Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional Berlangsung Meriah, 2 Kabupaten Gayo Darurat Sampah

oleh
Pungut sampah di Danau Lut Tawar. (foto : Chici)

Oleh : Win Wan Nur*

Kemarin, minggu 20 Februari 2021, jagat maya dunia facebook di Tanoh Gayo hiruk-pikuk dengan berbagai komentar terkait viralnya aksi mahasiswa Aceh Barat yang membersihkan sampah yang mereka lihat berserakan di tempat wisata Batu Susun di Pantan Terong.

Berbagai karakter masyarakat Gayo terbaca jelas melalui komentar-komentar yang muncul di berbagai grup diskusi dan halaman facebook tersebut.

Ada beberapa komentator yang mengecam terbitnya berita tersebut karena menganggapnya hanya membuka aib orang Gayo, karena menurutnya aib seperti itu harus disembunyikan tanpa perlu diketahui orang luar. Sebuah logika yang agak membingungkan sebenarnya, karena di berita ini yang memungut sampah itupun justru mahasiswa dari luar, bukan dari Gayo, jadi aib seperti apalagi yang mau disembunyikan?

Komentator lain menyebut mahasiswa tersebut bodoh karena mau membersihkan sampah di sana, padahal mereka sudah membayar tiket masuk. Menurut pendapat si komentator ini, seharusnya yang membersihkannya adalah pengurus tempat wisata tersebut.

Komentar ini mengingatkan kita pada banyak berita viral tentang turis Indonesia yang berlibur di luar negeri, ditangkap polisi setempat karena membuang sampah sembarangan akibat mindset di kepalanya sama seperti mindset komentator ini.

Dengan adanya orang-orang dengan karakter seperti ini, tidak mengherankan kalau sampah jadi masalah akut di Tanoh Tembuni.

Tapi (untungnya) mayoritas dari yang berkomentar terkait aksi viral itu, mengapresiasi, bahkan merasa malu dengan apa yang sudah dilakukan mahasiswa Aceh Barat tersebut. Lalu kitapun membaca berbagai keluhan tentang tidak jelasnya kebijakan dan aksi penanganan sampah di pelbagai tempat di dua kabupaten ini.

Masih banyaknya warga dengan karakter seperti ini, membuat kita masih punya harapan besar kalau persoalan sampah di dua kabupaten Gayo ini masih bisa dicarikan solusi.

Fenomena banyaknya komentar yang berisi keluhan atas penanganan sampah ini, juga terjadi ketika media ini memuat tulisan saya tentang sampah di Musara Alun, tulisan itupun mendapatkan perhatian yang luar biasa dari masyarakat pembaca media ini.

Dari dua fenomena terkait ulasan tentang sampah ini, dengan banyaknya komentar yang menyatakan malu dengan apa yang sudah dilakukan oleh mahasiswa Aceh Barat membersihkan pantan terong bisa kita simpulkan bahwa mayoritas warga di dua kabupaten Gayo ini, Aceh Tengah dan Bener Meriah sedang gelisah alias galau atas persoalan sampah di dua kabupaten ini, karena sampai sekarang seolah belum ada titik terang untuk menemukan solusi penanganannya.

Semua keluhan yang kita baca di media sosial ini sangatlah wajar, karena semua orang di daerah ini paham belaka, kalau apa yang telihat di Pantan Terong itu sebenarnya hanyalah puncak gunung es persoalan sampah di dua kabupaten ini. Yang di Pantan Terong itu hanya bagian sangat kecil yang kebetulan terlihat, sementara semua paham kalau persoalan sampah yang tak terpublikasikan jauh, sangat jauh lebih besar.

Ambil saja contoh pengamatan pribadi saya sendiri, ketika saya amati setiap kali saya berada dalam perjalanan dari Takengen ke Redelong. Di sepanjang jalan yang menghubungkan dua kabupaten ini, taburan sampah plastik, seolah berbaris tanpa jeda.

Bahkan saya perhatikan, di sepanjang sekian kilometer jalan itu, tak ada ruang yang bahkan hanya satu meter saja yang bebas sampah plastik. Bagian sisi jalan yang tidak terlihat sampah plastik hanya pada pertemuan persimpangan jalan dan bagian di mana badan jalan langsung dibatasi parit drainase. Selebihnya, sampah plastik tanpa henti.

Persoalan yang sama juga akan kita temukan kalau kita melintas di sepanjang jalan sekeliling Danau Laut Tawar, jalan Takengen – Pegasing dan seterusnya. Bahkan saya mendapat kabar dari seorang penyelam, kalau di beberapa sisi Danau Laut Tawar, di dalam air, tumpukan sampah itu sudah mencapai tinggi dua meter lebih.

Lalu, di tengah segala keprihatinan itu, hari ini, 1 Maret 2021, satu hari setelah berita itu viral. Ketika masyarakat sedang merasa malu dan geram dengan persolan sampah di Bener Meriah dan Aceh Tengah. Masyarakat di dua kabupaten ini seolah disuguhkan dagelan, sebuah acara lawakan berbiaya mahal yang sama sekali tidak lucu.

Aceh memperingati Hari Peduli Sampah Nasional dengan meriah, dibuka oleh Gubernur Nova Iriansyah, di Gedung Olah Seni, tepat di samping lapangan Musara Alun yang bertebaran sampah di setiap sudutnya.

Saya tidak tahu aksi atau seremoni apa saja yang dilakukan dalam rangka memperingati Hari Peduli Sampah Nasional yang diperingati dengan meriah dan penuh dengan taburan kata-kata indah di atas podium ini. Tapi, hampir bisa dipastikan, solusi atau bahkan sekedar gagasan yang komprehensif untuk penanganan sampah di Aceh Tengah dan Bener Meriah, terlalu naïf untuk bisa kita harapkan muncul dari acara seremonial seperti ini, karena kalau kita perhatikan, persoalan sampah di Aceh Tengah dan Bener Meriah ini sebenarnya sudah masuk dalam kategori darurat.

