HUT Kute Takengen, Peringatan Unung-Unung

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Terkait hari ulangtahun Kute Takengen yang akan kita peringati bulan ini. Dua hari yang lalu, saya membaca penjelasan dari salah satu penggagas hari ulangtahun Kute Takengen saat dirinya diwawancarai oleh wartawan dari salah satu media online lokal.

Dari penjelasan sang tokoh, kita dapat menyimpulkan dengan jelas kalau hari ulangtahun Kute Takengen ini sebenarnya bukanlah peringatan sebuah peristiwa sejarah.

Dari hasil wawancara itu, kita membaca kalau ternyata peringatan hari ulangtahun Kute Takengen ini adalah sebuah peringatan atas sebuah peristiwa yang sebenarnya tak pernah terjadi, tepatnya cerita fiksi tapi kita semua berpura-pura kalau peristiwa itu pernah terjadi dan tetap kita peringati dengan meriah karena orang lain di kota lain juga memperingati hari ulangtahun kotanya.

Masak orang memperingati hari ulangtahun kotanya dan kita tidak?

Ya ini tidak salah, karena dengan adanya peringatan hari ulangtahun sebuah kota, akan ada sebuah momentum untuk warga buat berkumpul, membuat kegiatan yang mengundang banyak orang. Apalagi Takengen sekarang sudah menjadi kota tujuan wisata populer di provinsi paling barat Indonesia ini. Sangat bisa dimaklumi.

Tapi yang namanya hari ulangtahun yang diperingati dengan meriah setiap tahun, tentu harus ada alasan kuat, kenapa tanggal itu diperingati. Setidaknya kita harus tahu, semangat apa yang ingin dibawa dan disampaikan melalui peringatan itu.

Memang, harus kita akui. Untuk menetapkan tahun apalagi tanggal pasti berdirinya sebuah kota, bukanlah perkara gampang.

Tahun apalagi tanggal, apapun yang ditetapkan oleh pemegang otoritas, pasti akan menimbulkan kontroversi, akan banyak pro dan kontra, sebab ada banyak sekali perspektif yang bisa dijadikan acuan dan masing-masing pihak akan kukuh pada perspektifnya.

Karena kesulitan inilah, umumnya kota-kota yang ada di Indonesia, mendasarkan penetapan hari ulangtahunnya tidak mengacu pada tanggal berdirinya kota itu berdasarkan fakta empiris atas bukti tak terbantahkan bahwa tanggal itulah di tempat itu dibangun pemukiman pertama.

Kalau kita amati pola penetapan hari ulangtahun kota-kota di Indonesia, rata-rata penetapannya mengacu pada satu peristiwa sejarah yang ingin dikenang sebagai simbol atau menjadi ciri yang melambangkan semangat kota tersebut.

Ambil contoh Jakarta, hari lahir ibukota negara kita ini ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1527 di masa pemerintahan gubernur Sudiro, kakek dari aktor dan komedian terkenal, Tora Sudiro. Apakah itu benar merupakan hari berdirinya kota Jakarta? Tentu saja tidak, kalau hari lahir sebuah kota didasarkan pada acuan, bangunan pertama yang dibangun oleh pemukim pertama yang datang ke tempat itu. Sebab kita tahu bersama, sebelum tanggal itu, pelabuhan kota yang sekarang kita kenal sebagai Jakarta ini sudah menjadi pelabuhan penting dan ramai, dengan nama Sunda Kelapa.

22 Juli 1527, ditetapkan sebagai hari lahir kota ini didasarkan pada kisah sejarah dimana Fatahillah beserta pasukannya murebut Sunda Kelapa dari penguasaan Portugis dan konon mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang kemudian disingkat jadi Jakarta.

Ada banyak pihak, terutama dari pihak sejarawan yang saklek dan kaku, mereka sangat keras mengkritisi penetapan ini, baik itu dari sisi fakta sejarah bahwa sebelum peristiwa itu terjadi, di tempat itu sudah ada kota telah menjadi lokasi permukiman manusia. Jauh sebelum peristiwa sejak kebudayaan Buni abad ke-4 SM.

Catatan sejarah paling awal yang ditemukan di Jakarta adalah Prasasti Tugu, yang ditemukan di Kecamatan Tugu, Jakarta Utara. Ia merupakan salah satu prasasti tertua dalam Sejarah Indonesia. Ketika itu, daerah yang sekarang kita kenal dengan nama Jakarta adalah bagian dari kerajaan bercorak India Tarumanegara.

