[Bag.1] Samarkilang Kampung Pejuang : Perjalanan dari Takengen ke Negeri Bener Merie

oleh

Oleh : Win Wan Nur

Dulu, saat masih SD dan tinggal di kampung Fajar Harapan kecamatan Timang Gajah yang saat ini masuk ke dalam kabupaten Bener Meriah, saya sudah mendengar nama Samarkilang. Waktu itu, nama Samarkilang meski terdengar familiar tapi kampung yang masih berada di wilayah Gayo ini tapi rasanya begitu jauh.

Jauh sebelum saya lahir, kakek saya pindah dari kampung Isak di kecamatan Linge ke kampung Isak yang baru didirikan di Busur, kecamatan Bukit. Waktu itu, kerbau kami yang sebelumnya digembalakan di kecamatan Linge dipindahkan ke Uber-Uber di kecamatan Bandar, tidak begitu jauh dari Isak Busur kalau dibandingkan dengan kampung asal kami di Isak kecamatan Linge.

Nama Samarkilang, sering saya dengar dari ayah saya terkait ini. Menurut ayah saya, dari Uber-uber, tempat kerbau kami digembalakan, Kampung Samarkilang masih jauh sekali.

Ketika saya kuliah dan bergabung dengan unit kegiatan mahasiswa Pecinta Alam, Leuser Unsyiah (sekarang USK). Dalam proses ekspedisi pendakian gunung maupun kegiatan alam bebas yang lain, saya sering menjelajah ke berbagai tempat terpencil di Aceh membuat saya familiar dengan banyak pemukiman terpencil, kampung-kampung terakhir yang berbatasan langsung dengan hutan di wilayah provinsi Aceh, mulai dari Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Selatan , Pidie bahkan Simeulue. Tapi saya tidak pernah ke Samarkilang.

Sekitar tahun 1999, Tim dari Leuser pernah melakukan ekspedisi arung Jeram yang dimulai dari Waq, yang sangat saya kenal baik karena terletak tidak jauh dari Lane, tempat penggembalaan kerbau-kerbau milik keluarga kami menyusuri Wih Ni Jemer (Sungai Jambo Aye) melewati kampung-kampung terpencil termasuk Samarkilang menuju hilir sungai ini di kabupaten Aceh Utara,. Sayangnya karena ada kesibukan lain, waktu itu saya tidak bisa ikut dalam ekspedisi yang sangat menantang ini.

Kesempatan untuk saya berkunjung ke Samarkilang, akhirnya datang kemarin 22 Februari 2021. Seorang teman yang mendapat undangan untuk menghadiri pernikahan putra dari salah seorang Reje Kampung (kepada desa) di Samarkilang, mengajak saya menemaninya untuk berkunjung ke kampung tersebut.

Pukul 7.30 Pagi, dengan mobil Toyota Kijang tua miliknya, teman ini sudah menjemput saya di Dedalu, sebuah kampung di tepi danau Laut Tawar, tempat saya tinggal, dua kilometer dari pusat kota Takengen, ibukota kabupaten Aceh Tengah.

Dari Dedalu, kami tidak langsung menuju ke Samarkilang, tapi mampir dulu ke Redelong, Ibukota Kabupaten Bener Meriah, kabupaten baru yang dimekarkan dari Aceh Tengah pada akhir tahun 2003, sekarang Samarkilang masuk dalam wilayah administrasi kabupaten ini.

Sangat menyedihkan menyaksikan keadaan di kedua sisi bahu jalan sepanjang jalan Takengen menuju ke Redelong. Sampah plastik bertebaran mulai dari Takengen sampai ke Redelong, tanpa ada jeda bahkan tak ada satu meterpun bagian tepi jalan ini yang bebas dari sampah plastik.

Di Redelong kami bertemu camat dan staf kantor kecamatan Syiah Utama yang beribukotakan Samarkilang. Di sana kami mengobrol cukup lama.

