Oleh : Zarkasyi Yusuf*
“Wahai kaum kami! Kita sudah mendengarkan sebuah kitab yang diturunkan sesudah Musa, memperkuat apa yang datang sebelumnya, membimbing manusia kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, penuhilah seruan Allah dan berimanlah kepada-Nya. Dia (Allah) akan mengampuni dosa kalian dan menyelamatkan kalian dari azab yang keras.” (Surat al-Ahqaf, ayat 29 – 31).
Imam Bukhari dan al-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa asbab al-nuzul ayat di atas pada saat Rasulullah bersama para sahabat pergi ke pasar Ukaz, saat tiba di Tuhamah Beliau mendirikan shalat subuh, sekelompok Jin mendengarkan dan memperhatikan bacaan al-Qur’an Rasulullah dengan seksama, mereka berkata “perhatikanlah!”. Selesai mendengarkan bacaan Rasulullah, mereka kembali kepada kaum dan menceritakan kabar gembira kepada kaum, mereka pun menyatakan beriman.
Al-Qur’an diturunkan Allah dalam bulan suci Ramadhan sebagaimana dijelaskan dalam beberapa surat dalam al-Qur’an, diantaranya terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 185, ad-Dukhan ayat 3 dan al-Qadar ayat 1. Terkait waktu turunnya, Ulama berbeda pendapat.
Imam ath-Thabari mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan pada 17 Ramadhan, sebagaimana terdapat dalam kitab Jamiul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Ibnu Katsir berpendapat bahwa 24 Ramadhan adalah waktu turunnya al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim.
Waktu turunnya al-Qur’an adalah pada 18 Ramadhan, demikian pendapat Ibnu Atsir dalam kitabnya al-Kamil fi at-Tarikh.
Al-Qur’an diturunkan pada puncak kejayaan sastra Arab. Saat itu, kaum Quraisy bangga dengan bait-bait syair sampai mereka menggantungkannya di dinding Ka’bah.
Menariknya, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang hidup sebagai seorang ummi (tidak bisa baca tulis). Tatkala Rasulullah menyeru kaum Quraisy untuk beriman kepada Allah, serta memberi pemahaman kepada mereka bahwa al-Qur’an adalah firman Allah, mereka berkomentar bahwa al-Qur’an adalah ucapan seorang penyair.
Tuduhan ini dibantah oleh Allah dalam surat Yasin ayat 36 “Kami tidak mengajarkan syair kepada (Muhammad), dan bersyair itu tidak layak baginya. Al-Qur’an tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Mereka juga menuduh al-Qur’an sebagai mitos orang orang terdahulu, tuduhan ini pun dibantah oleh Allah dalam surat al-Haqqah ayat 43, “Ia (al-Qur’an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta Alam”.
Orang Arab paling fasih bahasa dan paling tinggi sastranya, tetapi mereka tidak pernah mampu menandingi keindahan dan ketinggian bahasa dan sastra al-Qur’an, argumentasi ini diperkuat oleh firman Allah dalam surat al-Israa ayat 88, “Katakanlah, “sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebahagian mereka menjadi pembantu bagi sebahagian yang lain”.
Tidak hanya sisi bahasa saja, mukjizat al-Qur’an juga termasuk kaidah kaidah tentang ibadah dan muamalah. Seandainya seluruh ulama dan pakar sejak diturunkan al-Qur’an sampai sekarang berkumpul, mereka tidak akan pernah sanggup membuat kaidah kaidah tersebut, sangat universal dan mencakup semua aspek.
Dalam kitab hikmatut tasyri wa falsafatuh yang ditulis oleh syaikh Ali Ahmad Al-Jurjawi (1905-1956), diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Nabhani Idris dengan judul Indahnya Syariat Islam, beliau menukilkan pendapat para ilmuwan dunia tentang kehebatan al-Qur’an.
Diantaranya adalah pendapat filusuf Perancis yang terkenal yaitu Mourice Buccelle (1920-1998), ia berkomentar bahwa “al-Qur’an adalah kitab paling utama yang telah diturunkan oleh kepedulian azali untuk ummat manusia”.
Orientalis Edwar Gibbon (1737-1794) berpendapat, “Al-Qur’an diterima dari wilayah Samudera Atlantik sampai sungai Lijan (Malaysia). Ia adalah undang undang dasar (dustur) yang bukan saja berisi pokok pokok agama semata, melainkan juga merupakan seperangkat hukum sipil bagi kehidupan manusia.
Syariat Muhammad meliputi ummat manusia seluruhnya, dari penguasa tertinggi sampai rakyat jelata, syariat yang paling adil dan paling sarat dengan ilmu yang tidak ada tandingannya di semesta ini”. Tentu masih banyak lagi argument dari para pakar dan ilmuwan dunia.
