Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA
Bener Meriah merupakan Kabupaten yang mekar dari kabupaten Induk Aceh Tengah, dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003′. Dalam perjalanannya sebagai Kabupaten baru telah banyak mengalami perubahan ke arah perkembangan.
Di antara perubahan dan perkembangan yang nampak di mata kita adalah adanya bandara Rembele, bandara ini sebagai simbul moderennya alat transportasi yang menghilangkan batas kejauhan dan batas lamanya perjalanan, sehingga semakin banyaknya orang berdatangan masuk ke Bener Meriah dan hasil alam Bner Meriah bisa dibawa keluar.
Saya mendengar informasi dari mereka yang membidani lahirnya kabupaten Bener Meriah, kalau Bener Meriah ditata secara bagus dalam bidang ekonomi dapat mengalahkan kabupaten induknya Aceh Tengah, karena sumber ekonomi di Bener Meriah lebih banyak dan beragam serta pasar-pasar sebagai tempat perputaran ekonomi juga di Bener Meriah lebih banyak.
Kalau di Aceh Tengah ada Angkup, Takengon dan Bintang, sedangkan di Bener Meriah ada Pondok Baru, Buntul, Simpang Tiga, Simpang Balik, Lampahan, Reronga, serta Singah Mulo. Perbandingan sumber dan perputaran ekonomi inilah yang dijadikan harapan untuk menuju kesejahteraan masyarakat di Bener Meriah.
Dalam perjalanan perkembangan kabupaten selama 17 tahun baik secara fisik sebagaimana terlihat dan juga secara ekonomi sebagaimana dirasakan masyarakat, belum ada perubahan berbanding dengan berjalannya waktu sebagai mana disebutkan di atas.
Seharusnya kemajuan pembangunan telah banyak yang berubah karena pembangunan tidak dimulai dari angka nol tetapi merupakan kelanjutan dari masa pembangunan kabupaten induk, demikian juga dengan potensi ekonomi yang ada masih merupakan potensi yang ada semenja dahulu.
Sehingga penderitaan masyarakat juga masih tetap seperti dahulu, seperti tidak terjualnya hasil panen masyarakat dan kalaupun terjual maka harganya sangat murah.
Kalau kita memperhatikan permasalahan yang ada dalam masyarakat Bener Meriah tidaklah bisa kita salahkan masyarakat, karena pada umumnya masyarakat Bener Meriah bekerja dalam mencari rizki sangat bersungguh-sungguh sehingga hasil yang didapat seharusnya melebihi kebutuhan mereka, tetapi karena Pemerintah tidak menjalankan perannya sebagai pasilitator dalam perdagangan maka semua hasil panen tidak bisa terjual.
Demikian juga tidak berjalannya peran dinas Perindusterian maka hasil panen masyarakat sangan mudah busuk dan rusak.
Memperhatikan kondisi ekonomi dalam pembangunan masyarakat, perlu adanya prioritas karena bila tidak maka keadaan tidak akan berpindah ke arah yang lebih maju. Prioritas pergerakan pembangunan hendaknya diarahkan pada kemajuan ekonomi pertanian karena 90 persen lebih penduduk Bener Meriah berprofesi sebagai petani.
Lebih tepatnya lagi kemajuan yang dihendaki adalah industrialisasi hasil pertanian, tentu ada pertanyaan yang harus dijawab, kenapa industrialisasi hasil pertanian ini diperlukan, tentu jawabannya sangat penting bagi masyarakat petani.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa alam Bener Meriah sangat subur untuk pertanian dan semua tanaman akan berhasil dengan baik, baik itu tomat, kentang, cabe, kul, sawi dan lain-lain selain dari kopi yang memang sudah dikenal didunia.
Untuk itu sebenarnya Pemerintah tidak harus memfokuskan pemikiran pada penjualan kopi, karena keadaan pandemi membuat perputaran ekonomi dunia tidak berjalan normal yang berimbas pada penjualan kopi.
Sedangkan hasil pertanian yang lain juga tidak bisa terjual dan kondisi barang rusak dan cepat busuk. Untuk itulah diperlukan adanya industrialisasi hasil pertanian. Tujuannya adalah untuk menjadikan harga barang menjadi stabil dan dapat dikirim keluar Bener Meriah dalam kemasan yang sudah jadi.[]