Lebih Baik Putih Tulang di Hutan Belantara Daripada Kelak Harus Putih Mata di Kampung

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Sebenarnya keterlibatan saya dalam GAM bukanlah mewakili diri sendiri, tetapi mewakili masyarakat, terutama orang Gayo. Dalam padangan saya, bagaimana kita bisa hidup bahagia kalau sebagian besar dari kita masih menerapkan hukum yang bukan berasal dari adat istiadatnya sendiri.

Di depan mata kita kekayaan alam pinus yang kita jaga beratus tahun ditebang dan diangkut untuk kepentingan Industri yang sama sekali tidak menyentuh kehidupan lebih baik bagi masyarakat lokal. Tidak ada kata terima kasih, permisi atau maaf, walau para pengekploitasi itu lewat menyentuh hidung kita.

Memang tidak mudah melepaskan diri dari cengkraman Jakarta karena hukumnya sudah berurat berakar pada sebagian besar Kehidupan orang Gayo sendiri. Tingkat kesulitannya lebih dari sekedar mencari jarum di antara tumpukan jerami, tetapi sudah menjadi genetik yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Dari sekian ratus ribu orang Gayo, kami merasa kombatan GAM adalah segelintir orang yang istimewa dan sadar bahwa Jakarta telah merekrut orang-orang untuk dijadikan sebagai mesin yang bengis dan kejam, apa yang mereka sebut sebagai tentara.

Sebagai orang yang santun, tidak selayaknya senjata di tangan tentara dipergunakan untuk menekan siapa saja yang tidak se-suku, se-ideologi dan se-agama. Bedil-bedil itu seharusnya dikelola untuk menciptakan perdamaian di dunia. Sayangnya, kepentingan mengamankan bisnis para tuannya senjata akhirnya menyalak, pelurunya menembus tidak saja tubuh orang Aceh, tetapi juga menghujam jiwa dan perasaannya.

Perilaku para prajurit yang bekerja untuk tuannya di Jakarta, melihat mereka seolah tidak akan mengalami kematian. Kenyataannya mereka juga akan mati. Itu sudah merupakan hukum alam, siapa bernyawa akan merasakan kematian. Kita hanya perlu sedikit memberi dorongan kepada alam untuk mempercepat kematiannya.

Pilihannya adalah membangun pasukan gerilyawan yang pantang menyerah. Darah pengkhianat jangan diajak berperang karena mereka tidak memiliki keyakinan, saya sendiri dalam situasi apapun tidak akan menyerah kepada musuh dan dalam waktu senggang maupun sempit selalu berdo’a agar musuh jangan pernah sampai menangkap saya, seperti menangkap ayam.

Sebelum memilih bergerilya bersama kombatan GAM, i’tikat itu sudah saya tanamkan dalam jiwa yang menjadi pedoman bagi saya. Istilah lebih baik putih tulang di dalam rimba daripada kelak harus putih mata di kampung selalu mendorong hati dan fikiran saya yang mengingatkan jangan sampai menyerah kepada musuh.

Meskipun kerap kami mendengar, banyak kawan yang syahid dalam berbagai situasi yang menyesakkan dada. Namun demikian, kami tidak boleh larut dalam sedih. Keyakinan saya, syahid adalah jalan lain yang harus ditempuh untuk mendapatkan kebahagiaan pada kehidupan yang akan datang. Dengan begitu kami saling merelakan kematian, walau kadang kala manusia menangisi kepergian sahabat dalam situasi yang tidak normal.

Janji “hidup bahagia dan mati hidup” yang tertulis dalam Kitab Suci mendorong kami untuk lebih berani sebagai pertahanan yang berbaik. Meski sebagian mengatakan yang terbaik adalah menyerang. Kata kunci berani selalu kami ulang-ulang.

Berani pun akan mati, begitupun pengecut juga akan mengalami mati. Tentu saja lebih baik mati sebagai pemberani daripada sebagai pengecut yang akan dicap orang tujuh turunan sebagai keturunan lemah iman.

Pengecut adalah sebuah penyakit jahat yang harus diobati karena mereka akan mudah menjadi pengkhianat. Orang barbar yang dianggap biadab dan primitif karena setiap ekspedisi dan penaklukannya selalu melakukan pengrusakan dan pembunuhan. Begitupun jahatnya mereka, tetapi sangat benci kepada sikap khianat. Apalagi kita manusia normal, kalau ada yang memuji tindakan pengkhianatan, maka perlu dipertanyakan kewarasannya.

Pada tahun 1251 Masehi, Hulagu Khan (cucu Jenghis Khan) melakukan ekspedisi untuk menaklukkan Irak, Syria, dan Mesir. Pada bulan Maret 1257 Masehi, Hulagu Khan berhasil mencapai Hamadkan dan dengan mudah menaklukan seluruh kota yang mereka lewati selama perjalanan.

Sampailah mereka di pinggiran Kota Baghdad yang dipimpin oleh Khalifah Al-Mutashim sebagai pemimpin Dinasti Abbasiyah, tentara babar itu tidak serta merta bisa menguasai kota yang berperadaban tinggi pada masa itu. Hulagu Khan merasa perlu mempersiapkan pasukan lebih banyak untuk menyerbu Baghdad. Kali ini dengan mudah Kota Baghdad dengan mudah dilumpuhkan.

“Mengapa begitu mudah benteng kota Baghdad dilumpuhkan?” tanya Hulagu Khan agak bingung.

“Dari kalangan istana Khalifah Al-Mutashim ada pengkhianat membantu kita” jawab pengawalnya.

“Bagus sekali! Bawalah dia padaku. Aku akan memberinya hadiah,” kata Hulagu Khan.

Para pengawal menghadirkan pengkhianat yang senyum sumringah dihadapkan di hadapkan raja Hulagu Khan.

“Inilah hadiahmu dan saya benci pengkhianat,” Hulagu Khan marah sambil menusuk pengkhianat itu dengan tombak pengawalnya.

(Mendale, 4 Juni 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.