Satu hal menarik saya temukan dalam obrolan ini, mereka menyebut Samarkilang dengan sebutan “Paluh,” sebuah terminologi dalam bahasa Gayo yang berarti “bawah” sebagai lawan kata “Bur” yang secara harfiah berarti “Gunung” tapi dalam pembicaraan terkait posisi sebuah wilayah, lebih tepat diartikan dengan kata “Atas,” dalam bahasa Indonesia.

Dalam bahasa Gayo sendiri ada sebutan “Atas” yang memiliki lawan kata “Tuyuh” yang berarti “Bawah,” tapi sebutan atas dan tuyuh dalam bahasa Gayo ini untuk menunjukkan perbedaan posisi tinggi dan rendah secara vertikal. Misalnya dalam membedakan lantai atas dan lantai bawah sebuah rumah. Lantai atas disebut atas dan lantai bawah disebut tuyuh.

Terminologi paluh ini menarik perhatian saya, karena dalam konteks penyebutan sebuah wilayah di Gayo, meski banyak wilayah Gayo yang berada di bagian bawah yang berhawa panas, tapi baru kali ini saya mendengar ada sebuah wilayah di Gayo yang dipanggil dengan nama kecil “Paluh.”

Di Gayo untuk merujuk wilayah yang berada di posisi yang lebih tinggi dan lebih rendah, orang lebih umumnya menggunakan istilah “Uken” dan “Toa” yang secara harfiah bisa diartikan sebagai hulu dan hilir sebuah sungai.

Jadi, berbeda dengan bahasa Indonesia yang hanya mengenal kata “Atas” dan “Bawah” untuk menjelaskan perbedaan posisi tinggi dan rendah, bahasa Gayo memiliki tiga macam sebutan untuk itu, Atas – Tuyuh, Bur – Paluh, Uken – Toa.

Atas – Tuyuh menunjukkan perbedaan atas dan bawah secara vertikal atau sangat terjal, Bur – Paluh untuk menunjukkan perbedaan atas dan bawah yang curam tapi belum sampai terjal sedangkan Uken – Toa menunjukkan beda atas dan bawah antar dua wilayah dalam posisi relatif landai.

Saya sendiri berasal dari Isak yang berhawa panas, tapi keluarga kami yang tinggal di Takengen yang berada di dataran tinggi, tidak pernah menyebut “Paluh” untuk Isak. Begitu juga kalau kami menyebut wilayah yang berada lebih rendah dari Isak, Mulai dari Gelampang, Penarun, Waq, Lane sampai Lumut, kami di Isak biasa menyebut daerah-daerah tersebut dengan sebutan “Toa.”

Di Gayo, biasanya kalaupun ada sebutan Bur dan Paluh, untuk merujuk suatu wilayah, biasanya itu hanyalah sebuah wilayah dalam lingkup kecil sebuah kampung, bagian atasnya disebut Bur dan bagian bawahnya disebut Paluh. Bukan untuk menyebut sebuah wilayah yang luas seperti Samarkilang.

Untuk konteks wilayah, kalau orang Gayo menyebut Paluh, umumnya itu merujuk pada wilayah-wilayah yang berada di pesisir Aceh. Sebutan sopan dalam bahasa Gayo untuk menyebut orang Aceh adalah “Urang Paluh”

Sekitar tengah hari, setelah mengganti mobil dengan Mitsubishi Triton yang berpenggerak 4 roda di Redelong, kamipun berangkat menuju Samarkilang.

Setelah beberapa menit perjalanan yang lancar melalui jalan aspal yang terbilang mulus, kami tiba di Janarata, ibukota kecamatan Bandar yang lebih dikenal dengan nama Pondok Baru, kota perdagangan paling ramai di kabupaten Bener Meriah yang bahkan lebih ramai dibandingkan Redelong, ibukota kabupaten ini sendiri.

Di Janarata, k ami kembali berhenti, membeli berbagai keperluan, termasuk bubuk kopi arabika, langsung di tempat roastingnya.

