Oleh: Mahbub Fauzie*
Miris, trenyuh, sedih dan perasaan prihatin yang amat sangat saat membaca headline depan berita Harian Serambi Indonesia edisi Kamis (12/8/2021) berjudul “Bentrok Berdarah Sesama Saudara di Hutan Singkil”.
Terasa berdekup kencang jantung dalam dada ini. Mata ini membelalak melotot dan seketika kepala tergeleng secara spontan dan refleks. Tarikan nafas dalam-dalam mendesah, tidak habis pikir yang membuncah.
Betapa ngerinya membayangkan ‘perang saudara’ yang terjadi sebagaimana cerita dalam berita tersebut. Layaknya perang tanding zaman dahulu kala atau di era purba. Dengan senjata terhunus antar saudara itu bentrok empat lawan tiga. Akibatnya, tiga terluka dan satu orang meninggal dunia.
Duh, tidaklah bisa dibayang betapa rasa emosi amarah mereka saat turun gelanggang saling serang yang kita tidak tahu apa sebenarnya yang menjadi sumber utama masalahnya. Yang menurut dugaan sementara motif saling rebut lapak kayu lahan pencaharian mereka.
Betapa masygulnya bilamana mengira dan menduga-duga lebih jauh peristiwa berdarah itu. Apapun kejadiannya, kita menyesalkan hal seperti itu terjadi di tengah-tengah kondisi kita, kondisi masyarakat kita yang selama ini sudah tidak menentu akibat suasana pandemi covid 19 yang belum juga berlalu.
Tapi sudahlah, sembari kita menunggu pengusutan pihak berwajib serta penyelesaian bijak dan adil atas kasus mengerikan itu oleh pihak terkat. Kita ambil pelajaran dan ibrah dengan menyesalinya melalui harapan agar kejadian serupa tidak lagi terjadi pada kita, keluarga kita dan di sekitar kita!
Ada baiknya, sedikit kita merenung memikirkan tentang kita, keluarga kita dan lingkungan masyarakat kita terkait dengan bagaimana upaya membangun kembali kekuatan tali ukhuwah (persaudaraan) dalam masing-masing ikatan keluarga kita.
Meminjam istilah Bapak Dr. Sri Suyanta Harsa dalam beberapa muhasabah harian di status akun facebook miliknya, rujukan teologis normatif bagaimana upaya membangun kesadaran tentang pentingnya penguatan ukhuwah (persaudaraan) dan tali kekerabatan serta menguatkan ikatan tali silaturrahmi dalam keluarga adalah dalam Surah An-Nisa [4] ayat 1.
Allah swt berfirman yang artinya sebagai berikut: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu; yang telah menciptakan darinya istrinya; dan telah menyebarkan dari keduanya (keturunan) laki-laki dan perempuan yang banyak. Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah dan takutlah kalian memutus silaturrahim. Sungguh Allah adalah Zat yang maha mengawasi kalian.” (QS. An-Nisa [4] : 1)
Dari pesan teologis normatif ayat tersebut, seperti penjelasan para mufassir yang dirangkum dalam rubrik Ubudiyah Media Online Islam.nu.or.id tentang tafsir Surah Anisa ayat 1, bahwa sangatlah jelas dan lugas tentang tujuan Tuhan menciptakan manusia seiring pesan takwa adalah agar seluruh manusia menyadari eksistensinya sebagai satu keturunan dari seorang ayah dan ibu, yaitu Nabi Adam as. dan Hawa.
Selanjutnya diingatkan bahwa hak sebagian mereka atas sebagian lainnya adalah wajib dijaga sebagaimana seorang saudara wajib menjaga hak saudara lainnya, sebab semua manusia terkumpul dalam nasab seayah dan seibu.
Kemudian, diingatkan pula bahwa kewajiban saling menjaga antara satu dengan lainnya meskipun pertemuan nasab kepada Nabi Adam as. sangat jauh, namun hukumnya sebagaimana dengan kewajiban saling menjaga antara kerabat yang dekat nasabnya.
Lantas, dengan menghubungkan antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain agar saling berbuat adil dan tidak saling berbuat zalim, serta agar orang yang kuat membantu orang yang lemah dengan cara-cara yang baik sesuai yang diwajibkan oleh Allah kepadanya.
Karenanya, ketakwaan yang wajib kita jaga adalah: pertama, ketakwaan terhadap Tuhan karena Dia yang telah menciptakan kita; dan kedua ketakwaan yang berkaitan dengan menjaga hak antara orang yang satu dengan lainnya, karena semuanya berasal dari asal yang satu yaitu Nabi Adam as. (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyah as-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, [Beirut: Dar al-Fikr, 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz I, halaman 266).
Jelas dan lugas bahwa dalam ayat tersebut juga ditegaskan agar ketakwaan kepada Allah swt yang AsmaNya selalu menjadi sandaran sumpah harus lebih diejawantahkan oleh anak cucu adam, serta ketakwaan yang diaktualisakan dengan selalu menjaga hubungan silaturrahim (kekerabatan).
Dengan satu ayat, yang tentunya masih banyak lagi ayat yang lain serta diperkuat hadits yang menjadi hujjah tentang pentingnya menguatkan tali persaudaraan dan silaturrahmi agar jangan pernah terjadi peristiwa-peristiwa keributan sesama anak manusia. Terlebih antar keluarga dan kerabat, seperti yang terjadi di Singkil. Sungguh memilukan!
Maka, dari itu marilah di setiap lingkungan keluarga, hadirkan suasana yang erat dan kuat tali persaudaraannya. Wujudkan suasana saling menyenangkan dengan cara masing-masing anggota keluarga baik itu antar suami dan isteri, antara besan, antara anak dengan orangtua serta menantu dan mertua. Kompak dalam satu kesepahaman mewujudkan keluarga yang Sakinah mawaddah wa rahmah dalam keluarga besarnya.
Jikapun ada masalah, tegakkan musyawarah sebagai “win-win solution”. Mupakat mencari titik temu penuh kasih dan sayang, penuh rasa kemanusiaan dan humanis dengan kesadaran bersama bahwa masing-masing kita adalah hamba Allah swt. Yang dengan Rahman dan Rahimnya semuanya berharap dan bertawakal.
Doa-doa indah dalam Surah Al-Furqan ayat 74 yang tentang harapan kehadiran pasangan dan keturunan yang menyenangkan serta menjadi para pemimpinnya orang-orang yang bertakwa bisa diwujudkan dengan sungguh dalam realita kehidupan sehari-hari anggota setiap keluarga. Bangun relasi yang penuh rasa manusiawi sesuai fitrahnya sebagai hamba Illahi.
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan [25] : 74). Wallahu a’lam bish shawab.
*Penghulu Madya / Kepala KUA Kec. Pegasing Kab. Aceh Tengah