Oleh Johansyah*
Isra’ mi’raj adalah perjalanan menakjubkan yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini tidak dapat diterima oleh akal, melainkan hanya keimanan. Masyarakat jahiliyah dulu menyebut beliau mengarang cerita. Ada pula yang menyebutnya sudah tidak waras, dan sederet kalimat ejekan lainnya.
Intinya mereka menyatakan bahwa peristiwa perjalanan isra mi’raj yang diceritakan oleh nabi, tepatnya pada tanggal 27 rajab itu adalah kebohongan dan absurditas (kemustahilan), meski pun Abu Bakar berusaha mentashdiq (membenarkan dan meyakinkan) kaum jahiliyah atas apa yang diinformasikan tersebut.
Kaum jahiliyah menganggap mustahil karena mereka mengukurnya dengan hal-hal yang empiris, dan masuk akal atau tidak. Seorang manusia melakukan perjalanan jarak jauh dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dalam waktu sekejap adalah mustahil. Apalagi kemudian dari bumi naik ke langit, itu lebih mustahil lagi. Katanya sangat tidak masuk akal.
Belakangan, ketidakmungkinan itu semakin jelas terjawab, terutama setelah banyak muncul dan berkembangnya teknologi. Bagaimana bisa ada suara yang manusia yang dapat di siarkan melalui udara hingga tersiar ke mana-mana.
Bagaimana pula bisa seseorang bisa masuk televisi, baik siaran langsung atau tidak langsung? Bagaimana juga dengan video calling, zoom meeting, dan entah apa lagi?
Kalau yang ahli teknologi bisa saja mengklaim bahwa itu semua adalah hasil pengembangan teknologi, maka mustahilkah perjalanan isra’ mi’raj yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW dalam waktu yang super cepat?
Dulu mengadakan perjalanan antar pulau hanya bisa ditempuh melalui jalur transportasi laut. Orang yang mau pergi haji, butuh waktu berbulan-bulan untuk sampai ke sana, tapi sejak adanya jalur transportasi udara, jama’ah haji dari Indonesia hanya butuh waktu beberapa jam untuk sampai ke sana.
Dulu kalau mau ke Jakarta, mungkin orang bisa menempuh jalur darat dengan memakan waktu kurang lebih empat hari. Kini dengan menggunakan pesawat, hanya butuh waktu dua hingga tiga jam kalau kita berangkat dari Aceh.
Bisa dibayangkan, seandainya peristiwa-peristiwa di era teknologi ini diceritakan pada masyarakat jahiliyah dulu, kira-kira apa respon mereka? Tentu mereka akan menyatakan bahwa orang yang menceritakan itu mengarang dan mengada-ada. Kenapa demikian? Karena waktu itu manusia belum sampai pada tahap penemuan dan pengembangan teknologi yang sangat canggih.
Seiring dengan evolusi hingga revolusi pengetahuan, bukan tidak mungkin ada media atau alat yang diciptakan dengan kemampuan yang mumpuni, dapat menembus planet-planet yang bahkan mungkin belum ditemukan saat ini. Jadi persoalannya bukan mustahil, hanya saja pengetahuan dan teknologi manusia yang mungkin belum mampu menjangkaunya.
Atau bisa jadi tidak pernah sampai pada tingkatan itu. Sebab Tuhan telah menegaskan; ‘Aku tidak memberikan ilmu kepada kalian, kecuali hanya sedikit’. Bisa saja tentang ilmu teknologi yang dapat menembus lapisan planet-planet tidak akan pernah dicapai oleh manusia.
Atau bisa dicapai manusia, namun bukan dengan pengetahuan dan teknologi, melainkan dengan media lain, yakni dengan pendekatan keilmuan tertentu. Yang pasti bukan sains dan bukan pula filsafat, tetapi pendekatan keilmuan yang bersifat mistis.
Dalam sejarah perkembangan pengetahuan, pendekatan mistis ini senantiasa dicurigai dan diragukan, bahkan kebanyakan tidak mempercayai. Seorang ahli fisika selalu mengatakan mustahil ketika mendengar cerita ada orang dapat berjalan di atas air seperti berjalan di rute biasa karena menurut teori yang dipelajarinya, orang yang berada dia atas air pasti akan tercebur ke dalamnya. Tapi kemudian bagaimana dia melogikakan mimpi?