Atau yang lebih kritis lagi, sang pengeritik menyoroti sosok Fatahillah sendiri secara pribadi, ada yang menyebut Fatahillah yang merupakan petinggi di kerajaan Demak (beberapa pihak meyakini Fatahillah adalah nama lain dari Sunan Gunung Jati) itu adalah orang Arab (meski di versi lain disebutkan berasal dari Aceh) jadi tidak mungkin dia menamakan kota itu dengan nama Jayakarta yang berbau Sanskerta.

Tapi, terlepas dari segala perdebatan itu, kita bisa melihat kalau penetapan hari lahir kota Jakarta, ada dasarnya dan melalui pemilihan tanggal itu, ada satu semangat yang ingin dilekatkan pada identitas kota Jakarta. Yaitu, kota yang didirikan dengan heroik oleh para pendahulu yang tak mau tunduk pada penjajahan orang eropa.

Surabaya, juga sama, kalau mau dicari tanggal lahir yang sebenarnya, tentu mustahil. Jadi, sama seperti Jakarta, pada akhirnya ketika Surabaya merasa perlu untuk menetapkan hari ulangtahun kotanya, mereka memilih momen yang ingin ditampilkan sebagai brand alias identitas yang mewakili semangat kota mereka. Kota yang terkenal di seantero Indonesia dengan pertempuran 10 November yang menggambarkan bagaimana heroiknya rakyat Surabaya.

Atas dasar ini, mereka kemudian menetapkan hari lahir kota mereka pada tanggal 31 Mei 1293, ini mengacu pada kemenangan heroik Raden Wijaya melawan pasukan Mongol, negara Superpower yang pada masa itu dipimpin oleh Kubilai Khan yang bertahta di Tiongkok yang telah berhasil mereka taklukkan.

Kisah yang agak lucu, terkait penetapan hari ulangtahun Kota Medan.

Awalnya hari ulangtahun Kota Medan, ditetapkan dengan mengacu pada sejarah resmi dan terbukti benar-benar pernah terjadi. 1 April 1909 yang merupakan tanggal dimana Belanda menetapkan Kota Medan sebagai pusat pemerintahan Karesidenan Sumatra Timur.

Sejarah itu benar adanya, tapi apa perasaan warga Medan dan juga masyarakat luar kota ini terkait citra dan semangat yang melambangkan identitas ibukota Sumatera Utara ini?

Sebagaimana Surabaya yang dikenal sebagai kota pahlawan karena pertempuran 10 November yang terus berlanjut sesudahnya. Medan juga begitu terkenal heroisme warganya. Terkait perjuangan mempertahankan kemerdekaan pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Kota Medan juga punya citra yang kurang lebih sama dengan Surabaya.

Kota Medang masyhur dengan berbagai kisah pertempuran dalam perang Medan Area, dimana pasukan Republik yang banyak berdatangan dari wilayah Aceh termasuk Gayo dengan Bagura, pasukan berani matinya, menghadang Belanda di kota ini agar tidak merangsek lebih jauh sampai ke Aceh.

Bisa anda bayangkan bagaimana perasaan warganya, kota dengan kisah seheroik itu setiap tahun memperingati hari dimana Belanda, sang penjajah yang mereka lawan mati-matian dengan nyawa, darah dan air mata, menetapkan kota itu sebagai ibukota wilayah koloni jajahan mereka. Dan hari ini diperingati dengan meriah pula.

Sangat bisa dipahami kalau kemudian begitu banyak penduduk Medan dan Sumatera Utara secara umum yang merasa gusar dan tidak terima. Setelah penetapan itu, protes yang muncul dari mana-mana dan bertubi-tubi.

Berbagai alasan yang disampaikan oleh para pemrotes, mulai dari alasan yang betul-betul berbau sejarah. Seperti fakta bahwa jauh sebelum Belanda menguasai daerah itu, sudah ada pemukiman di Medan. Mereka mengacu pada Hikayat Aceh yang menyebutkan bahwa pada tahun 1590, sudah ada pelabuhan di daerah ini. Bahkan pada tahun 1611, kota ini pernah diserang Iskandar Muda.