***
Melihat fenomena ini, mungkin banyak orang menduga kalau aparatur pemerintah Aceh Tengah sudah tidak tahu berbuat apa dan bahkan belum bisa sekedar memetakan persoalan sampah ini dengan benar. Tapi, saya bisa mengatakan kalau anggapan itu tidak sepenuhnya benar.

Saya berani mengatakan itu karena, beberapa waktu yang lalu, di acara pesta sunat rasul putra camat Bebesen Arisa Putra, di kampung Nunang Antara, saya pernah duduk semeja dengan mengobrol santai dengan Subhan Sahara, kepala Dinas Lingkungan Hidup Aceh Tengah yang bertanggung jawab dalam urusan penanganan sampah dan Amir Hamzah Kepala Bappeda Aceh Tengah.

Apa yang saya tangkap dari obrolan itu, baik Kadis Lingkungan Hidup maupun Kepala Bappeda sebenarnya sudah sangat memahami persoalan pengelolaan sampah ini. Sebagai contoh, kedua pejabat ini sama-sama memiliki kesepahaman bahwa lebih dari 80% persoalan sampah ini sudah akan bisa teratasi kalau sampah-sampah itu dipilah berdasarkan jenis sampahnya, apakah itu sampah rumah tangga, sampah plastik atau sampah berbahaya.

Lalu kalau mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan dan apa strateginya, kenapa persoalan sampah ini belum juga bisa tertangani dengan baik?

Apakah apakah karena qanunnya belum ada? Tidak tahu juga. Tapi kalau kita baca pengakuan dari Gading Kurnia, mantan Reje Lot Kala, Kebayakan di sebuah komentarnya pada sebuah tautan media sosial facebook, dia mengaku dulu qanun tentang sampah ini sudah pernah dibuat, dia sendiri yang saat itu masih menjabat sebagai reje, ikut terlibat dalam pembuatan qanunnya.

Kalau benar qanunnya sudah ada dan para pengambil kebijakan sebenarnya sudah tahu apa yang dilakukan. Jadi agak mengherankan, kenapa sampai sekarang persoalan sampah ini belum juga terselesaikan.

Ketidak tahuan kita ini terjadi karena terkait penanganan sampah ini, kita hampir tak pernah (saya pribadi malah belum pernah) melihat mereka dari pihak pemerintah mempublikasikan langkah-langkah dan kebijakan mereka di media.

Sehingga kita masyarakat umum tidak pernah tahu apa saja langkah mereka. Akibatnya, kalaupun kita ingin memberi masukan, kita juga tidak bisa, karena kita memang tidak tahu langkah yang sudah mereka lakukan sudah sejauh apa, kendala-kendala apa saja yang mereka hadapi dalam menerapkan kebijakan itu? Kita tidak tahu.

Terlepas dari apa yang sudah dilakukan Pemkab melalui Dinas Lingkungan Hidup. Harus kita pahami bersama, kalau persoalan sampah ini bukanlah sepenuhnya tanggung jawab Pemkab baik itu Aceh Tengah maupun Bener Meriah. Bisa dikatakan bahkan tanggung jawab yang lebih besar ada di masing-masing individu di negeri ini. Sebab persoalan sampah ini langsung terkait dengan kenyamanan hidup tiap individu itu sendiri.

Karena itulah, perlu ada kerjasama yang erat antara pemerintah dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup dengan masyarakat umum. Untuk menangangi persoalan sampah ini, masyarakat harus lebih banyak dilibatkan untuk berperan serta. Apalagi kalau kita baca komentar-komentar di media sosial dan komentar masyarakat di dunia nyata, di café-café dan warung kopi. Sebenarnya masyarakat bukan hanya tidak keberatan, tapi akan senang jika dilibatkan dalam mengatasi persoalan sampah yang langsung terkait dengan kenyamanan mereka ini.

Tapi, karena Pemkab, melalui Dinas Lingkungan Hidup lah yang diberi wewenang dan alokasi dana oleh undang-undang untuk menangani persoalan ini, kiranya merekalah yang aktif mendekati masyarakat, terbuka dengan persoalan-persoalan yang dia hadapi. Bukan sebaliknya, masyarakat yang harus menghiba-hiba minta untuk dilibatkan.

Saran saya, karena persoalan yang ditangani oleh Dinas Lingkungan Hidup ini terkait erat dengan keseharian masyarakat, Pak Subhan Sahara sebagai kepala dinas Lingkungan Hidup Aceh Tengah dan juga Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bener Meriah, tampillah lebih sering di media, paparkan kendala-kendala yang dihadapi dalam menangani persoalan sampah ini, dari sana nanti akan muncul komentar-komentar yang memberikan solusi yang kadang sebelumnya tak terpikirkan oleh para perancang kebijakan.

Memang, kalau sudah tampil di media, komentar berbau sindiran, hujatan bahkan caci maki tak sepenuhnya bisa dihindarkan, itu memang resikonya. Tapi dari yang sudah-sudah kita lihat, meski munculnya komentar negatif itu tak bisa dihindarkan, komentar yang konstruktif memberi masukan dan solusi tetap lebih dominan.

Jadi, marilah kita hadapi persoalan sampah ini bersama-sama, jangan jadi single fighter, karena hanya dengan adanya sinergi positif antara pemerintah selaku pemegang kebijakan dengan masyarakat selaku objek sekaligus subjek dari kebijakan itu, kita boleh yakin kita bisa keluar dari status DARURAT SAMPAH di dua kabupaten Gayo ini. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.