Oleh : Johansyah*
Kasus ijazah palsu di Bener Meriah tidak terlalu mengagetkan. Pasalnya bukan hal baru. Dari dulu kasus seperti ini sudah sering terjadi. Bahkan bisa jadi ramai ASN yang menggunakan ijazah palsu. Kini dengan aplikasi khusus sangat mudah mengetahui atau mendeteksi mana ijazah asli dan palsu.
Ada saja oknum yang melakukan pembuatan ijazah palsu ini. Sebab dulu belum ada program khusus yang dapat mendeteksi ijazah palsu sehingga sangat bebas membuat nomor ijazah dan stempel perguruan tingginya. Pernah saya dengar, tarifnya yang menggiurkan. Ijazah S1 seharga tujuh hingga sepuluh juta. Ijazah S2 seharga lima belas hingga dua puluh juta. Adapun ijazah S3 mencapai tiga puluh juta ke atas.
Membeli ijazah ibarat memberi gorengan saja. Ijazah, siapa yang tidak butuh. Tapi bukan begini juga caranya. Kasihan mereka yang sudah serius dalam kuliah. Mengeluarkan biaya, tenaga, pikiran dan sebagainya. Bahkan banyak orangtua yang rela kerja banting tulang demi kuliah anaknya.
Tapi apa, setelah lulus, dan berkesempatan untuk ikut seleksi CPNS atau apa saja, lawan seleksinya adalah orang dengan ijazah beli. IPK-nya jauh lebih tinggi karena nilai bisa dipesat berapa kita mau. Katakan ketika dengan ijazah ini seseorang lulus dan menyingkirkan lawannya yang kuliahnya benar, pantaskah dia menikmatinya?
Beginilah rupanya cara berpikir orang Indonesia yang begitu mengagungkan ijazah. Ini juga tidak terlepas dari regulasi pemerintah yang menjadikannya sebagai syarat utama, terutama ketika melamar menjadi pegawai negeri sipil atau ASN. Tanpa ijazah seseorang tidak bisa melamar formasi yang diinginkan meskipun dia memiliki wawasan dan pengetahuan yang mumpuni di bidang itu.
Lantas tidak perlu heran juga kalau seseorang yang kuliah, tujuan utamanya ijazah. Kendati mengikuti kuliah, target utamanya bukan pendalaman ilmu dan pengembangan diri, tapi hanya formalitas. Nanti setelah lima tahun, dia berharap bisa selesai dan memperoleh ijazah. Terlebih kuliah orang yang berstatus ASN, itu dikarenakan syarat atau target naik pangkat dan jabatan di instansinya saja.
Suatu saat ada seorang ASN yang datang menemui Rektor perguruan tinggi swasta. Dia ingin kuliah di kampus itu. Dia mau bayar berapa pun uang semester dan biaya-biaya lainnya. Hanya saja dia minta tidak terlalu aktif. Datang bisa sebulan sekali, karena asalan pekerjaan. Padahal sebenarnya dia tidak telalu sibuk, sebab jabatannya pun masih di tingkat kepala seksi. Lalu rektornya mengatakan, sebenarnya tidak ada masalah. Hanya saja, sungguh sia-sia ketika ijazah di tangan, tapi pengetahuan tentang program studi yang digeluti sama sekali tidak dikuasai.
Ke depan tidak lagi
Seiring perjalanan waktu, pola pikir yang mengandalkan ijazah lambat laun akan berubah. Satu faktor utamanya adalah dominasi dunia jasa yang semakin kuat. Adapun yang menjadi andalan di dunia jasa bukan lagi soal ijazah, melainkan skil dan profesionalitas.
Ini juga tidak terlepas dari himpitan ekonomi yang mau tidak mau mendorong orang untuk berpikir kreatif dan inovatif. Dengan itu mereka dapat mengolah barang yang tidak berharga menjadi bahan yang dicari. Katakanlah sampah plastik, di mana orang-orang kreatif akan mengolahnya menjadi bahan bakar.