Pukul 12.45, kami bertolak dari Janarata menuju ke Samarkilang, melewati kampung Belang Jorong melintasi jalur jalan beraspal beraspal mulus yang menurun tapi relatif landai, melewati perkebunan kopi arabika yang terawat baik di bawah rindangnya pohon lamtoro yang ditanam sebagai peneduh agar buah kopi yang dihasilkan berkualitas tinggi karena buahnya matangnya sempurna sebab terhindar dari panas matahari secara langsung.

Suasana di jalan yang melewati kampung yang dihuni oleh penduduk suku Gayo, Jawa dan Aceh ini, dari Janarata sampai ke wilayah Pepedang begitu damai yang menenangkan. Sulit membayangkan bagaimana di tahun 2001 silam, di tempat ini terjadi peristiwa berdarah yang mengerikan. Akibat konflik bersenjata pada masa itu, di tempat terjadi pembantaian yang mengacu pada laporan LSM Kontras, memakan korban sampai 300 orang.

Menurut saksi mata yang sempat menyaksikan peristiwa tersebut, waktu itu siapapun yang melintas di jalan tersebut tanpa tanya akan langsung dibantai, tidak peduli dia suku Gayo, Aceh atau Jawa. Kata mereka yang melihat pembantaian sadis itu, rasanya nyawa ayam lebih berharga daripada nyawa manusia.

Tiba di Pepedang, vegetasi alam mulai berubah, jauh di lembah di bawah jalan yang kami lewati tampak aliran sungai yang mengular. Lereng bukit yang membentuk lembah itu, sampai ke puncaknya ditumbuhi pohon cemara Pinus merkusii dengan tutupan tanah berupa padang ilalang. Pemandangan ini mengingatkan saya pada pemandangan jalan menuju ke Isak kampung saya setelah turun dari Bur Lintang yang memisahkan wilayah Gayo Lut dengan Gayo Deret.

Tanah di sini, kering dan berwarna kemerahan, tidak berbeda jauh dengan tanah di pinggir jalan menuju ke Isak. Yang membedakannya, turunan jalan di sini sangat curam kalau dibandingkan dengan jalan dari Bur Lintang sampai ke Isak.

Hanya sekitar 15 menit dari Pepedang, kami sudah tiba di kampung Tembolon. Di tempat ini, kami berhenti di sebuah warung makan yang tepat berada di tepi sungai, di sebelah kanan jalan.

Di depan warung ini terdapat persawahan yang di pematangnya yang berada tepat di tepi jalan tumbuh beberapa pohon kelapa hibrida hijau yang berbuah lebat. Pemandangan yang tidak mungkin bisa kita lihat di Takengen sampai ke Janarata yang berada di ketinggian rata-rata antara 1000 – 1250 Mdpl.

Pemandangan dan suasana tempat ini mengingatkan saya pada kampung Kemerleng yang terletak tidak jauh dari kampung saya di Isak, kampung yang selalu kami lintasi dalam perjalanan menuju Lane, tempat penggembalaan kerbau keluarga kami.

Saat di Tembolon inilah saya baru menyadari kenapa para staf kantor kecamatan Syiah Utama yang saya temui di Redelong, memanggil Samarkilang dengan sebutan “Paluh.” Ternyata, jalan menuju ke sini memang cukup terjal dan perubahan antara daerah berhawa dingin dan yang berhawa hangat terjadi begitu cepat.

***

Di warung makan ini saya menyapa penjaga warung, seorang perempuan muda berjilbab menggunakan bahasa Gayo, tapi dia tampak kebingunan dan mengengok ke arah temannya yang sama-sama bekerja sebagai penjaga warung, menandakan kalau dia tidak mengerti apa yang saya katakan.

Temannya ini menjawab pertanyaan saya dalam bahasa Gayo dan mengatakan, kalau perempuan muda pertama yang saya ajak bicara bahasa Gayo ini berasal dari pesisir Aceh, tepatnya wilayah Peureulak. Dia baru dua bulan bekerja di tempat ini, karena itulah dia belum mengerti bahasa Gayo.