Reposisi al-Qur’an dalam Kehidupan
Bagi orang mukmin, tidak hanya cukup mengakui bahwa al-Qur’an adalah mukjizat, tetapi harus mampu menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dan pandangan hidup, serta mampu melanggengkan dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.
Puncak kejayaan kaum Muslim adalah saat mereka mampu memegang teguh al-Qur’an dan mempedomani setiap anjuran dan larangan serta hal-hal lain yang berkenaan dengan rambu-rambu kehidupan. Tentu menjadi keniscayaan dan kewajiban bagi kita untuk tetap menjaga dan mempertahankan nilai nilai Al-Qur’an masuk dalam setiap ucapan, tingkah dan perilaku dalam kehidupan sehari hari.
Perlu mendapat perhatian adalah bagaimana menjadikan membaca al-Qur’an sebagai tradisi. Setiap pekerjaan jika sudah menjadi tradisi, pasti tidak akan ada beban untuk melakukannya, termasuk membaca al-Qur’an. Banyak hadist terkait keutamaan membaca al-Qur’an, diantaranya diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Mas’ud yang menjelaskan bahwa salah satu obat penyembuh hati yang sakit adalah dengan membaca al-Qur’an, “hendaknya kamu menggunakan kedua obat-obatan; madu dan al-Qur’an”.
Membaca al-Qur’an tidak sama seperti membaca koran, ada adab dan ketentuan yang harus dijaga serta dibaca berdasarkan ketentuan dalam ilmu tajwid. Hukum mempelajari ilmu tajwid adalah fardhu kifayah, tetapi membaca al-Qur’an yang benar sesuai ketentuan tajwid adalah fardhu ‘ain.
Untuk itu, mari membudayakan belajar dan mengajarkan al-Qur’an, perbaiki bacaan al-Qur’an agar kualitas bacaan dalam shalat menjadi lebih sempurna. Dalam sabdanya Rasulullah mengingatkan bahwa sebaik baik manusia adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.
Rumah seorang muslim pasti di dalamnya terdengar bacaan al-Qur’an yang dibaca oleh penghuni rumah, sekurang kurangnya usai shalat Maghrib. Pastikan bahwa rumah kita dihiasi oleh bacaan al-Qur’an, bukan sinetron dan film korea yang berjilid dan ber-episode. Sudah saatnya mengganti kebiasaan kita yang telaten dan teratur membaca koran setiap pagi dengan menjadikan bacaan al-Qur’an sebagai sebuah tradisi, hati sehat pikiran tenang.
Mentradisikan membaca al-Qur’an harus menjadi memori kolektif yang harus diingat dan diterapkan oleh setiap orang. Tidak hanya di rumah, kantor dan tempat tempat lainnya. Mendukung tradisi membaca al-Qur’an perlu penguatan regulasi dan aturan resmi, apalagi aturan ini diberlakukan di nanggroe yang telah memproklamirkan pemberlakukan syariat Islam dengan al-Qur’an sebagai sumber utamanya.
Dalam dunia pendidikan, kemampuan baca tulis al-Qur’an sejatinya menjadi salah satu syarat kelulusan. Peserta didik diwajibkan untuk terampil baca tulis al-Qur’an sesuai dengan standar ilmu baca tulis al-Qur’an. Begitu pula kiranya dalam kontestasi pemilihan geuchik gampong, kepala daerah dan calon anggota legeslatif, ketentuan baca tulis al-Qur’an hendaknya harus diutamakan.
Standar bacaannya tidak lagi pada level ‘iqra empat, tetapi sekurang-kurangnya bacaan yang mengindikasikan yang bersangkutan layak untuk diangkat menjadi imam shalat. Saya yakin, pasti ada geuchik, kepala daerah dan anggota dewan enggan menjadi imam shalat, penyebab utamanya adalah karena mereka menyadari bahwa bacaan al-Qur’an belum memenuhi ketentuan-ketentuan yang benar.
Al-Qur’an tidak hanya hiasan dan pajangan, lebih dari itu hendaknya al-Qur’an mampu mewarnai kehidupan, mulai dari bangun pagi sampai tidur kembali, mulai dari persoalan kecil hingga persoalan persoalan besar. Mari
bertanya dan temukan sendiri jawabannya. Sudah benarkan cara kita membaca al-Qur’an sesuai kaidah kaidah ilmu tajwid? Apakah al-Qur’an adalah bacaan kita setiap hari? Sudah benarkah kita memposisikan al-Qur’an sebagai way of live dalam hidup kita. Sudah sesuaikah pikir, tutur, sikap dan tindakan kita dengan al-Qur’an sebagai pedoman? Jika jawaban dari beberapa pertanyaan tersebut adalah “belum”, belum terlambat untuk segera memperbaikinya. Allahumma irhamna bil al-Qur’an.
*Alumnus Dayah Tgk. Chik di Reung-Reung Kembang Tanjong, Pidie. ASN Pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh