Peta Jalan (Sesat) Pendidikan 2020-2035

oleh

Oleh Johansyah*

Saat ini Kemdikbud sedang merancang sebuat Peta Jalan Pendidikan 2020-2035. Harapannya ada arah yang jelas bagi pendidikan Indonesia untuk jangka waktu dua puluh lima tahun yang akan datang.

sebagaimana diketahui bahwa bunyi visi pendidikan yang sudah dirancang sebagai berikut; “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila”.

Visi ini masih terbuka untuk didiskusikan, dan hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Nadiem beberapa waktu lalu. Untuk itu, semua pihak memiliki hak untuk menyampaikan pandangan. Sama maupun berbeda bukan soal, yang penting tidak dilatarbelakangi oleh kebencian, tapi semata untuk kebaikan bersama.

Kata ‘peta’ yang digunakan oleh Kemdikbud cukup menarik perhatian. Peta itu adalah sebuah gambaran yang jelas tentang posisi, arah, luas cakupan, dan kondisi sebuah wilayah. Peta bisa dikata semacam kompas yang memperjelas deskripsi dan arah yang akan dituju, dalam hal ini pendidikan.

Tapi Peta Jalan Pendidikan yang sejatinya jelas dengan fokus arah yang dituju, kemudian sedikit diragukan karena frasa agama tidak ikut serta di dalamnya meskipun ada kata akhlakul karimah yang ikut nimbrung ke dalamnya, tapi tetap dianggap sangat rapuh. Hingga bisa jadi nanti, Peta Jalan Pendidikan bukan menjadi penunjuk arah memperjelas pendidikan Indonesia, melainkan menyesatkan.

Secara konstitusional, dalam penjabaran setiap aturan yang dirancang, nuansa agama mutlak harus dijadikan landasan utama karena Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila menempatkan agama pada posisi yang tertinggi hingga secara otomatis semua turunan aturan yang dibuat harus menjadikan agama sebagai landasan utama, meskipun Indonesia bukanlah negara agama, tapi negara beragama.

Adapun dari perspektif agama sendiri dalam agama apa pun itu, agama diyakini sebagai sumber nilai yang memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan sikap dan perilaku pemeluknya. Selain itu, acap kali agama dijadikan sebagai sandaran dan titik balik bagi orang-orang yang mengalami kebuntuan dalam dunia sains dan filsafat.

Pada akhirnya banyak persoalan hidup yang ternyata tidak ditemukan jawabannya dalam dua pendekatan filsafat ilmu ini, terutama ketika manusia dihadapkan pada aspek-aspek transendental. Dalam hal ini, satu-satunya sumber yang dapat memberikan rasa puas meskipun tidak disaksikan secara kasat mata, adalah agama.

Apalagi berbicara masa depan pendidikan, bagaimana masa depan pendidikan Indonesia tanpa sentuhan nilai agama? Rasanya sulit menyatakan dan meyakini bahwa Peta Jalan Pendidikan itu akan menjadi peta penunjuk arah, melainkan sebaliknya, semakin membuat arah pendidikan Indonesia kabur. Sejatinya memang agama itu sebagai penunjuk arah, dan untuk itu peta pendidikan tidak mungkin meninggalkan agama.

Apakah agama akan merana ketika tidak diikutsertakan menjadi sumber inspirasi dalam membangun pendidikan ke depan? Justru manusia Indonesia yang berpotensi besar dalam kondisi nestapa yang mendalam pada beberapa tahun yang akan datang karena sudah menyingkirkan apa yang seharusnya mereka rawat dan senantiasa ikut bersama mereka.

Boleh jadi ada kelompok tertentu yang memiliki tesis bahwa agama itu penghambat perubahan. Tapi adakah bukti yang kuat jika merujuk pada sejarah, bahwa negara yang berusaha menyingkirkan agama dari kehidupan bernegara itu sukses? Turki era Kemal Atathur minsalnya, kenyataannya Dia dinilai oleh banyak pihak melakukan kesalahan besar karena berusaha mengucilkan agama. Agama dianggap sebagai candu dan penghambat perubahan.

Jika masih berpegang pada tesis di atas, kiranya kita perlu meninjau ulang sejarah supaya jangan sampai seperti keledai yang jatuh ke lobang yang sama. Sudah nyata-nyata bahwa tesis ini keliru, tapi kenapa masih dipedomani. Sudah banyak fakta dan realitas yang menjadi antitesa dari tesis ini, lalu kenapa masih dipertahankan?

Seperti Perselingkuhan

Sejenak uraian ini dialihkan ke soal perselingkuhan, tapi nanti akan kembali juga pada persoalan Peta Jalan Pendidikan di atas. Peta Jalan Pendidikan tanpa frasa agama ini dapat dianalogikan seperti kasus perselingkuhan. Seorang suami berselingkuh. Dia mencari wanita lain yang dianggapnya lebih wow dan wah.

Apakah karena istri pertamanya tidak cantik? Justru istri pertamanya sangat cantik, baik, perhatian, dan bisa dikatakan sempurna menjadi seorang pendamping hidup. Tapi dasar suami yang memang nakal, suka jajan di luar meski pun di rumahnya sebenarnya jajannya sudah siap sedia.

Untuk sementara waktu dia menikmati perselingkuhan. Bahkan akhirnya terang-terangan dia menyatakan kepada istri pertama bahwa dia nikah lagi. Instri pertamanya tidak berdaya, dan menerima kenyataan ini. Suaminya sedang dalam kondisi mabuk instri muda. Hari-harinya bersama pujaan hati yang menurutnya saat itu jauh lebih segalanya dari istri pertama.

Namun apa yang terjadi, si suami jatuh sakit. Dia terkena struk. Istri muda hanya mau dengannya kalau dia sehat dan mampu memberikan uang. Kini dia tidak dapat berusaha hingga istrinya pun memutuskan untuk pisah dengannya.

Suami tidak punya pilihan lain, terpaksa kembali ke istri pertama. Meski berat, tapi itulah yang harus dilakukan. Istri pertama sangat sulit menerima si suami untuk kembali, tapi dia kemudian ingat masa lalu dan anak-anak hingga ia melapangkan hati untuk menerima kembali suami yang telah melukai hatinya.

Apa yang ingin ditegaskan dari kisah perselingkuhan di atas? Seandainya Peta Jalan Pendidikan tanpa frasa agama, itu bisa jadi seperti kisah perselingkuhan. Mungkin orang akan menganggap sukses jalannya pendidikan tanpa nuansa agama, tapi dalam benak ini ada keyakinan bahwa pada waktunya kita akan merindukan sentuhan nilai agama.

Kapan itu? Ketika moralitas semakin terkikis dan menipis, saat ideologi tertentu dijadikan agama-lalu masayarakat yang berpegang teguh dengan agama semakin merasa tertekan dan terpenjara, dan pada saat masyarakat negara berada dalam titik nadir kehancuran.

Persis seperti sakaratul mautnya Fir’aun yang mengaku mengimani Tuhannya Musa dan Harun, tapi itu semua sudah terlambat.
Makanya, sebelum terlambat, kita berharap Menteri Nadiem untuk terus menerima masukan dari berbagai pihak terkait Peta Jalan Pendidikan agar tidak mewujud menjadi peta jalan sesat, melainkan peta jalan pendidikan yang dapat membuat pendidikan Indonesia melesat mencapai puncak kemajuan dan peradaban.

Terakhir, penulis juga cukup yakin Presiden Jokowi juga menginginkan yang terbaik untuk pendidikan dan pembangunan manusia Indonesia ke depan yang berlandaskan agama dan Pancasila. Wallahu a’lam bishawab!

*Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.