Gadis penjaga warung ini memberikan piring pada saya dan teman saya, untuk mengambil sendiri nasi dan lauk dari etalase sesuai dengan porsi yang kami inginkan. Temannya, perempuan muda yang berbahasa Gayo, menghidangkan gelas minum dan kobokan untuk mencuci tangan di depan kami sambil menawarkan cendol, yang menjadi salah satu dagangan unggulan mereka sekaligus menjadi identitas khas warung ini. Saya dan teman saya masing-masing memesan satu porsi.

Ketika kami sedang menikmati makanan, sebuah sepeda motor yang datang dari arah Samarkilang, berhenti di depan warung. Seorang anak muda, berjaket bomber dan bercelana jins dengan kepala ditutupi bandana masuk ke dalam warung, tersenyum dan menyapa teman saya, tampaknya mereka sudah kenal lama.

Teman saya kemudian memperkenalkan anak muda itu sebagai adik kandung dari Ahmadi, mantan bupati Bener Meriah yang sekarang sedang menjalani hukuman di Lapas Sukamiskin Jawa Barat. Saat ini Bener Meriah dipimpin oleh Sarkawi yang dipasangkan sebagai wakilnya ketika mereka terpilih sebagai pasangan bupati dan wakil bupati di Pilbup lalu.

Adik Ahmadi baru mencuci tangan akan memulai menyantap makan siangnya, sebuah truk Colt Diesel berwarna kuning datang dari arah Janarata, berhenti di depan warung. Sopir yang masuk ke warung bersama kernetnya yang saya perkirakan umurnya masih di kisaran belasan tahun, langsung menyapa teman saya.

Ternyata mereka sudah akrab. Kernetnya seperti juga gadis penjaga warung, berasal dari Peureulak. Sang sopir, mengobrol dengan teman saya dalam bahasa Gayo dan saya mengobrol menggunakan bahasa Aceh dengan kernetnya.

Ketika kami selesai makan, sopir truk Colt Diesel ini melarang teman saya membayar makanan kami, dia membayar semua makanan kami, termasuk pesanan milik adik Ahmadi.

Saat mengobrol dengan teman saya, sopir truk mengatakan akan menjual bak truknya yang terbuat dari kayu, dia akan menggantinya dengan bak dari besi, karena dia akan memanfaatkan truknya untuk menyuplai material galian C untuk proyek multi years pengerjaan jalan Janarata – Samarkilang yang sudah disetujui DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) beberapa waktu yang lalu. Kepada teman saya, dia mengatakan akan menjual bak kayu truknya seharga 10 – 12 juta rupiah.

Sebelum naik ke mobil untuk melanjutkan perjalanan, kami memeriksa kayu bak truknya. Rangkanya terbuat dari kayu Meureubo dan dinding baknya terbuat dari kayu Seumantok (Shorea sp), kayu yang di dalam daftar kayu yang kami pelajari di bangku kuliah dulu, dari segi kekuatan termasuk kayu kelas I dengan berat jenis 1,1 – 1,2, yang artinya tenggelam di dalam air.

Kami terus melanjutkan perjalanan melalui jalan menurun, nyaris tak pernah bertemu tanjakan. Tapi jika dibandingkan dengan turunan dari Pepedang ke Tembolon, jalan menurun dari warung ini menuju Samarkilang terbilang landai, hampir sama dengan landainya jalan dari Bur Lintang sampai ke Isak.

Setelah melewati pusat kampung Tembolon, kami berhenti di sebuah tempat rekreasi, sebuah air terjun yang tepat berada di pinggir jalan sebelah kiri, dipisahkan dengan sungai oleh jalan. Air terjun yang masih berada di wilayah kampung Tembolon ini sudah dikelola oleh masyarakat setempat. Bagian depan air terjun yang berbatasan dengan jalan dipagari dengan bambu.

Untuk pengunjung yang ingin masuk dan berfoto di sana, mereka menarik tiket sebesar 5000 rupiah. Sementara di tepi jalan yang dekat sungai, mereka membuat warung-warung sederhana yang menjual penganan dan mie instant bagi pengunjung ataupun pelintas yang ingin sekedar mengganjal perut.

Air terjun ini tampilannya cukup instagramable, hanya sedikit disayangkan, pohon-pohon besar kayu hutan yang tadinya tumbuh alami di sekitar air terjun ini sudah ditebangi oleh pengelolanya, sehingga mengurangi kesejukan tempat ini. Sebagai gantinya, di sekitar air terjun sudah ditanami bunga dan tanaman hias berwarna mencolok, mengurangi kesan alaminya tempat ini.

Jalan beraspal yang kami lewati ini terbilang mulus, tapi di beberapa kali saya melihat badan jalan yang hilang, longsor terbawa air karena bagian tepinya tidak diberi penguatan berupa bronjong atau turap beton, di beberapa tempat bahkan badan jalan yang hilang sampai separuhnya. Di tempat lain, ada badan jalan yang tertimpa longsor dari lereng bukit di atasnya.

Sepanjang jalan ini, meski masih terlihat sampah plastik, tapi jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan jalan dari Takengen menuju Redelong.

Tidak jauh dari air terjun, jalan beraspal sampai di ujungnya. Perjalanan menuju Samarkilang kami lanjutkan melalui jalan tanah dengan perkerasan sepanjang 17 kilometer. Jalur inilah yang menjadi alasan kenapa kami membutuhkan mobil dengan penggerak empat roda.

Seperti di jalan beraspal, di jalan inipun banyak badan jalan yang hilang karena longsor.

Melihat parahnya kondisi jalan ini, saya jadi bisa memaklumi kemarahan warga Samarkilang ketika dulu DPRA menolak proyek multi years untuk peningkatan jalan ini. Sebab dengan keadaan jalan seperti ini, di musim kemarau saja medannya seperti ini. Di musim penghujan, mudah dibayangkan kalau kondisi jalan ini tentu seperti jalur off road Camel Trophy.

Saya teringat tahun 2010, ketika saya menonton pertandingan off road di arena buatan yang dibangun di tepi sungai Cisadane, Tangerang. Jalur buatan itu tidak separah jalan ini. Tidak mengherankan kalau beberapa waktu yang lalu, di musim penghujan, seorang ibu hamil yang berada dalam perjalanan dari Samarkilang menuju Janarata, melahirkan di jalan. Saya pikir, dengan kondisi jalan seperti ini, jangakan di musim penghujan, di musim kemaraupun dengan kerasnya goncangan yang harus dirasakan saat melewati jalan ini pun, ibu hamil akan melahirkan di jalan.

Cukup sekilas melihat pemandangan di kanan dan kiri jalan, kita akan langsung menyadari kalau tempat ini tadinya adalah hutan hujan tropis yang lebat, vegetasi alamnya mengingatkan saya pada minggu awal perjalanan menembus hutan Leuser saat kami melakukan ekspedisi jalur selatan Leuser di tahun 1994 silam.

Tapi sekarang hutan-hutan di sepanjang tepi jalan Tembolon menuju Samarkilang ini rata-rata sudah ditebangi dan dialih fungsikan menjadi lahan pertanian. Di sepanjang tepi jalan kita melihat tanaman pisang, coklat, pinang bahkan ada yang nekat menanam kopi arabika, meski di tempat yang kelapa sudah tumbuh dengan baik ini, ketinggiannya jelas tidak ideal untuk ditanami kopi arabika.

Selain tanaman keras yang sudah saya sebutkan di atas, sejak tahun lalu, masyarakat daerah ini mulai menanam jagung. Sekarang, di sepanjang jalan kita menyaksikan pemandangan tanaman jagung yang menghampar di tanah-tanah hutan yang baru dibuka ini

Tidak sampai 15 menit melalui jalur berat ini, kami berhenti kembali di sebuah warung yang dikelola oleh sepasang suami istri transmigran lokal dari Wih Ni Durin yang terletak sekitar 5 kilometer dari tepi jalan ini. Sang istri , perempuan suku Gayo yang berasal dari Gayo Lues, sedangkan suaminya beribukan orang Aceh asal Peureulak dan ayah dari Kediri Jawa Timur. Di tepi jalan ini, pasangan ini meminjam tanah milik warga Janarata. Di tanah ini mereka membuat warung sederhana berbahan kayu, sedangkan sisa tanahnya mereka tanami pisang dan pepaya.