Maka dicarilah sebuah momen yang kira-kira bisa menggambarkan semangat yang lebih baik dari sekedar memperingati hari dimana Belanda mengukuhkan kekuasaan kolonialnya di kota ini.

Lalu ditemukanlah sebuah kisah atau riwayat Hamparan Perak, satu wilayah luas yang sekarang dikenal sebagai daerah pertambakan udang. Konon dokumen asli riwayat ini ditulis pada bilah bambu menggunakan huruf Karo. Namun sayangnya konon dokumen itu sudah terbakar habis dalam kerusuhan sosial pada tanggal 4 Maret 1946.

Dalam riwayat ini dikatakan, adalah Guru Patimpus, seorang tokoh masyarakat Karo adalah orang pertama yang mendirikan pemukiman di wilayah yang sekarang bernama Kota Medan. Lalu muncul persoalan, kapan tanggal tepatnya?

Di sini panitia mengacu pada tahun dimana Guru Patimpus belajar Islam, yaitu antara tahun 1614 – 1630, dari sana ditarik mundur, kapan kira-kira sang guru tiba di hamparan Perak, sebelum dirinya belajar Islam. Maka mereka pilihlah tahun 1590 yang entah kenapa kebetulan sama dengan tahun dimana dalam hikayat Aceh disebutkan bahwa di kota ini sudah ada pelabuhan. Lalu, bagaimana bisa ditetapkan tanggalnya pada 1 juli? Ini jelas karena alasan tanggal cantik saja.

Nah, kalau kita bandingkan dengan penetapan hari lahir tiga kota di atas. Apa yang mendasari penetapan hari lahir Kute Takengen? Brand apa yang ingin ditampilkan? Semangat apa yang bisa dirasakan oleh warga kota ini terkait identitas kotanya berdasarkan dengan penetapan tanggal ulangtahunnya itu?

Kalau kita perhatikan, pihak yang paling disusahkan dengan tidak adanya semangat yang melekat terkait hari ulangtahun kota ini adalah para pejabat yang secara formal harus memberikan sambutan pada tiap hari peringatan ulangtahun kota ini. Mereka jadi tak punya acuan tema apa yang harus disampaikan dalam pidatonya, sebab ya itu tadi. Tak ada semangat apapun yang dibawa oleh peringatan hari ulangtahun kota ini, semua mengawang-awang.

Jadi, bagaimana seharusnya?

Kalau misalnya, saya pribadi yang punya kuasa menetapkan tanggal untuk diperingati sebagai hari jadi kota ini yang diperingati dengan meriah setiap tahunnya. Karena Takengen ini di wilayah pesisir sana banyak dianggap remeh, kisah perjuangan masyarakat Gayo dan peran sejarahnya dalam kerajaan Aceh dan perang Aceh banyak ditutupi. Saya akan memilih tanggal yang dijadikan hari jadi kota ini terkait peristiwa heroik itu.

Entah itu tanggal di mana pasukan ekspedisi van Daalen pertama, saat dia masih berpangkat kapten, berhasil dihadang oleh pejuang Gayo dan kemudian balik badan ke Kutaraja yang membuat sang overste menjadi cemoohan sesama perwira asal eropa.

Atau momen dimana Sultan Aceh berlindung di tempat ini, ketika di wilayah yang saat ini menjadi Kute Takengen masih merupakan pemukiman kecil yang terdiri tak lebih dari 5 umah pitu ruang saja. Waktu itu sultan sengaja bersembunyi di Takengen untuk mengecoh Belanda yang pasti menyangka sultan bersembunyi di kampung yang besar dan ramai seperti Kebayakan, Bebesen atau Kemili.

Tapi ketika kita baca penjelasan dari para penentu hari lahir kota ini, pertimbangan seperti ini sama sekali tidak ada.

Berdasarkan hasil wawancaranya dengan wartawan media online lokal itu, kita membaca kalau hari lahir Kute Takengen seolah muncul dari ruang hampa, semangatnya tak lebih dari, orang lain kotanya punya hari ulangtahun, kita juga harus ada.

Ahirnya mau tidak mau, melalui penetapan hari lahir Kute Takengen seperti ini, kita seperti menelanjangi diri sendiri, mempertegas stereotip yang melekat bahwa kita ini adalah masyarakat yang bersifat unung-unung, kusi kesip kone manung. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.