Mungkin di antara kita ada yang tidak menyadari bahwa ternyata seorang profesor bisa menjadi jongos tamatan sekolah dasar. Seorang dokter spesialis menjadi pelayan orang yang hanya tamatan sekolah menengah. Kenapa bisa? Sangat bisa. Orang yang tamatan sekolah dasar tadi menjadi pengusaha sukses.
Lalu dia maju dalam pilkada dan berhasil memenangkannya. Setelah menjadi pejabat, dia begitu mudah menunjuk, mengangkat kepala dinas, maupun memberhentikannya. Orang-orang yang diangkat atau diberhentikan itu rata-rata berpendidikan minimal sarjana. Ada yang magister, doktor, bahkan guru besar.
Kapan itu terjadi? Ketika yang berpendidikan ini ambisi terhadap jabatan. Di saat itu dia kehilangan separuh atau mungkin keseluruhan dari akal sehatnya. Teori-teorinya seketika itu juga rontok. Meski begitu besar resiko yang ditanggung, tapi dia rela demi sebuah jabatan.
Si pejabat tanpa ijazah S1 tadi senyum melihat tingkah orang yang berpendidikan tinggi tadi sambil berbisik dalam hati; ‘ternyata kehebatan dan intelektualitas mereka dengan mudah dapat saya beli’. Si pejabat pun menyuruh sang guru besar untuk membuat aturan sesuai keinginannya. Sang guru besar tidak mungkin menolak karena honororiumnya cukup tinggi.
Ini bukan cerita baru, apalagi sinetron. Ini merupakan tontonan umum di sekitar kita. Ijazah pada akhirnya menjadi salah satu penunjang diri yang sangat kecil perannya. Terlebih bila dikaitkan dengan dunia serba jasa saat ini. Ijazah penting, namun pada akhirnya kreativitas dan inovasi personallah yang lebih menentukan karir dan masa depan seseorang.
Kalau begitu ijazah tidak penting? Tentu tetap penting. Tapi tidak usah terlalu mengandalkan ijazah di era revolusi industri 4.0 ini. Kalau pun menjadi ASN, kita juga harus memiliki skill khusus (selain menjilat) tentunya untuk memeromosikan diri dalam meniti karir di pemerintahan.
Apalagi kalau tidak jadi ASN, tentu bukan lagi persoalan ijazah dan program studi yang digeluti, tapi peluang kerja apa yang dapat menghasilkan uang untuk menopang ekonomi keluarga.
Tentu ada hal pokok yang lebih penting dari sekedar inovasi dan kreasi dalam menghasilkan uang. Apapun yang diusahakan menjadi lahan bisnis kiranya berpengang pada nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Jadikan bisnis sebagai lahan ibadan dan lahan beramal. Bisnis bukan sekedar memikirkan berapa untung yang diperoleh, tapi apakah keuntungan itu tidak merugikan pihak lain?
Hal ini sangat penting. Orang yang murni memikirkan untung dengan cara apa pun dan mengabaikan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, pada akhirnya akan membuat orang atau kelompok lain susah. Dia juga mungkin merusak sistem yang ada dan berdampak buruk pada skala yang besar.
Sebagai contoh harga kopi Gayo yang anjlok saat ini. Dimungkinkan karena pihak yang mengendalikannya orang-orang yang berwatak qarun maupun Abu Jahal. Masyarakat silakan menderita, asal usahanya terus berkembang pesat.
Dengan ungkapan lain, untuk memperoleh peluang kerja dan untuk pengembangan diri, ketahuilah modal utama kita bukan ijazah, melaikan integritas dan dedikasi tinggi. Ijazah hanya penunjang. Pada akhirnya bukan ijazah yang menentukan posisi kita meskipun ijazah menjadi salah satu syaratnya.
Dengan demikian, di dunia yang penuh persaingan ini, modal utama kita adalah memiliki karakter moral religius yang kuat, serta memiliki karakter kinerja yang tangguh.
Karekater pertama adalah pembangunan relasi yang baik baik secara vertikal maupun horizontal. Sedangkan karakter kedua dibutuhkan untuk menghasilkan inovasi dan perubahan ke arah yang lebih baik. Wallahu a’lam bishawab!
*Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah