrasi yang juga mendapatkan amanah dari MUI Pusat/Yayasan Dharmais Jakarta sebagai Da’i Transmigrasi di UPT III Atu Lintang.
Orangnya kalem, bicaranya tenang, dan teratur. Jika berceramah retorikanya bagus, intonasi selalu disesuaikan dengan pesan dari isi ayat, hadis, serta keterangannya. Masa itu Pak Da’i merupakan penceramah populer di wilayah Jagong Jeget dan Atu Lintang.
Di sela-sela pembicaraan usai menyampaikan surat undangan sambil melihat-lihat lahan pertanian yang baru beberapa bulan digarapnya, saya merasa kagum di tengah kesibukan sebagai dai, lahan yang dimiliki sebagai peserta transmigran juga terlihat sudah siap tergarap siap untuk ditanami aneka tanaman. Sedikit memuji saya mengatakan kehebatannya, lahan perumahan sudah siap diolah padahal baru beberapa bulan di sini.
Dengan tersenyum Pak Da’i membalas pujian saya, ia mengatakan bahwa untuk mengolah lahan pertanian itu tidak lama masanya, dan akan siap lalu panen, yang berat dan punya masa panjang itu menggarap dakwah kepada masyarakat, tidak tahu kapan siapnya dan bagaimana hasilnya.
Pertemuan selanjutnya sering terjadi baik disengaja maupun tidak, seperti di acara undangan pernikahan atau lainnya, kadang-kadang di masjid depan rumahnya pas waktu shalat saat saya pulang dari Takengon, atau saat Pak Da’i diundang sebagai penceramah di sekitar Jagong Jeget.
Suatu ketika usai memberikan ceramah yang saat itu saya hadiri, ia mengatakan bahwa ia dalam mengamalkan agama tidak serta merta bahwa semua yang dahulu diamalkan akan selalu ia amalkan, ia akan tetap mengamalkannya jika memang itu berdasarkan dalil yang jelas kebenarannya.
Sebagai da’i Tgk. Badrudin juga pernah mendapat juara I Tingkat Nasional dalam menulis pengalaman sebagai dai di UPT Transmigrasi di Indonesia yang diselenggarakan MUI Pusat sekitar tahun 1996. Tgk Badruddin juga pernah menjadi salah satu anggota komisi dalsm jajaran Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Tengah, masa kepemimpinan Tgk H M Ali Djadun dan dilanjutkan masa Tgk H M Isa Umar, S Ag.
Pagi, Selasa 17 Agustus 2021 tepat di hari ulang tahun HUT) ke 76 Kemerdekaan RI, saat membuka facebook dan WA, saya membaca kabar tentang beliau yang telah ditetapkan takdirnya dengan kematian, tidak terkejut saya membacanya karena memang beliau saya ketahui sudah menderita sakit. Apalagi saat pandemi Covid 19 yang sepertinya belum ada tanda -tanda akan mereda, hampir setiap hari berita kematian nyata terbaca dan terdengar di media hampir setiap hari.
Banyak yang merasa kehilangan beliau, baik kami, kita maupun para santrinya, mantan anak didiknya di SDN Atu Lintang dimana beliau sebagai guru Baca Tulis Al Quran (BTQ) dan pemuda pemudi yang pernah dilatih sebagai peserta MTQ, mereka mengucapkan terima kasih atas ilmunya dan mengharapkan pahala bagi beliau.
Allah menjadikan mati dan hidup sebagai ujian, sebagai mana difirmankan dalam Alquran: “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al Mulk 1-2)
“Dia menciptakan kematian dan kehidupan…”, di sini kematian disebut lebih dahulu karena hanya kematian yang bisa membuat manusia takut dan mempersiapkan akhirat. Adapun perasaan bahwa kehidupan masih panjang dan lapang, seringkali membuatnya manusia lalai dan merasa akan hidup selama-lamanya. Dan itu hanya angan-angan yang dinyanyikan oleh syaitan.
Semoga Allah Swt menjadikan kita semua bisa mengambil nasehat dari peristiwa kematian. Kematian adalah ujian. Dan mudah-mudahan sisa-sisa hidup, kita bisa lebih memperbaiki amal-amal kita, hingga husnul khatimah di akhir kehidupan kita. Amin.
*Kepala MAS Al-Huda Jagong Jeget, Aceh Tengah