Tidak nyata, tapi ternyata banyak juga yang nyata. Minsalnya bertemu dengan seseorang yang seakan-akan menginformasikan berita tertentu. Ternyata besoknya apa yang ada di dalam mimpi tersebut menjadi kenyataan.
Hingga bisa jadi, banyak ilmuwan yang masih terjebak dalam sikap kejahiliyahan; yakni menganggap mustahil hal-hal yang bersifat mistis transendental, sementara temuan-temuan mereka merupakan akumulasi kemustahilan manusia pada jaman dulu yang kini tidak lagi dianggap tidak mungkin.
Sampai di sini, mungkin bisa ditegaskan bahwa ternyata iman itu bukan sekedar diyakini, melainkan dapat dibuktikan. Keyakinan dibutuhkan ketika manusia belum sampai pada tahapan keilmuan pada tingkat itu. Tapi setelah dikembangkan melalui pengetahuan, orang-orang akhirnya berhasil membuktikannya.
Dulu para orietalis menganggap al-Qur’an mengarang cerita tentang Fir’aun. Tapi setelah manusia meneliti dan menyelediki, menyelam ke dasar lautan, akhirnya mereka menemukan kebenarannya. Jasad Fir’aun ditemukan masih utuh, hingga anggapan mereka terbantahkan. Demikian juga hal-hal mistis lainnya yang dianggap mustahil, tapi ternyata memang benar adanya.
Persoalannya, pengalaman dan pengetahuan mistis ini sangatlah personal. Apa yang dialami oleh satu orang, tidak bisa dialami oleh yang lainnya meskipun menggunakan cara, metode, hingga (mungkin) bacaan amalan yang sama, tetap saja berbeda pengalaman dan pengetahuannya.
Hingga bisa dikatakan ilmu mistis adalah ilmu yang sangat personal, tidak dapat dibagi-bagi. Kalaulah seseorang punya amalan tertentu-minsalnya membaca kalimat lailaha illallah 1000 kali setiap hari, kemudian dia mengalami peristiwa tertentu, nanti akan berbeda hasilnya ketika yang mengamalkan itu orang lain. Dia akan mengalami peristiwa berbeda dengan apa yang dialami oleh orang yang mengajarkan amalan tersebut kepadanya.
Satu hal yang mungkin menjadi renungan bersama, kenapa Tuhan menghadiahkan shalat kepada nabi Muhammad SAW dalam peristiwa isra’ mi’raj? Padahal kalau Tuhan mau, tinggal memerintahkan Jibril untuk menyampaikannya kepada nabi Muhammad SAW.
Sesungguhnya ada pesan tersirat dalam hal ini, dan hemat saya ini sangat erat kaitannya dengan dunia mistis yang boleh dikata sebagai dunia ketidakmungkinan. Bukankah shalat itu merupakan proses mi’raj menuju Tuhan tanpa perantara?
Manusia melakukan perjalanan spiritual menuju Tuhan untuk berkomunikasi, berkeluh kesah, bersyukur, memohon sesuatu dan lain sebagainya sebagaimana nabi Muhammad SAW naik turun bernegosiasi tentang jumlah waktu shalat. Ini menandakan pula bahwa shalat itu juga merupakan media negosiasi dengan Tuhan.
Shalat itu sangat individual, meskipun dampaknya bersifat individual-sosial. Ibadah ini ternyata juga kalau kita dengar cerita-cerita orang shaleh, mereka mengalami peristiwa-peristiwa yang menurut orang lain tidak mungkin, tapi dia sendiri mengalaminya.
Terakhir, isra’ mi’raj adalah inspirasi utama dalam pengembangan pengetahuan manusia. Anggapan mustahil yang diikuti dengan kajian dan penelitian akhirnya bisa menjawab ketidakmungkinan.
Hingga ada dua media yang digunakan manusia dalam menembus ketidakmungkinan, yakni ibadah ritual shalat, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaiknya keduanya diintegrasikan dalam upaya untuk memperkuat keyakinan kita terhadap ke-Mahabesaran Tuhan. Wallahu a’lam bishawab!
*Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah