Taqwa dalam Ibadah : Tak Mengenal Cukup dan Pensiun

oleh

Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*

Kalau baca dan pahami ayat tentang puasa pada surat Al-Baqarah ayat 183 :

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, mudah-mudah2an kamu bertaqwa.

Ayat ini berisikan pesan bahwa yang dilakukan kaum Mukmin adalah puasa, puasa ini merupakan perbuatan rutin yang dilakukan oleh semua orang beragama baik itu Islam, Yahudi, Nasrani dan juga agama-agama lain dengan cara yang berbeda.

Islam menjadikan perbuatan puasa bukan sebagai tujuan dan tempat behenti untuk beramal tetapi sebagai perbuatan yang dijadikan sarana, dan dengan sarana (perbuatan puasa) ini diharapkan akan mendapatkan kedudukan atau derajat yang paling tinggi yaitu taqwa.

Derajat taqwa yang akan didapat merupakan harapan, bukan hanya harapan manusia tetapi juga harapan Allah untu didapatkan oleh orang yang beriman.

Kalau kita baca lebih mendalam tentang makna kata taqwa, bahwa taqwa itu sendiri dimaknai dengan kepatuhan terhadap perintah Allah dengan mengerjakan apa saja yang disuruh dan kapatuhan terhadap larangan Allah dengan meninggalkan apa saja yang dilarang.

Jadi ketika seseorang mendapat derajat taqwa bukan merasa diri cukup dengan apa yang didapat dan membuat seseorang berhenti dalam derajat taqwa tersebut tetapi sebaliknya dengan mendapat derajat taqwa akan membuat seseorang terus beramal dan berusaha meningkatkan kualitas (amal shalih) dan kuantitas amalan (fastabiqul khairat) dengan kepatuhannya.

Allah menyebutkan tujuan-Nya menciptakan manusia adalah untuk mengabdi “wa khalaqtul Jinna wal insa illa liya’budun” ayat 56 dari surat al zariat.

Ayat ini juga bila dipahami memberi petunjuk kepada kita, kalau kita diciptakan Allah bukan untuk beristirahat tetapi untuk terus beribadah dengan tanpa henti, baik itu ibadah yang mahdah (mendirikan shalat, mengerjakan puasa, menunaikan zakat, dan menjalankan haji) maupun ibadah yang ghairu mahdah (semua amal baik yang dilakukan), bahkan sampai kepada membuang duri dari jalan dan juga senyum dinyatakan sebagai ibadah.

Dari konsep ini juga kita ketahui bahwa Islam tidak mengenal kata berhenti walaupun pada tingkat seorang Nabi, bahkan semakin sampai pada tingkat yang paling tinggi maka seseorang semakin rajin untuk beribadah.

Konsep yang diajarkan Allah sebagaimana telah dijelaskan sering dipahami terbalik oleh sebagian kaum muslim, orang seperti ini sering menganggap hidup mereka sudah cukup. Gelar Profesor atau Doktor dianggap sudah memadai untuk mendapatkan ilmu sehingga keseharian yang dilakukan hanya mengulang-ulang ilmu yang telah mereka dapat, seorang guru ketika mendapat pekerjaan sebagai guru telah memadai ilmunya dengan apa yang mereka dapat ketika kuliah.

Seorang petani merasa cukup dengan hasil yang didapat walau hanya sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seorang pedagang merasa cukup dengan untung yang didapat.

Bahkan ada yang berpikir telah merasa cukup dengan kebutuhan hidup secara materi (walau hanya mendapat gaji dari Pemerintah) lalu meninggalkan kegiatannya hanya dengan alasan pindah kepada ibadah lain, yang menurut mereka itulah ibadah (shalat wajib, shalat sunat, puasa wajib dan puasa sunat) yang sebenarnya bukan yang lainnya juga, seperti pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain-lainnya.

Pola pikir lain lagi dalam budaya kita ada pengelompokan masa kepada masa produktif dan masa tidak produktif atau masa aktif dan masa pensiun. Kita tidak menemukan kata-kata ini dalam Islam dalam kaitannya dengan pemahaman kata taqwa dan kata ibadah di atas sebagai peringkat dan tujuan dalam hidup.

Bahkan dalam Islam kita disuruh terus berbuat sebatas yang mampu kita kerjakan, sampai batas isyarat dalam melakukannya. Mungkin artinya sampai batasan ide dan gagasan untuk selanjutnya dijalankan oleh yang lain. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.