Pepaya hasil kebun ini mereka jual di warungnya, sementara pisang yang mereka panen mereka jadikan keripik pisang yang juga dijual di warungnya. Menurut sang istri, pisang dari kebun itu tak ada lagi yang mereka jual dalam kondisi mentah.

Semua pisang dari kebun itu mereka jadikan keripik yang dijual seharga 10 ribu rupiah per bungkus ukuran besar dan 5000 rupiah untuk bungkus ukuran separuhnya. Dalam sehari mereka bisa menjual sampai 50 bungkus keripik bungkus besar.

Teman saya bilang papaya yang mereka jual sangat enak, tapi sayangnya hari itu sedang tidak ada pepaya karena menurut si suami, batang pepaya mereka banyak yang patah sewaktu ada hujan lebat dengan angin kencang beberapa waktu yang lalu.

Saya sendiri lebih tertarik pada keripik pisangnya yang terlihat sangat menyelera. Ketika saya cicipi, dugaan saya sama sekali tidak meleset, keripik pisang ini sangat gurih. Tekstur keripiknya sangat garing, ketika digigit, keripik yang garing langsung hancur di mulut, sama sekali tidak ada tekstur kerasnya.

Karena teksturnya yang sangat garing saya pikir, sebelum digoreng pisang yang sudah diiris terlebih dahulu direndam kapur, tapi waktu saya perhatikan sendiri proses pembuatannya. Ternyata sangat alami tanpa ada tambahan zat aditif apapun. Sang istri mengupas pisang muda, mengirisnya lalu langsung memasukkannya ke dalam minyak panas yang kemudian setelah di dalam minyak baru ditaburi garam cair. Itu saja.

Saya membeli sebungkus keripik pisang dan kamipun melanjutkan perjalanan, melintasi kampung Rusip, sebuah perkampungan lama khas pedalaman Gayo dengan rumah jarang-jarang. Kebanyakan rumah di kampung ini masih rumah lama berdinding kayu yang dibiarkan alami tanpa dicat. Tapi beberapa rumah sudah terlihat modern dengan konstruksi dan dinding beton. Di kampung ini sudah ada sekolah dasar. Kantor Polsek Syiah Utama juga terletak di kampung ini.

Sepanjang jalan dari Rusip menuju Samarkilang, meski kita banyak melewati lahan kebun, tapi nyaris tidak ada rumah penduduk. Tiba di sebuah lembah, saya melihat sebuah warung makan yang juga berfungsi sebagai warung kelontong. Teman saya bilang warung itu milik seorang mantan anggota GAM yang sangat disegani.

Dulu di masa konflik dia pernah berhadapan dengan dua orang anggota GAM, orang Gayo dari kabupaten lain yang bergabung dengan GAM bukan untuk berjuang, tapi untuk merampok dan memperkosa. Kedua orang ini memiliki ilmu kebal senjata, ketika ditembak, peluru yang ditembakkan malah membal ke arah anggota GAM yang ada di sampingnya. Orang inilah yang akhirnya bisa membunuh dua anggota GAM jahat itu dengan cara mematahkan lehernya.

Dari sana kami melanjutkan perjalanan. Tiba di kampung Arul Trap, teman saya menunjukkan sebuah bangunan sawmill yang sudah tidak aktif yang dimiliki oleh seorang mantan anggota organisasi terlarang HTI. Tidak jauh dari tempat ini kami kembali berhenti di sebuah warung milik pasangan suami istri asal Peureulak, di sana kami membeli sesisir besar pisang beranang seharga 10 ribu rupiah.

Lewat dari kampung Arul Trap, kami melihat empat orang teknisi dengan theodolite dan bak meter yang mengingatkan saya pada pelajaran Ilmu Ukur Tanah semasa kuliah dulu. Saya menduga mereka ini adalah bagian dari tim yang akan membangun jalan proyek multi years ini.

Tidak lama kemudian, pukul 15.30, kamipun tiba di kampung Samarkilang. [Bersambung]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.