Oleh : Isranuddin Harun*
Dalam beberapa hari belakangan ini kita mendengar wacana pergantian nahma “Reje” menjadi “Kepala Kampung” yang direncanakan oleh pimpinan DPRK Aceh Tengah dalam Revisi Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 4 Tahun 2011.
Justru pengggantian nahma tersebut merupakan suatu langkah mundur dan bertentangan dengan azas rekognisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang mengakui dan menghargai budaya lokal yang masih berkembang ditengah masyarakat, salah satunya sebutan/nahma Reje yang masih sangat relevan untuk saat ini.
Saya melihat persoalan sebenarnya ada pada persyaratan menjadi calon Reje dalam Qanun yang belum tegas, kurang relevan dan kontradiktif dengan aturan yang lebih tinggi ini yang sering menjadi polemik dalam pemilihan Reje Kampung.
Menurut saya selain tuntutan tugas dan tanggung jawab kepada Reje Kampung perlu juga diberikan perlindungan kepada jabatan Reje dalam menjalankan tugasnya, sudah jadi rahasia umum jika selama ini Reje sangat rentan di intervensi oleh “oknum” atau pejabat yang lebih tinggi.
Masalah lainnya yang sering jadi pemicu persoalan di Kampung adalah perlunya penjabaran yang kontras dan tegas tentang tugas dan kewenangan aparatur kampung sebagai staf Reje dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, sehingga harmonisasi pemerintahan kampung juga dapat terjaga.
Saya sependapat apabila persyaratan untuk menjadi calon Petue dan calon Imem Kampung agar dipermudah, dan bila memungkinkan melalui revisi Qanun Nomor 4 Tahun 2014 ini untuk kedua jabatan tersebut tidak diperbolehkan dipilih langsung masyarakat melainkan ditentukan melalui musyawarah kampung yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat dan lembaga masyarakat yang ada di kampung tersebut.
Sudah saatnya kita menyambut azas rekognisi dan azas subsidiaritas yang diamanahkan oleh Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa agar Kebinekaan Republik Indonesia selalu lestari sepanjang zaman dan Kearifan Lokal Masyarakat Gayo juga turut lestari.
*Penulis bukan Reje tetapi Pendamping Desa wilayah Kecamatan Lut Tawar